Jumat, 26 Mei 2017

URGENSI PLATINUM RULE DALAM PENDIDIKAN SENI: SEBUAH REVITALISASI PENGAJARAN

“Treat Others The Way They Want to Be Treated”

Dr. Tony Alessandra

PENDAHULUAN
Pendidikan seni di Indonesia sampai sekarang ini masih mengalami masa transisi dimana pikiran mitis masih merasuk dalam diri pengajaran seni. Sedangkan kiblat pembelajaran seni selama ini banyak mengadopsi pemikiran dari barat yang dimonasinya adalah pemikiran ontologis. Jakob (2000) dalam bukunya Filasafat Seni menyatakan bahwa masyarakat di Indonesia masih pada tahap berpikir mitis dimana manusia menyelaraskan diri dengan kosmos yang ada di sekiratarnya apabila ingin menjadi bagian dari dunia fana ini. Hal senada juga diungkapkan oleh Soeharno (2005) dimana perkembangan pendidikan seni di Indonesia masih belum sepenuhnya lepas dari pemikiran mitis sehingga kemajuan pendidikan seni tidak dapat bekembang secara maksimal, khususnya dalam konteks kreasi karya seni. Pikiran mitis hakikatnya lebih mendalami dimana manusia menyadari sebagai bagian dari alam semesta ini dan menyelaraskan diri alam yang maha besar, manusia dengan alam, manusia dengan roh yang gaib, manusia dengan seluruh tata kosmos semesta ini. Masyarakat lebih memahami dirinya sendiri dengan kesadaran dirinya sebagai individu bagian dari alam semesta ini.
Pikiran mitis dalam pendidikan seni mengacu pada bagaimana seseorang memahami sebuah karya seni yang merupakan kegiatan untuk menyelaraskan diri dengan alam. Sedangkan pendidikan seni sekarang ini mengacu pada pemikiran ontologis. Van Peursen (2013) menyatakan bahwa pikiran ontologis merupakan konsep untuk memahami atau memaknai segala sesuatu. Pemikiran ontologis berusaha mengungkap segala sesuatu menjadi nampak dan dapat diamati secara nyata. Manusia mulai memikirkan untuk bagaimana menciptakan dan memahami segala sesuatu secara nyata dan logis. Maka dari itu, pendidikan seni masih dalam kebimbangan yang sekarang ini sadar pemikirannya masih mitis, namun banyak mengadopsi pembelajaran seni yang ontologis.
Pendidikan seni yang sifatnya idealis dengan penciptanya membutuhkan pemahaman untuk mengungkap makna yang terkandung di dalamnya. Pendidikan seni yang ontologis yang dominasinya lebih mengarah pada penciptaan karya seni dengan tingkat idealis dan bahkan disejajari dengan ego tinggi yang membutuhkan tingkat pemahaman perilaku dan kepribadian terhadap siswanya. Perilaku siswa sangat berpengaruh dalam siswa belajar, khususnya pada gaya belajar, kesulitan belajar, dan prestasi belajar. Perilaku siswa terbentuk karena respon terhadap lingkungan, terutama bagaimana siswa itu diperlakukan dalam lingkungannya. Lingkungan membentuk pengalaman siswa yang berdampak pada perlikau siswa itu sendiri.
Konteks pembelajaran seni sangat berkaitan dengan pengalaman siswa dalam berkarya seni dan pengalaman estetis. Hal ini dikuatkan oleh Jakob (2000:162) yang menyatakan bahwa dalam pengalaman seni, unsur perasaan menjadi kekuatan utama yang dapat menggerakkan dan mendasari unsur-unsur potensi seseorang, lebih lanjut ia juga menjelaskan bahwa dalam proses dan karya seni yang dihasilakan oleh siswa juga dapat memproyeksikan perasaannya, baik yang bersifat subyektif dan objektif. Pengalaman antara siswa satu dengan siswa yang lain pastilah berbeda, khususnya dalam proses berkarya ataupun mengapresiasi sebuah karya seni. Maka dari itu, tingkat pemahaman guru akan perilaku siswa untuk dapat menerjemahkan makna yang terkandung pada ide pikiran siswa dan hasil karya seninya sangat perlu untuk ditingkatkan dan dikembangkan.
Pendidikan seni hakikatnya berbeda dengan pembelajaran yang lain. Pembelajaran khususnya eksakta pada dasarnya lebih menekankan logika yang ilmiah dan dapat dibuktikan secara empiris, serta tingkat pemerataan pengetahuan yang sudah pasti. Sedangkan pembelajaran seni pada dasarnya lebih menekankan pada nilai-nilai perasaan terhadap keindahan yang lebih didominasi dengan kepekaan perasaan. Perasaan ini menyangkut adanya sebuah keterlibatan aktif dalam kesadaran yang melibatkan kecendikiaan, emosi, dan indera dengan lingkungannya (Jakob, 2000:161). Dalam hal ini kepekaan seni hakikatnya bersifat sangat individual dan berbeda antara siswa satu dengan yang lainnya. Pendidikan seni tidak dapat menyamaratakan kepekaan siswa satu dengan siswa lainnya, khususnya dalam konteks berkarya seni. Hal ini dikarenakan seni bersifat idealis dan sangat bergantung pada pengalaman siswa itu sendiri. Maka dari itu, dalam pembelajaran guru harus mampu mendengarkan keinginan dan mengarahkan setiap siswa sesuai dengan aliran atau jalan yang sesuai dengan idealis setiap siswa, bukan untuk menyamaratakan atau memaksa siswa untuk mengikuti idealis dari guru atau mayoritas dalam kelas.
Platinum rule merupakan sebuah cara bersikap kepada orang lain atau bagaimana memperlakukan seseorang. Tony Allesander (2009:ii) mengagas teori Platinum rule ini sebagai salah satu cara belajar untuk memahami perilaku orang lain dan berinteraksi dengan mereka dalam gaya yang terbaik bagi mereka, dan bukan hanya untuk yang memperlakukannya. Anthony (2015) meyatakan bahwa dalam pembelajaran peran guru adalah untuk mendegarkan dan memperlakukan siswa sesuai dengan kepribadiannya. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa dalam pembelajaran metode, media, dan teknik pengajaran sangat mempengaruhi perilaku siswa dalam belajar, namun demikian ia juga menekankan bahwa perlakuan guru kepada siswa lebih penting dari pada media, metode, dan teknik penagajaran tersebut. Dalam dunia pendidikan seorang guru dituntut untuk beradaptasi dan harus tetap mempertahankan identitasnya sebagai guru. Seorang guru dapat mempimpin siswanya dengan mengikuti cara mereka yang diinginkan, berbicara dan mendengarkan siswanya untuk mengarahkan ide dan kreativitas siswa dan selanjutnya mengembangkan keterampilannya, namun dengan terlebih dahulu mengidentifikasi kesulitan belajar siswa. Platinum rule dalam pendidikan seni dapat dilakukan dengan mudah, yaitu dengan cara memahami konsep perilaku dan psikologis yang kompleks kemudian menerapkannya secara langsung, maka diperlukan sebuah latihan dan dikombinasi dengan pengulangan, sehingga membentuk pengalaman bagi guru.
Dalam konteks bahasan di sini akan dijelaskan mengenai bagaimana proses pemahaman dan konsep impelementasinya bagi guru kepada siswa dalam konteks pendidikan seni. Selain itu, di sini juga akan dibahas mengenai betapa pentingnya Platinum rule ini dalam proses pengajaran seni, konteks pemahaman guru yang selama ini kurang banyak dipahami sebagai landasan dalam pembelajaran. Maka dari itu, dalam bahasan ini akan diuraikan secara mendalam mengenai: mengidentifikasi perilaku siswa, Urgensi Platinum rule dalam pendidikan seni, dan revitaslisasi pengajaran seni.

Mengidentifikasi Perilaku Siswa dengan Platinum rule
Platinum rule dicetuskan oleh Tony Alessandra dimana selama pengalaman hidupnya ia menerapkan teori, yaitu Golden Rule. Pada saat itu ia bekerja di New York dan menerapkan prinsip tersebut dalam bekerja. Saat itu ia sangat yakin 100% terutama yang berhubungan dengan kejujuran, nilai-nilai, etika, dan memiliki pertimbangan untuk kebutuhan orang lain. Namun, berbeda halnya ketika ia berkomunikasi secara interpersonal dan ia menyadari bahwa tidak semua orang ingin diperlakukan dengan cara ia ingin diperlakukan. Golden rule merupakan konsep dimana seseorang dituntut untuk memperlakukan orang lain sebagaimana ia ingin diperlakukan. Ia menerapkan prinsip tersebut namun tidak dapat berhasil. Selanjutnya ia mulai mengidentifikasi dan membuat banyak penelitian mengenai perilaku manusia. Hasilnya ia menemukan satu prinsip di atas Golden Rule, yaitu Platinum rule. Prinsip ini ditujukan untuk bagaimana mengkomunikasikan sesuatu kepada orang lain. Prinsip besar yang dicetuskannya adalah kerendahan hati, pengertian, sabar, dan sadar yaitu perlakukan orang lain dengan cara mereka ingin diperlakukan. Memahami perilaku setiap orang agar dapat menghargai setiap individu sebagai sosok yang berbeda dengan orang lain dan menjadi diri mereka sendiri. Selanjutnya, teori ini banyak dikembangan dan diimplementasikan dalam dunia industri sebagai satu sarana untuk berkomunikasi dengan para karyawannya, khususnya berkonsultasi mengenai performa karyawan. Perusahaan menuntut produksi yang maksimal dengan meminimalkan sekecil mungkin kesulitan dan kendala karyawan dalam bekerja.
Konsep tersebut hakikatnya sangat perlu untuk diterapkan dalam dunia pendidikan seni dimana seorang guru memahami perilaku siswanya untuk merasakan apa yang sebenarnya siswa inginkan dalam belajar. Dalam prosesnya Platinum rule membutuhkan pengetahuan dasar, yaitu mengidentifikasi perlaku seseorang. Pengetahuan tersebut akan menuntun seseorang untuk mampu menempatkan diri cara yang tepat untuk bersikap dan bertindak seseuai dengan cara orang lain ingin diperlakukan.
Perilaku merupakan sebuah reaksi atau tanggapan individu terhadap rangsangan atau lingkuannya. Selain itu, perilaku adalah semacam tindakan atau aktivitas manusia , baik yang diamati secara langsung dan bahkan dapat dipelajari (Notoatmodjo, 2003). Pada konteks bahasan ini akan dijelaskan mengenai empat macam gaya perilaku siswa, khususnya dalam konteks pendidikan seni. Pembahasan ini sangat diperlukan karena dalam pendidikan seni diperlukan pengenalan perilaku siswa oleh guru untuk mengetahui bagaimana cara yang tepat untuk guru mengajarkan, mengarahkan, dan melatih siswa tersebut secara maksimal. Selain itu, Tony Alessander (2009) menegaskan bahwa implementasi Platinum rule ini adalah untuk mengidentifikasi kebutuhan orang lain. Dengan memahami kebutuhan orang lain untuk penentuan cara bersikap akan dapat diterapkan secara lebih tepat. Ada empat perilaku yang dibahas disini mengacu pada konsep dari Tony Alessandra (2009:21) dimana ia telah melakukan berbagai penelitian mengenai perilaku manusia dan ia menjabarkan empat jenis perilaku manusia, yaitu Directors, Socializers, Thinkers, dan Relateris.
Pada dasarnya telah banyak penelitian mengenai perilaku manusia dan hasilnya juga sangat banyak dan beragam. Penjabaran perilaku manusia tersebut juga mengacu pada pola pikir dan dominasi sudut pandang yang diambil orang tersebut dalam mengambil keputusan. Dalam pembelajaran seni hal ini mengarah pada bagaimana siswa tersebut memiliki ide, gagasan, kesulitan belajar, fokus pembelajaran, dan gaya belajar yang berbeda-beda dalam menghasilkan sebuah karya seni. Maka dari itu, konsep mengenai empat perilaku siswa ini sangat perlu untuk diketahui oleh guru sebagai pedoman untuk menganalisis perilaku siswa dan juga landasan untuk menentukan metode yang tepat untuk pembelajaran di kelas. Berikut ini adalah pembahasan mengenai empat perilaku siswa:
1.      Director: The Great Initiators
Director merupakan seseorang dengan tingkat kepemimpinan yang kuat, mengambil alih situasi untuk mencapai sebuah tujuan yang diharapkan. Dalam prosesnya perilaku ini membutuhkan prestasi dan kontrol untuk memotivasinya. Fokusnya adalah pada menerima tantangan, mengambil otoritas, dan terjun sebagai pemimpin untuk memecahkan masalah. Kecenderungannya adalah bekerja dengan cepat, fokus, berkemauan keras, tepat, dan kompetitif dengan orang lain. Namun demikian, beberapa kelemahannya adalah sifatnya yang keras kepala, ketidaksabaran, dan penampilan yang ketangguhan. Perilaku ini cenderung untuk mengambil kontrol orang lain dan seringnya kurang toleran untuk berperasaan, sikap, ketidakpekaan, miskin pendengaran, tidak peduli, dan kekurangan terhadap rekan.

2.      Socializers: The Great Talkers
Socializer adalah perilaku dimana banyak pemikirannya didominasi dengan keramahan, antusias, dan ingin menjadi dimana sebuah tindakan itu diambil. Perkembangan mereka banyak berkembangan dengan kekaguman, adanya pengakuan, pujian, dan perayaan sebuah hasil kerja. Socializer memiliki sifat yang ramah dan fokus terutama pada sebuah tujuan untuk mencapai persetujuan positif orang lain. Mereka membutuhkan perhatian, persetujuan, kekaguman, dan penerimaan menjadi sesuatu yang kerusial bagi mereka. Menang kalah bukanlah menjadi sebuah tujuan bagi mereka namun bagimana proses saat bermain, mereka akan sangat menikmatinya.
Kelemahan seorang socializer adalah ketakutannya pada penghinaan publik: muncul tidak terlibat, tidak tertarik, tidak berhasil atau tidak dapat diterima kepada orang lain. Bentuk-bentuk menakutkan penolakan sosial yang mengancam kebutuhan inti untuk persetujuan. Hasil dari, ketika konflik terjadi, socializer mungkin tiba-tiba mengambil keputusan yang lebih menguntungkan untuk lingkungan. Selain itu, kelemahan mereka terlalu banyak terlibat dalam terlalu banyak proyek, ketidaksabaran, keengganan untuk sendirian, dan perhatian yang pendek bentang. Mereka menjadi bosan dengan cepat. Ketika sedikit data masuk, socializers cenderung membuat generalisasi. Mereka mungkin tidak benar-benar menyelidiki; dengan asumsi orang lain akan melakukannya, atau mereka mungkin menunda-nunda karena-melakukan sesuatu hanya tidak cukup menarik. Ketika socializers merasa mereka tidak memiliki cukup rangsangan dan keterlibatan, mereka mendapatkan kebosanan dan mencari sesuatu yang baru.

3.      Thinkers: The Great Analyzers
Thinkers merupakan sebuah perilaku dimana seseorang memeriksa dan memeriksa ulang pekerjaan mereka. Mereka cenderung fokus dan serius pada sisi yang lebih rumit tatpi santai dengan kecerdasan mental yang mereka alami tidak memungkinkan mereka untuk menghargai sisi yang lebih ringan. Mereka lebih sering meninjau sesuatu yang aneh atau potensial dalam sebuah situasi. Dari keempat perilaku, thinker adalah paling berorientasi pada selebrasi. Keputusan mereka sangat logis dan hati-hati untuk meningkatkan probabilitas bahwa tindakan yang diambil adalah yang terbaik yang tersedia. Mereka sengaja dan berusaha untuk menjadi teknis yang sempurna. Mereka lebih banyak menuntut mereka pada dirinya sendiri dan mungkin menyerah pada kecenderungan terlalu kritis. Umumnya, mereka cenderung untuk menjaga kritik mereka untuk diri mereka sendiri, ragu-ragu untuk memberi tahu orang lain mengenai pemikiran yang tidak benar. Mereka akan memberi tahu atau berbagi informasi, baik posotif atau negatif jika diminta saja, atau atas dasar kebutuhan untuk tahu. Kekuatan terbesarnya adalah pada ketepatan, kemendirian, klarifikasi, verifikasi, dan organisasi. Secara alami mereka lebih fokus pada kebijakan, praktik, dan prosedural pada proses dan hasilnya.
Seorang thinker tetap disiplin dengan mereka gunakan sendiri waktu dan paling nyaman dalam keadaan terkendali. Mereka bisa menjadi skeptis dan bahkan menjadi sinis. Mereka ingin melihat hal-hal secara tertulis sebagai cara mengukur atau memvalidasi harapan dan umpan balik dari orang lain. Di samping itu, karena ingin menjadi benar, mereka lebih suka proses memeriksa diri. Kecenderungan ini ke arah kesempurnaan, ketika di bawa ke sebuah ekstrim, dapat mengakibatkan kelumpuhan analisis. Ciri-ciri yang terlalu berhati-hati mungkin mengakibatkan khawatir bahwa proses ini tidak mengalami kemajuan tepat, yang lanjut mempromosikan kecenderungan mereka untuk berperilaku kritis. Mereka mungkin tampak menyendiri, teliti dan kritis, karena takut menjadi salah yang bisa membuatnya lebih mengandalkan pada pengumpulan informasi dan lambat untuk mencapai keputusan. Sementara sebagai pengamat alami yang banyak bertanya, mereka mungkin terlalu berfokus pada kemungkinan kelemahan dan bahaya terpencil dengan mengorbankan kehilangan kesempatan perkembangan dan penurunan.

4.      Relaters: The Great Helpers
Relaters merupakan sosok yang hangat, mendukung, dan prediktif. Mereka tidak suka dengan konflik interpersonal dan ketika mereka tidak menyetujui sesuatu, mereka cenderung untuk diam. Dilain waktu, mereka akan mengatakan apa yang mereka pikirkan orang lain akan mendengar. Mereka memiliki semacam perasaan konseling dimana mereka dapat mendukung perasaan, ide, dan tujuan orang lain. Orang lain biasanya merasa nyaman berinteraksi dengan mereka karena rendah hati, tidak kontradiktif, dan mereka adalah pendengar yang baik, namun perlu untuk dihormati. Fokus mereka adalah mendapatkan perkenalan dan membangun kepercayaan dalam sebuah hubungan kerja sama.
Resiko adalah satu kata paling berbahaya untuk seorang relater. Bahkan mereka akan lebih memilih tinggal di lingkungan yang tidak nyaman dibandingan dengan mengambil resiko dengan membuat perubahan. Gangguan pada pola rutinitas dapat menyebabkan mereka tertekan. Ketika dihadapkan dengan perubahan, mereka harus berpikir mulai perlahan-lahan, sistematis, dan sepotong-sepotong dalam mempersiapkan perubahan. Mereka lebih memilih untuk mencari persaman dalam perubahan tersebut yang dapat membantu meminimalkan stres mereka. Mereka jarang memiliki emosi yang tinggi seperti socializer, tetapi perubahan yang dilakukan terlihat. Kebutuhan mereka untuk harmoni membuat mereka lebih lambat dalam membuat keputusan. Orang dari gaya perilaku yang lain menganggap sebagai salah satu yang lemah, dan bahkan mereka sengaja melambat untuk meminimalkan resiko dalam situasi yang tidak dikatahui.

Urgensi Platinum rule dalam Pendidikan Seni
Persoalan dalam pendidikan seni di Indonesia muncul karena adanya perbedaaan pola pikir yang belum sepenuhnya mentas dari pikiran mitis. Manusia lebih mengedepankan untuk menyelaraskan diri dengan alam, dan menjadi bagian dari tata kosmos yang ada di alam semesta ini. Sedangkan sekarang ini pendidikan seni lebih banyak berkiblat pada pemikiran barat yang ontologis. Jakob (2000) menegaskan konteks bahasan estetika mitis hakikatnya berbeda dengan estetika ontologis dimana dalam pengalaman estetik bukanlah sebuah pengalaman religius, namun pengalaman estetik dapat membantu mencapai pengalaman religius. Hal ini menimbulkan pola pikir yang rancu dalam pendidikan seni di Indonesia. Pemikiran yang ingin menjadi modern, namun belum sepenuhnya menghilangkan pemikiran nenek moyangnya yang mitis. Maka diperlukan sebuah upaya untuk menyesuaikan dengan pola pikir tersebut, khususnya bagi guru. Memahami pola pikir dan perilaku siswa dalam belajar hakikatnya lebih sulit dibandingkan dengan menerapkan metode atau media dalam pembelajaran. Diperlukan sebuah kebiasaan dan bahkan dalam berbagai konteks kebanyakan guru baru dapat memahami siswanya setelah lama berinteraksi. Maka dari itu, diperlukans sebuah cara untuk memahami siswa secara mendalam dalam pembelajaran.
Istilah Platinum rule merupakan salah satu kata yang sangat asing, khususnya di Indonesia maupun dalam dunia pendidikan. Platinum rule merupakan sebuah konsep dimana seseorang harus mampu untuk mampu memahami dan memperlakukan orang lain sesuai dengan bagaimana mereka ingin dipahami dan diperlakukan. Hal ini karena teori ini pada dasarnya lebih didominasi dalam dunia bisnis. Dalam upaya untuk meningkatkan bisnis secara besar dan berkembang secara pesat, terori ini digunakan untuk menganalisis berbagai faktor yang berhubungan dengan dunia bisnis. Konsep ini lebih banyak digunakan untuk meningkatkan kemampuan karyawan agar lebih produktif dalam bekerja dengan meminimalkan faktor resiko seminimal mungkin dan untuk meningkatkan produktivitas dengan tenaga yang seefisien mungkin. Sedangkan dalam konsep pasar, teori ini lebih menjadi domain untuk mengetahui psikologi konsumen, potensi pasar, dan tren atau gaya terkini. Namun, dalam konteks bahasan pendidikan seni di sini akan lebih banyak mengupas bagaimana pentingnya konsep ini untuk meningkatkan kemampuan siswa secara maksimal berdasarkan perilakunya masing-masing.
Pada dasarnya konsep Platinum rule ini harus diterapkan dalam semua mata pelajaran, namun di sini akan lebih memberikan penekanan pada mata pelajaran pendidikan seni. Seorang guru dalam proses pembelajaran sering kali mengalami kesulitan siswa dalam menerima materi yang diberikan. Kadang kala pula guru mendapatkan siswa yang lebih banyak ramai di dalam kelas saat pelajaran. Ada pula keadaan dimana siswa lebih banyak aktif, kritis dan harmoni antara guru dan siswanya. Hal ini adalah dimana guru harus paham dan mengerti untuk memilih metode yang tepat untuk mengajarkan suatu materi pembelajaran. Namun demikian, sebuah metode saja tidak cukup untuk meningkatkan kemampuan siswa. Dalam proses pembelajaran seni sering kali ditemukan siswa yang bosan dalam belajar, diam, atau merasa materi yang diajarkan kurang bermanfaat untuknya. Hal ini merupakan sebuah gejala pembelajaran yang kurang diperhatikan guru selama ini.
Padahal hakikatnya apabila guru mau menegenali perilaku siswanya dengan baik, maka ia juga akan dapat menerapkan metode yang tepat untuk proses belajar mengajar. Misalnya dalam sebuah kelas didominasi dengan karakter thinker, guru lebih menggunakan metode praktek langsung dengan konsep teori yang sedikit. Hal ini akan menjadikan siswa thinker kurang memahami pembelajaran secara maksimal karena siswa ini lebih mudah belajar dengan konsep yang jelas dan detail dengan melibatkan fakta-fakta secara nyata. Contoh lainnya adalah ketika dalam sebuah kelas terdiri dari berbagai perilaku yang merata diajarkan dengan metode diskusi, peran guru di sini adalah sebagai pembagi kelompok dalam kelas tersebut. Dengan guru memahami perilaku setiap siswa, maka guru dapat membagi kelompok dengan baik dimana siswa thinker sebagai pemikir yang kritis dalam kelompok, siswa director sebagai ketua kelompok, siswa socializer yang bersemangat dalam kelompok, serta siswa relater yang siap untuk selalu mau membantu apapun keperluan dalam kelompok. Kelompok yang demikian adalah propernya sebuah kelompok diskusi yang tepat, dimana dalam pemecahan masalahnya dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang yang saling menyelaraskan.
Sedangkan apabila ditinjau secara kenyataan di sekolah, kebanyakan guru tidak mau repot dengan lebih memberikan kebebasan kepada siswanya untuk memilih teman kelompoknya sendiri. Hal ini pada dasarnya kurang tepat, dimana siswa lebih berpikir untuk bersama dengan temannya yang dekat dan memiliki sudut pola pikir yang sama. Padahal itu justru menunjukkan betapa kurangnya sudut pandang permasalahan untuk melihat sebuah tema permasalahan. Satu kelompok thinker akan menghasilkan sebuah konsep yang idealis, namun untuk pemecahan masalahnya dibutuhkan waktu yang lama karena setiap siswa memiliki idealis yang berbeda-beda dan kurang dapat menerima perbedaan pendapat. Sedangkan siswa thinker akan menghasilkan sebuah kebenaran karena mereka cenderung teliti dan realistis dalam mengkaji sesuatu, namun dalam pemecahan masalahnya kurang inovatif karena pedomannya sangat sistematis menurut pedoman yang ada. Berbeda halnya dengan siswa socializer yang akan menghasilkan sebuah pemikiran yang akan berguna atau bermanfaat secara langsung, namun dalam proses pemecahan masalahnya mereka kurang menguasai konsep dasarnya tapi hanya berkaca pada konteks manfaat secara langsung. Siswa relater akan menghasilkan sebuah pemikiran yang lebih dominasinya mengarah pada proses atau manfaat secara tidak langsung, namun tingkat kekritisannya dan kebermaknaannya sedikit kurang.
Berdasarkan uraian di atas, sekiranya seorang guru sangat perlu untuk dapat memahami perilaku setiap siswa dengan mendalam dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan siswa secara maksimal. Platinum rule adalah dasar untuk mengembangkan pembelajaran. Sebuah metode yang tepat dan media yang tepat tidak akan dapat terlaksana dengan maksimal tanpa memahami perilaku siswanya.

Revitaslisasi Pengajaran Seni
Sebuah tujuan pembelajaran seni hakikatnya perlu untuk dikembangkan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan seiring perkembangan zaman. Dalam seni, hakikat seni ditentukan oleh perilaku seniman. Perilaku seniman diwarnai oleh kebiasaan, keyakinan, atau pandangan hidupnya (Soehardjo, 2005). Seiring dengan berjalannya waktu perilaku tersebut akan berubah dan menyesuaikan dengan pembaharuan yang ada. Sebuah pembaharuan sangat diperlukan untuk mampu mengembangkan pembelajaran seni. Seorang guru seni harus terus mengembangkan diri, khususnya untuk menanamkan kepekaan estetis pada diri siswa yang nantinya dapat dijadikan landasan untuk mereka mampu mengapresiasi dan berkreasi karya seni sebagai salah satu bagian kebudayaan Indonesia yang harus dilestarikan.
Pemikiran seorang guru pendidikan seni perlu untuk dirubah dan dikembangkan untuk menghadapi pekembangan yang baru. Seorang guru adalah manajer, konsultan, dan fasilitator yang harus mampu untuk mendengarkan setiap siswanya. Dalam upaya untuk memanajemen pemahaman apa yang harus diajarkan kepada siswanya seorang guru perlu untuk mempersiapkan pengelolaan yang tepat. Materi yang tepat pada saat yang tepat sangat diperlukan guna membangun konstruksi pemahaman siswa. Selain itu, penggunaan metode dan media yang tepat juga sangat diperlukan. Metode dan media bukanlah salah satu cara untuk menutupi kelemahan guru, baik dari sisi materi maupun skill. Metode adalah cara untuk menyampaikan materi sesuai dengan keadaan siswanya, bukan untuk memaksa dan menyamaratakan kemampuan siswa untuk menerima sebuah materi pembelajaran. Media adalah sebuah alat pelengkap dalam pembelajaran yang digunakan untuk memperjelas materi pembelajan, bukan untuk dijadilan sebuah cara atau metode. Media harus digunakan sebagai sarana yang menunjang pemebajaran pendidikan seni sebagai penambah referensi siswa. Selain itu, penggunaannya juga harus disesuaikan dengan siswanya, baik dari sisi kemampuannya maupun keterampilannya. Guru sebagai manajemen harus mampu untuk mempersiapkan materi yang tepat dalam pembelajaran yang menyesuaikan dengan kemampuan siswanya, bukan untuk memaksa menyamaratakan penerimaan siswa; dan juga seorang guru harus mampu memilih metode dan media yang tepat untuk digunakan sebagai sarana dalam pembelaran seni, khususnya mengenai penyesuaian dengan konteks bahasan dan harapan siswanya dalam penyampaian materi tersebut.
Guru sebagai konsultan dalam pembelajaran perlu untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran dirinya. Guru harus sadar akan kepribadiaannya diri sendiri untuk sebagai bentuk instrospeksi diri. Selanjutnya ia dituntut untuk mengembangkan kemampuan siswanya sesuai dengan bakat dan minatnya, bukan mamaksakan bakat dan minat seninya. Dalam dunia pendidikan seni selama ini yang banyak dikembangkan hanyalah mengenai bagaimana metode, materi, dan media yang tepat digunakan untuk diajarkan kepada siswa. Sedangkan yang menjadi pertimbangan krusialnya adalah mengenai bagaimana seorang guru itu seharusnya mampu untuk mengidentifikasi kesulitan belajar siswa, kemudian ia mengatasinya untuk selanjutnya memaksimalkan kemampuan bakat dan minatnya. Psikologi pengajaran kurang menjadi bahan untuk dipelajari oleh guru, padahal hakikatnya yang menjadi fokus adalah seorang manusia bukan produk. Apabila berbicara mengenai manusia menjadi topik utama adalah mengenai pola pandang dan pikirannya, bukan mengenai penyamarataan untuk saling melebur menjadi satu, namun memahami setiap perilaku yang sebagai sosok yang unik untuk kemudian mencapai tujuan pendidikan seni. Hal inilah yang dinamakan dengan siswakan siswa. Memperlakukan siswa sebagaimana siswa itu diperlukan, namun tetap mempertimbangkan batasan lingkup pendidikan.
Konsep mengenai Platinum rule merupakan sebuah gagasan yang baru untuk mengembangkan kemampuan guru untuk meningkatkan kemampuan siswanya. Dalam pemebalajaran seorang guru harus mengerti bahwa tidak semua siswa mau atau diperlakukan sebagaimana ia diperlakukan. Lebih parahnya lagi adalah tidak semua orang mau diperlakukan seperti kita ingin diperlakukan. Maka dari itu, diperlukan prinsip dimana seseorang itu harus mampu untuk rendah hati untuk memperlakukan dan memahami orang lain secara penuh tanpa mengharapkan balasan apapun. Itulah yang dimaksud dengan Platinum rule. Namun demikian, prinsip ini membutuhkan pengetahuan mengenai jenis-jenis perilaku setiap orang. Guru hakikatnya ada pada di level Platinum rule.
Seorang guru, khususnya pendidikan seni harus mampu untuk memahami setiap siswanya secara penuh, khususnya untuk menganalisis kesulitan belajar siswa. Apakah kesulitan yang berasal dari dalam internal atau dari eksternal. Platinum rule akan dapat dijadikan tolak ukur untuk dapat menganalisisnya, kemudian mengatasinya dan menyesuaikan kebutuhan siswa itu sendiri. Namun demikian, seorang guru harus memiliki kesadaran akan kepribadiaannya sendiri. Mungkin ia akan dominan pada salah satu karakter, namun akan lebih baik apabila seorang guru pendidikan seni itu bila menjadi keempatnya, yaitu thinker, relater, socializer, dan director. Dengan menjadi keempatnya guru akan dapat menjadi seseorang yang mampu menjadi pemimpin dalam proses pembelajaran yang mampu menganalisis secara kritis, memiliki rasa sosial yang baik kepada sesama guru maupun siswanya, serta dapat menjalin hubungan yang erat terhadap siswanya dengan mempertimbangkan batasan konteks pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan seni.



PENUTUP
Pendidikan seni selama ini masih menjadi sebuah perjuang yang belum mencapai pada level krusial dalam pendidikan di Indonesia. Bahwa sekiranya menjadi perhatian bahwa selama ini kualitas guru adalah tolak ukur untuk meningkatkan kualitas pendidikan seni. Selama ini banyak guru banyak dicekoki bagaimana metode yang tepat dalam pembelajaran seni, sehingga terciptalah inovasi metode pembelajaran yang bervariasi. Selain itu, media yang digunakan juga mulai mengalami banyak perkembangan seiring dengan kemajuan teknologi. Namun demikian, pembahasan mengenai pemahaman guru terhadap perilaku siswa dan bagaimana memperlakukan siswa sebagaimana siswa itu ingin diperlakukan sangat kurang dijadikan bahasan dalam dunia pendidikan. Sedangkan ketika berbicara mengenai konteks pendidikan yang menjadi subjek adalah manusia, dan hal ini sangat berkaitan erat dengan bagaimana memanusiakan manusia untuk menjadi pribadi yang lebih baik, bukan sekedar mengajarkan sebuah materi kepada siswa dengan pengukuran untuk pemerataan yang hakikatnya tingkat kepekaan estetika setiap orang adalah sangat berbeda antara satu dengan yang lainnya. Maka dari itu, bahwa menjadi hal yang sangat krusial ketika berbicara mengenai pendidikan tetapi terlepas dari bagaimana memperlakukan siswa sebagaimana mestinya dan diperlukan sebuah gagasan untuk merubahnya, yaitu salah satunya dengan Platinum rule.
Konteks platinum tule adalah sebuah aturan dimana seseorang harus berada pada level ia dapat memperlakukan orang lain sebagaimana orang itu sesuai dengan cara mereka ingin diperlakukan. Hal ini sangat bertalian dengan beberapa jenis perilaku seseorang, yaitu Director, Thinker, Socializer, dan Relater. Hakikatnya dengan memahami perilaku seseorang, maka akan dengan mudah orang itu mengerti bagaimana memperlakukan orang lain. Dalam dunia pendidikan hal ini sangat diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran. Hal ini karena berhubungan dengan menganalisis kemampuan, bakat, minat, dan kesulitan belajar siswa. Selanjutnya guru akan dengan mudah mengajarkan pembelajaran kepada siswanya.
Dalam pendidikan seni peran seorang guru dalam pengajaran menjadi sangat krusial, khususnya dalam upaya untuk memaksimalkan bakat dan minat siswa terhadap kepekaan estetika. Pemahaman guru terhadap perilaku siswa sangat diperlukan guna mengukur dan meningkatkan kemampuan siswa dalam pembelajaran seni. Guru memahami siswa satu per satu sesuai dengan kepribadiaannya akan dapat menjadikan patokan untuk merencakan sebuah proses pembelajaran di dalam kelas dengan lebih baik. Metode akan lebih tepat dengan memahami mayoritas dan minoritas perilaku siswa di dalam kelas karena pembelajaran akan terasa lebih bermakna. Sedangkan dalam penggunaan media juga akan terasa lebih mudah untuk di praktekan dan dimengerti oleh siswa dengan memahami kepribadiaannya. Dunia pendidikan seni sangat juat dengan idelaisme seseorang, maka dari itu seorang guru harus mampu untuk memahami siswanya.
Hakikatnya seodang guru juga akan lebih dominan dengan satu perilaku saja. Namun demikian, tuntutan seorang guru adalah memahami semua perilaku dengan memperlakukannya sesuai dengan perilakunya. Selain itu, guru juga harus dapat menjadi keempat perilaku tersebut dengan harapan bahwa guru tersebut memiliki banyak sudut pandang dalam menyelesaikan setiap masalah dengan mudah dan tuntas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

cara melihat kata kunci populer di google

Anda dapat melihat kata kunci populer di Google dengan menggunakan Google Trends. Berikut ini adalah cara melihat kata kunci populer di Goog...