Senin, 21 Agustus 2017

CONTOH PROPOSAL SKRIPSI, TESIS, DISERTASI, (KUALITATIF HERMENEUTIKA)

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Batik menjadi salah satu warisan adhiluhung budaya Jawa. Keunikan dan kekhasan motif dan ragam hias batik Surakarta yang sarat akan nilai-nilai filosofis menjadikannya sebagai salah satu warisan budaya yang perlu untuk dijaga dan dikembangkan. Warga masyarakat Surakarta sampai sekarang ini menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal, yaitu batik.
Pengakuan ini tidak hanya datang dari masyarakat Surakata sebagai pelaku budaya dan pemerintah pusat sebagai pemangku kebijakan negara, tetapi juga dunia internasional. Oleh karena itu, dunia internasional yang telah menjadi bagian integral dari budaya tersebut merasa berkepentingan untuk ikut menjaga dan mengembangkan batik. Hal ini terbukti dengan batik sebagai salah satu warisan budaya pada tanggal 2 Oktober 2009 oleh UNESCO.
Secara historis batik sebagai produk budaya tradisional dilahirkan dan dikembangkan tidak dapat dilepaskan dari keberadaan kerajaan-kkerajaan di Nusantara sebagai pemangku kebudayaan. Apalagi dari sisi ragam hias, batik merupakan ekspresi yang menyatakan keadaan diri dan lingkungan penciptanya. Berdasarkan pada pandangan tersebut, batik dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu batik keraton dan batik pesisiran (Yayasan Harapan Kita/BP 3 TMII, 1997:5). Sebagaimana Djoemana (1990:8), batik keraton merupakan batik yang berasal dari daerah Surakarta dan Yogyakarta. lebih lanjut dijelaskan bahwa batik keraton yang tumbuh dan berkembangan di atas dasar-dasar filosofis kebudayaan Jawa yang mengacu pada nilai-nilai spiritual dan pemurnian diri, serta memandang manusia dalam konteks harmoni semesta alam yang tertib, serasi, dan seimbang (harmonis). Oleh karena itu, batik Surakata begitu terkait dengan kehidupan manusia Jawa sehingga tidak dapat terpisah dari kehidupan masyarakat Jawa, khususnya kehidupan dan kegiatan di dalam Keraton Kasunanan Suarakarta.
Secara filosofis, ragam hias pada batik tradisional Suarakata mengandung pesan dan harapan tulus yang diyakini akan membawa kebaikan dan kebahagiaan bagai si pamakainya. Ini semua dilukiskan secara simbolis dan sekaligus merupakan ciri khas batik Surakata (Djoemena, 1990:10). Artinya, batik tradisional Surakarta dapat dimaknai sebagai kain yang mengandung makna simbolis dalam ragam hiasnya yang penggunaannya disesuaikan dengan kagiatan agat yang berlaku berserta suasana yang melingkupinya.
Batik Surakarta pada dasarnya bukan semata-mata merupakan wujud ilmu rancang seni yang dilihat sebagai seni alus, tetapi sekaligus memiliki fungsi sebagai busana tradisional manusia jawa yang dipakai baik dalam kegiatan yang berkaitan dengan daur hidup manusia Jawa terutama keluarga dan kerabat keraton dalam kehidupan sehari-hari.
Perjalanan batik surakarta tidak selurus dengan perkembangan jaman yang menuntut adanya berbagai inovasi dan modernisasi yang ditandai dengan semakin canggihnya media informasi dan tumbuh suburnya budaya instan. Usaha batik di Kauman Surakarta bersangsur-asur mulai merosot dan pengusaha batik banyak yang beralih profesi meninggalkan usaha batiknya. Kondisi kampung Laweyan pada tahun 1975 sudah mulai mengalami keterpurukan, walaupun masih tetap memeprtahankan kagiatan pembatikan (Sekimoto, 2000:271). Namun demikian, pada tahun 1991 kampung Laweyan tidak legi dapat dijadikan sebgai kampung batik. Sebagaian besar pengusaha batik telah gulung tikar dan tinggal sedikit pengusaha yang melanjutkan usahanya dengan skala yang relatif kecil.
Semakin rendahnya minat pengusa batik dan semakin sulitnya mencari pengrajin batik dari warga kampung-kampung batik mendatangkan akibat yang signifikan terhadap pengetahuan tentang bati itu sendiri bagi generasi bangsa, tidak terkecuali masyarakat Surakarta sebagai ahli waris batik. Batik semakin tidak dikenali sebagai karya seni yang melalui proses rumit dan memerlukan kesabaran tangan yang terampil. Hal ini diperparah dengan munculnya pasar bebas di dunia perdagangan yang tidak mampu menolak hadirnya tekstil printing bermotif batik yang diperjualkanbelikan dengan harga yang jauh lebih murah dari pada batik tulis Surakarta yang merupakan produk budaya Jawa yang berbasis kearifan lokal. Apalagi diperparah dengan ketidakpedulian mengenai motif, jenis, dan makna filosofis dari batik yang selama ini dikembangkan oleh para leluhur. Apabila keadaan ini dibiarkan terus berlangsung, maka bukan tidak mungkin  batik Surakarta  semakin termarjinalkan dan tergantikan oleh tekstil printing bermotif batik. Artinya, walaupun batik telah diakui sebagai warisan budaya UNESCO, apabila masyarakatnya gagal untuk menjadi pewaris kebudayaan adhiluhung ini, maka batik sama saja tidak memiliki arti dalam kehidupan bagi masyarakatnya. Oleh karena itu, diperlukan tindakan dalam upaya meningkatkan pengetahuan menyarakat tentang batik Surakarta dan menyikapi pengaruh global berkaitan dengan upaya membangun karakter dan kebanggaan bangsa yang mendunia. Pada titik ini, maka diperlukan sebuah penelitian mengenai batik Surakarta dalam wilayah kajian budaya sehingga mampu mengungkap makna batik dalam konteks kekinian.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diformulakan sebuah rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Mengapa terjadi dekonstruksi makna simbolik batik Surakarta?
2.      Bagaimana dekonstruksi makna simbolik batik Surakarta terjadi?
3.      Bagaimanakah implikasi dekonstruksi makna simbolik terhadap perkembangan batik di Suarakarta?

C.    Tujuan Penelitian
Pada umunya, nantinya penelitian ini hendak mengungkap batik Suarakarta barkaitan dengan makna simbolik yang terkandung di dalamnya. Selain itu, penelitian ini juga nantinya akan berusaha menemukan rekonstruksi budaya dalam rangka memperkaya budaya Indonesia sebagai bagian kerja keilmuan kajian budaya dalam upaya mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Tujuan secara khususnya adalah untuk:
1.      Mengetahui, memahami, dan mendeskripsikan kejelasan tentang sebab terjadinya dekonstruksi makna simbolik batik Surakarta.
2.      Mengetahui, memahami, dan mendeskripsikan kejelasan tentang proses dekonstruksi makna simbolik batik Suarakarta.
3.      Mengetahui, memahami, dan mendeskripsikan kejelasan tentang implikasi dekonstruksi makna simbolik batik Surakarta terhadap perkembangan batik Surakarta.

D.    Manfaat
Pada prinsipnya nantinya manfaat penelitian ini terbagi menjadi 2 pokok, yaitu:
1.      Manfaat Teoretis
Penelitian ini nantinya dapat bermanfaat untuk memberikan sumbangan terhadap pengembangan ilmu pengetahuan tentang batik dalam kazanah kajian budaya. Selain itu, penelitian ini juga dapat menambahkan dan melengkapi kajian-kajian terdahulu mengenai batik Jawa dan Nusantara.

2.      Manfaat Praktis
penelitian ini diharapkan dapat menambahkan wawasan dan memperluas cara pandang masyarakat terhadap kearifan lokal yang dimiliki budaya lokalnya di tengah pengaruh dunia global. Selain itu, penelitian ini juga dapat dimanfaatkan oleh para pengambil kebijakan publik berkaitan dengan kehidupan sosial budaya, khususnya para pengrajin batik dan masyarakat pecinta batik.




BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.    Kajian Teori
1.      Deskonstruksi dan Semotika
a.      Teori Deskonstruksi
Teori dekonstruksi yang dipelopori oleh Derrida pada intinya menolak tiga tradisi berpikir strukturalis, yaitu logosentrisme, falosentrisme, dan oposisi biner (Takahashi, 2008:50). Penolakan terhadap logosentrime merupakan penolakan cara pandang dalam tradisi berpikir Barat yeng manggap akal, pikiran, logos sebagai pusat kebenaran. Suatu realitas dipandang representasi dari konsepnya, alasannya, bahasa atau teks tidak dapat dikatakan cermin atau representasi makna, konsep, atau realitas. Akan tetapi, bahasa lisan dapat diterima sebagai logosentrisme. Bahasa tilisan, teks, tidak dapat diterima karena baha tulisan ototmatis telah terbebas dari konteks atau narasumbernya. Akibatnya, tulisan, teks, otomatis menjadi tanda sendiri, yang bukan mewakili atau makna, tatapi menciptakan maknanya sendiri, dalam hubungan dengan tanda-tanda lain yang berada bersamanya. Oleh karena itu, tanda-tanda tersebut menjadi bebas yang dimaknai dan otomatis akan memunculkan makna yang beragam, plural.
Penolakan terhadap falosentrisme adalah cara pandang dalam tradisi berpikir barat yang berpijak pada tatanan maskulin dan klaimnya bahwa yang maskulin itu bersumber pada diri sendiri dan merupakan agensi yang utuh. Akibatnya katgori feminim sebagai sesuatu yang disingkirkan  secara konstitutif dalam filsafat dan menjadikan perempuan bukan suatu esensi pada diri sendiri, melainkan apa yang dibuang atau disingkirkan.
Penolakan terhadap oposisi pasangan adalah pola pikir dimana realitas sesungguhnya tidak dapat ditentukan atau dipastikan sebagai sesuatu yang berada dalam kategori dualitas belaka. Sesungguhnya terdapat realitas-realitas yang lain yang mengantarainya atau yang sama sekali tidak dapat ditentukan. Realitas adalah tudak dualitas dikotomis, melainkan pluralitas posisi, beragam posisi, yang tidak dapat dipastikan atau ditentukan dan tidak dinominasikan, sentralistis melainkan menyebar dan sejajar.



b.      Teori Semiotika
Semiotika yang berinduk pada teori Pierce sebagai semiotika komunikasi visual yang kemudian dikenal sebagai logika budaya (Walker, 2010:159). Semiotika adalah disiplin yang mengkaji segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berbohong (Eco, 2009:7). Semiotika sebagai proses komunikasi untuk mengkaji seluruh proses kultural. Proses komunikasi tersebut terjadilah respon interpretatif di dalam si penerima atas sinyal dari sebuah seumber, walaupun penerima dalam komunikasi itu berperan sebagai saluran.
Eco (dalam Ibrahim, 2007:277) mengatakan bahwa busana merupakan alat semiotik atau mesin komunikasi yang dipandnag memiliki suatu fungsi komunikatif. Busana sebagai alat komunikasi dimaknai sebagai perwujudan interaksi sosial melalui pesan. Selain itu, busana dapat dipandnag sebagai bentuk komunikasi artefaktual.

2.      Deskonstruksi Makna Simbolik
Konsep dekonstruksi makna simbolik terdiri atas tiga unsur, yaitu dekonstruksi, makna, dan simbolik. Ketiganya masing-masing dijelaskan sebagai berikut. Pertama, dekonstruksi merupakan gagasan atau pemaknaan lain dari makna yang telah ada sebelumnya (liyan). Hal ini dapat diartikan bahwa dekonstruksi adalah suatu pemikiran mengenai pengakuan (affirmation) terhadap orang lain (Takahashi, 2008:180). Secara leksikal, “dekonstruksi” diartikan sebagai pembongkaran atas konstruksi dan/atau pemaknaan ulang atas teks (termasuk teks budaya) untuk mengungkap makna-makna yang tertunda dari teks itu sendiri (Pitana, 2010:23). Piliang (2003:247), juga mengatakan hal yang serupa bahwa “setiap proses dekonstruksi harus diikuti dengan rekonstruksi”. Dekonstruksi lahir sebagai kebangkitan posmodernisme yang dipelopori oleh Derrida melalui keseluruhan pemikiran yang dimiliki posmodern.
Paradigma ini menjadi paradigma yang secara kritis berhadapan dengan sistem (atau paradigma) berpikir sebelumnya sebagai tradisi berpikir Barat (strukturalisme) (Pitana, 2010:23). Dekonstruksi yang dipelopori oleh Derrida menolak tiga tradisi berpikir strukturalis, yaitu (1) logosentrisme: (2) falosentrisme; dan (3) oposisi biner (Takahashi, 2008:50-82). Penolakan terhadap ketiga pemikiran tersebut dapat disimpulkan bahwa Derrida menolak kesatuan antara bentuk (penanda) dengan petanda (isi) yang disebut metafisika kehadiran (metaphysics of presence) (Lubis, 2004:97, Norris, 2009:9-10). Lebih tegas, Norris (2009: 13-14) menjelaskan tentang dekonstruksi sebagai berikut.
... dekonstruksi adalah menghidupkan kekuatan-kekuatan tersembunyi yang turut membangun teks. Teks tidak lagi dipandang sebagai tatanan makna yang utuh, melainkan arena pergulatan yang terbuka, atau tepatnya, permainan antara upaya penataan dengan chaos, antara perdamaian dengan peperangan ...

Lebih jauh, Derrida menjelaskan dekonstruksi dengan menolak “metafisika kehadiran (metaphysics of presence)”, yaitu menolak adanya makna mutlak atau tunggal. Istilah metafisika yang diungkapkan Derrida menyebut “mengada sebagai kehadiran”. Dekonstruksi dalam perspektif Derrida, penanda (singnifier) tidak berkaitan langsung dengan petanda (signified). Penanda dan petanda tidak berkorespondensi satu-satu, namun melihat tanda sebagai struktur perbedaan. Tanda harus dibaca dalam pengertian “disilang”. Dalam hal ini, tanda tidak pernah memiliki makna yang mutlak sama, melainkan makna mencul pada konteks berbeda-beda. Dalam perspektif Derrida, setiap makna transenden ilusif, karena kehadiran muncul dalam “oposisi biner” konseptual seperti materi atau roh, subjek atau objek, topeng atau kebenaran, tubuh atau jiwa, teks atau makna, interior atau eksterior, representasi atau kehadiran, kenampakan atau esensi (Sarup, 2011:45-59). Istilah pertama dianggap superior. Istilah inilah milik logos, yaitu kebenaran (kebenaran dari kebenaran) (Piliang, 2003:125).
Dekonstruksi tidak mengandaikan adanya makna objektif (benar), maka yang menjadi fokusnya bukan pada pencarian makna objektif, melainkan pencarian makna baru melalui kebebasan penafsiran (Lubis, 2004:103). Dalam hal ini, dekonstruksi Derrida tidak hanya menunjuk perubahan sebagai akibat dari kehancuran metafisika kehadiran (makna final), bahkan disebutkan bahwa tidak ada “autentitas murni” yang dibayangkan seperti Levi-Strauss (Sarup, 2011:57), melainkan bersifat terbuka yang harus dibaca atau dimaknai ulang (Lubis, 2004).
Kedua, makna merupakan hasil interpretatif manusia atas objek. “Makna” diartikan sebagai sesuatu pengertian yang diberikan kepada suatu objek. Subjek dan objek adalah term-term yang korelatif atau saling menghubungkan diri satu sama lain (Pitana, 2010:24).
Dari sudut pandangan semiotika, makna adalah unit kultural. Segala sesuatu yang telah didefinisikan dan ditetapkan secara kultural dapat juga disebut sebagai sebuah entitas (Eco, 2009:97). Selain itu, makna merupakan bentukan yang sarat dengan nilai, yang mengakomodasikan kepentingan para pihak yang terkait (Abdullah, 2006:8). Makna adalah sesuatu yang sangat kontekstual dalam setiap kubudayaan. Sebagaimana Cavallaro (2004:20-42), makna adalah produk dari situasi-situasi yang terkait (contingent situation). Makna adalah produk dari suatu perbedaan tanda yang terkait dengan tanda-tanda lain. Makna bukan sesuatu yang terberi, melainkan konstruksi budaya dalam produksi tanda-tanda secara sosial. Artinya, apabila ada perubahan sosial budaya, maka makna akan berubah sesuai dengan kepentingan para pemakna secara interpretatif.
Ketiga, simbolik, yaitu berangkat dari asumsi antoropologi dalam interpretivisme simbolik, manusia adalah hewan pertama pencarian makna yang menggunakan simbol (Arif, 2010:113). Menurut Geertz (dalam Sutrisno dan Putranto, 2005:212), budaya adalah lengkung simbolis. Pemahaman Arif (2010:110-113) terhadap simbol melalui pemikiran Geertz mengenai kebudayaan seperti berikut. Penglihatan terhadap kebudayaan dalam sistem sosial adalah sebuah “pencarian makna”. Kebudayaan yang dipahami oleh Geertz dapat dibagi menjadi empat, yaitu (1) sistem keteraturan dari makna dan simbol; (2) suatu pola makna yang ditransmisikan secara historis; (3) suatu peralatan simbolik untuk mengontorol perilaku; dan (4) suatu sistem simbol dan makna. Melalui keempat pemahaman ini, kebudayaan didefinisikan sebagai fenomena sosial atas sistem simbol dan makna antar-subjek yang dimiliki bersama.

3.      Batik Surakarta
Sejauh ini, asal-usul batik belum secara pasti diketahui secara arkeologis. Pada umumnya, batik dipahami sebagai sebuah teknik celup kain yang menghias permukaan tekstil dengan cara menahan pewarna (resist dye). Teknik ini dapat dijumpai di benua Afrika, Amerika, Asia dan Eropa, bahkan sering dianggap sebagai salah satu tahapan pencapaian dalam peradaban manusia yang universal. Secara leksikal, Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:146) menjelaskan arti kata batik adalah “kain bergambar yang pembuatannya secara khusus dengan menuliskan atau menerakan malam pada kain itu, kemudian pengolahannya melalui proses tertentu”, dari celup sampai dijemur.
Dalam konteks Batik Surakarta, batik berarti gambar yang ditulis pada kain dengan mempergunakan malam sebagai media sekaligus penutup kain (wax
registered method). Lebih jauh, Widiastuti (1993:17) menjelaskan bahwa batik Nusantara memiliki dua keunikan, yaitu pertama, pergunaan canting sebagai alat untuk membubuhkan malam atau lilin pada bagian kain yang tidak diwarnai; dan kedua, motif disempurnakan dengan penggunaan canting sebagai alat melukis dan malam sebagai perintang warna yang kemudian dinamakan membatik untuk menghasilkan kain atau batik dengan mutu yang tinggi.
Batik Surakarta lazimnya dikategorikan sebagai batik keraton, yaitu batik yang tumbuh dan berkembang berdasarkan filosofi kebudayaan Jawa, yang mengacu pada nilai-nilai spiritual dan pemurnian diri, serta memandang manusia dalam konteks harmoni semesta alam yang tertib, serasi, dan seimbang (harmonis) (Yayasan Harakan Kita//BP 3 TMII, 1997:5). Hal ini dapat diamati dari ragam hias dan tata warna Batik Surakarta yang mengandung makna simbolis yang berdasar pada falsafah hidup manusia Jawa. Sebagaimana ungkapan oleh PB IX mengenai busana, “Nyandhang panganggo hiku dadyo srono hamemangun wataking manungso jobo-jero”, yang artinya, ‘memakai busana dan perlengkapannya itu menandakan watak lahir dan batin dari si pemakai’ (dalam Pujiyanto, 2010:13).
Dari adanya pandangan-pandangan tersebut, dapat dipahami bahwa Batik Surakarta merupakan pantulan falsafah hidup Jawa yang dilandasi kedisiplinan spiritual, misalnya pengendalian diri, tata cara (etika), dan keselarasan (hormoni) yang bermakna sangat penting bagi manusia Jawa. Bahkan, dari sisi ragam hias, tata warna, dan tata pakai, secara simbolik Batik Surakarta mengandung makna pesan dan harapan yang tulus demi terciptanya kebaikan dan kebahagiaan bagi si pemakai (Djoemena, 1990:10). Dengan demikian, Batik Surakarta menjadi bagian penting dalam kehidupan manusia Jawa yang tidak dapat terpisah dari daur hidupnya.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat dirumuskan konsep dekonstruksi makna simbolik Batik Surakarta sebagai berikut: dekonstruksi makna simbolik Batik Surakarta adalah pembongkaran terhadap makna-makna yang telah dilekatkan atas Batik Surakarta yang tumbuh dan berkembang dalam wilayah budaya Jawa, khususnya di Surakarta yang perwujudannya mengandung makna-makna yang mengacu pada nilai-nilai spiritual dan pemurnian diri, serta memandang manusia dalam konteks harmoni semesta alam yang tertib, serasi, dan seimbang (harmonis).

B.     Penelitian yang Relevan
Kajian tentang Batik Surakarta yang dilakukan dalam disiplin ilmu Kajian Budaya merupakan kajian yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Kajian ini tidak ditujukan untuk memahami Batik Surakarta sebagai sebuah perwujudan fisik dari ilmu seni batik. Dalam kajian ini, Batik Surakarta merupakan objek material dari kajian tentang dekonstruksi makna simbolik Batik Surakarta. Kendala penelitian yang memfokuskan kajian pada Batik Surakarta untuk membongkar atau membuat pemaknaan kembali Batik Surakarta adalah terlalu kompleksnya permasalahan yang menyertai dan mempengaruhinya. Kondisi ini dapat dimengerti karena banyaknya simbolisasi dan falsafah hidup manusia Jawa yang tersimpan dalam perwujudan Batik Surakarta. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kajian ini tidak bisa hanya mengandalkan pengetahuan seni batik secara umum dan/atau perwujudan batik semata-mata, tetapi harus dikembangkan lebih lanjut pada pemahaman konsepkonsep yang menyertai dan teori-teori yang digunakan. Dengan demikian, kajian pustaka ini diarahkan bukan hanya pada pustaka-pustaka hasil penelitian batik saja, tetapi juga pada pustaka-pustaka yang dapat digunakan untuk membangun konsep dan aplikasi teori.
Hasil penelitian Yayasan Harapan Kita/BP-3 TMII (1997) tentang latar belakang kehidupan bangsa Indonesia, adat-istiadat, dan seni budaya yang diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul Indonesia Indah telah jelas mengungkapkan konsep seni batik yang memiliki pengertian sebagai citra budaya Indonesia yang memiliki keunikan. Dari pustaka ini, setidaknya diperoleh informasi keberadaan dua jenis batik yang ada di Jawa, yakni batik keraton dan batik pesisiran. Batik Surakarta dikelompokkan ke dalam batik keraton, yaitu batik yang tumbuh dan berkembang berdasarkan filosofi kebudayaan Jawa yang mengacu pada nilai-nilai spiritual dan pemurnian diri, serta memandang manusia dalam konteks harmoni semesta alam yang tertib, serasi, dan seimbang (harmonis).
Konsep yang berupa lingkaran konsentris yang menempatkan batik keraton sebagai ungkapan sebuah falsafah hidup kebudayaan Jawa hampir selalu dirujuk oleh penelitian-penelitian tentang batik keraton. Setidaknya, konsep lingkaran konsentris yang menghasilkan seni batik yang diungkapkan oleh Yayasan Harapan Kita/BP 3 TMII cukup banyak memberikan gambaran tentang konsep dasar orientasi pola seni batik.
Sebuah penelitian yang lebih fokus pada mitos dan makna batik oleh Nian S. Djoemena (1990) yang diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul “Ungkapan Sehelai Batik: Its Mystery and Meaning” mengungkapkan mitos dan makna ragam hias batik Nusantara yang diklasifikasikan berdasarkan wilayah geografis. Walaupun karya penelitian ini bukan penelitian yang difokuskan kepada Batik Surakarta, setidak-tidaknya mitos dan makna ragam hias batik yang dimiliki masing-masing daerah termasuk Surakarta dapat membantu untuk membangun konsep makna simbolis batik dalam penelitian ini.
Hasil penelitian lain yang lebih fokus pada Batik Surakarta adalah sebuah tesis 15 karya Widiastuti (1993) yang berjudul “Pergeseran pada Batik Surakarta: Periode Tahun 1950-1990”. Widiastuti cukup jelas dan detail dalam mengungkap pergeseran perwujudan Batik Surakarta, baik dari sisi teknis, maupun dari sisi ragam hias dan tata warna. Penelitian tersebut menempatkan batik surakarta sebagai objek seni-budaya yang memiliki makna simbolik sebagai kain  atau textile. Hasil penelitian ini tidak hanya dapat dijadikan data sekunder dalam kajian ini, namun melengkapi juga pemahaman konsep tentang Batik Surakarta yang telah diperoleh dari pustaka karya Yayasan Harapan Kita/ BP 3 TMII.
Selanjutnya, sebuah hasil penelitian yang lebih fokus tentang batik keraton Kasunanan dan Mangkunegaran oleh Pujiyanto (2010) yang diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul Batik Keraton Kasunanan dan Mangkunegaran
Surakarta: Sebuah Tinjauan Historis, Sosial Budaya, dan Estetika. Pustaka ini cukup jelas dan detail dalam mengungkap sejarah perkembangan teknik, ragam hias, dan makna filosofis batik Keraton Kasunanan dan Mangkunegaran. Informasi tersebut dapat dijadikan data sekunder dalam kajian ini, selain untuk melengkapi pemahaman konsep mengenai batik Keraton Kasunanan dan Mangkunegaran.
Dari empat hasil penelitian tentang batik tersebut, dapat dicatat dua hal penting. Pertama, keempat kajian di atas jelas tidak dilakukan dalam wilayah ilmu Kajian Budaya. Kedua, keempat kajian di atas memiliki kesamaan dalam memposisikan Batik Surakarta dan makna yang melekat sebagai seni-budaya tradisional yang berkaitan dengan kegiatan adat manusia Jawa sehingga Batik Surakarta yang selama ini dianggap sebagai hasil karya seni budaya Jawa tanpa sadar 16 hanya dipandang sebagai peninggalan budaya.
BAB III
METODE PENELITIAN
A.    Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian bidang ilmu Kajian Budaya dengan melibatkan berbagai disiplin untuk memberikan kemungkinan yang sangat luas atas data-data yang diperoleh dari objek penelitian. Berbagai bentuk dari objek budaya yang selama ini tidak diperoleh perhatian dengan mekanisme penelitian diharapkan akan terungkap secara ilmiah (Ratna, 2010:189). Atas upaya ilmu Kajian Budaya tersebut, ciri yang dimilikinya sebagai ilmu adalah multidisiplin serta interdisiplin untuk mengetahui dan memahami objek penelitian (Ratna, 2010:169).
Berdasar pada prinsip tersebut, paradigma Kajian Budaya berada di wilayah posmodernisme dengan sistem berpikir kritis (Pitana, 2010: 46). Oleh karena itu, aspek-aspek kebudayaanlah yang lebih berperanan, demikian juga teori-teori kontemporer kebudayaanlah yang harus digunakan (Ratna, 2010:171). Di samping itu, ontologis ilmu Kajian Budaya menyatakan bahwa segala sesuatu terfragmen sebagai realitas budaya dipandang juga dianalisis dalam dunia kontekstual. Artinya, Kajian Budaya mementingkan perspektif emic. Di titik ini, suatu gejala dan fenomena budaya meliputi makna dan proses interpretasi pelaku budaya (Faisal dalam Bungin, 2010:3-17). Penelitian ilmu Kajian Budaya dilakukan untuk melihat makna di balik data yang diperoleh secara holistik untuk merumuskan masalah penelitian itu sendiri (Bungin, 2010:VI).
Atas tujuan tersebut, penelitian ini menggunakan metode analisis data kualitatif dan teknik analisis data secara deskriptif dan interpretatif yang menggunakan pendekatan hermeneutik. Secara umum, penelitian yang menggunakan analisis data kualitatif didefinisikan sebagai penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata dan/atau ungkapan-ungkapan, termasuk di dalamnya tindakan-tindakan yang dapat diamati dengan menekankan pengembangan konsep dan pemahaman pola yang ada pada data; memperhatikan setting dan orang secara holistik sehingga bukan sebagai variabel-variabel terpisah; cenderung bersifat humanistik; pemahaman makna yang menjadi dasar tindakan partisipan dan memahami keadaan dalam lingkup yang terbatas (Pitana, 2010:46).
Dalam penelitian ini, teori dekonstruksi dari Derrida diposisikan sebagai teori utama untuk menjawab ketiga rumusan masalah penelitian yang dalam penggunaannya dibantu dengan teori semiotika komunikasi visual dari Umberto Eco yang digunakan secara eklektik.
Penelitian ini menggunakan pendekatan atau sudut pandangan filosofis hermeneutik. Hermeneutika filosofis disebut Gardamer merupakan usaha melampaui perdebatan objektivisme dan relativisme terhadap ilmu pengetahuan modern. Dalam ilmu-ilmu tentang manusia, kebenaran bergerak sesuai dengan gerak manusia pengamat dan manusia yang diamati dalam lintasan ruang dan waktu, karena kondisi objek dan subjek selalu berubah dengan latar ruang dan waktunya. Lebih lanjut Ricoeur (dalam Kaplan, 2010: 31) mengatakan “Hermeneutika melaju dari pemahaman sebelumnya tentang hakikat sesuatu yang coba dipahaminya dengan menginterpretasikannya”. Dalam hal ini, interpretasi adalah sebuah ingatan akan makna (a recollection of meaning), suatu kerja untuk menguraikan makna yang tersembunyi dan terdistorsi dalam makna jelas, dan membuka berbagai tingkat makna yang diisyaratkan dalam makna harfiah (Batik Solo sebagai teks) (Kaplan, 2010:26-41).
Interpretasi berfungsi untuk menjelaskan mengapa segala hal itu seperti demikian, karena manusia tidak pernah berada di permulaan proses kebenaran (pemaknaan) dan karena manusia menjadi bagian dari wilayah kebenaran (tatanan makna historis) tertentu yang diasumsikan sebelumnya, seperti yang diungkapkan Ricoeur (dalam Kaplan, 2010:64). Dalam pengertian tersebut, teks budaya (Batik Solo) harus diinterpretasikan secara terbuka untuk mengetahui, memahami, dan mendeskripsikan makna yang tersembunyi di baliknya, sehingga penelitian ini dapat menemukan makna simbolik Batik Solo dalam konteks kekinian.

B.     Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah wilayah administrasi pemerintahan Kota Surakarta, Propinsi Jawa Tengah. Pemilihan Batik Solo sebagai objek kajian menjadikan Kota Solo sebagai lokasi penelitian berdasarkan pertimbangan berikut.
Pertama, alasan filosofis, yaitu (1) Batik Solo merupakan simbol ekspresi kosmologi manusia Jawa yang berpusat pada Keraton Surakarta; dan (2) Batik Solo diyakini memiliki makna simbolis dalam daur hidupnya. Kedua, alasan historis, yaitu (1) Batik Solo lahir dan tumbuh di Kota Solo sejak berdirinya Keraton Surakarta sampai sekarang ini; (2) hingga tidak dapat dipisahkan dari sejarah Kota Solo; dan (3) Batik Solo merupakan budaya adiluhung Jawa dan menjadi bagian warisan budaya takbenda oleh UNESCO yang harus dilindungi dan dilestari. Ketiga, alasan sosial ekonomis, yaitu (1) Kota Solo telah merupakan pusat industri batik hingga sekarang; dan (2) Batik Solo merupakan sumber daya sosial ekonomi Kota Solo terutama sektor pariwisata dan fashion dalam konteks ekonomi kreatif.

C.    Jenis dan Sumber Data
Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data tentang makna simbolik Batik Solo sebagai busana tradisional Jawa dan fashion yang ditampilkan dalam bentuk naratif dan bersifat kualitatif yang terdiri atas dua sumber data. Pertama, sumber data tidak tertulis, yaitu berupa kata-kata, tindakan, ungkapan, dan peristiwa yang terjadi dalam konteks Batik Solo yang dalam hal ini digunakan sebagai sumber data utama (primer). Sumber data utama ini diperoleh dari pengamatan langsung terhadap simbolisasi Batik Solo dan wawancara dengan informan-informan terpilih yang dicatat melalui catatan tertulis, perekaman suara, dan/atau pengambilan gambar melalui kamera.
Kedua, sumber data tertulis, yaitu berupa buku-buku, berita media cetak, jurnal-jurnal, dokumen-dokumen, dan hasil-hasil penelitian terdahulu yang terkait dengan Batik Solo dan makna sebagai busana tradisional dan fashion yang dalam hal ini digunakan sebagai sumber data sekunder. Sumber data tertulis ini diperoleh dari studi dokumen dan studi kepustakaan.

D.    Teknik Pemilihan Informan
Informan-informan yang diwawancarai dalam kerja penelitian ini dikelompokkan menjadi tiga. Pertama, informan dari dalam pihak pengrajin dan pengusaha Batik Solo, yaitu orang-orang berkaitan dengan proses pembuatan dan perdagangan Batik Solo; kedua informan ahli, yaitu pemerhati atau orang yang memiliki pengetahuan mengenai busana tradisional Batik Solo, termasuk di dalamnya informan dari pihak kalangan Keraton Surakarta dan Mangkunegaran, dan Pemerintah Kota Surakarta; dan ketiga informan publik, yaitu informan yang berasal dari masyarakat umum.

E.     Instrumen Penelitian
Dalam mengumpulkan data penelitian ini, peneliti menggunakan tiga alat utama, yaitu: (1) pedoman wawancara yang digunakan sebagai panduan dalam wawancara (lihat Lampiran 2: Pedoman Wawancara); (2) alat perekam gambar (kamera dan scanner) yang digunakan untuk memperoleh dada visual dari objek amatan, dan alat perekam suara yang digunakan dalam upaya wawancara terhadap informan; dan (3) alat tulis yang digunakan untuk mencatat data-data yang diperoleh dalam proses wawancara, observasi, dan kepustakaan.

F.     Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini lebih mengutamakan penggunaan teknik observasi dan wawancara mendalam, di samping studi kepustakaan. Dengan menggunakan teknik tersebut kajian terhadap makna simbolik busana tradisional Batik Solo membuka peluang baca ulang untuk menemukan sesuatu yang disembunyikan di dalamnya. Di samping itu, berkembangnya kereativitas dalam menafsirkan “teks” dilakukan dengan diamati hingga diperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang makna simbolik Batik Solo. Atas tujuan tersebut, teknik yang dilakukan dijelaskan seperti berikut.
Pertama, observasi, yaitu pengamatan lapangan langsung terhadap fenomenafenomena yang terjadi atas Batik Solo khususnya di Kota Solo baik dalam sehari-hari maupun acara khusus. Observasi dilakukan untuk mengempulkan data yang berada dalam pelilaku pelaku budaya di balik fenomena-fenomena sosial karena secara filosofis masyarakat dipahami sebagai pengalaman langsung (Simmel dalam Ratna, 2010:221).
Kedua, wawancara, yaitu suatu percakapan untuk memburu makna yang tersembunyi di balik kata-kata dari informan sehingga sesuatu dari fenomena sosial menjadi dapat dipahami (Faisal dalam Bungin, 2010: 67). Wawancara dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pendapat, persepsi, perasaan, pengetahuan, pengalaman, dan penginderaan seseorang (Pitana, 2010: 53).
Ketiga, studi dokumen, yaitu pengumpulan data yang bersumber dari dokumen yang dibedakan menjadi dua macam, yaitu; (1) dokumen formal, dokumen yang dikeluarkan lembaga tertentu, dan (2) dokumen informal, dokumen yang merupakan catatan pribadi. Dengan kata lain, pengumpulan data dari noninsani, yaitu (1) tulisan, seperti berita media cetak, surat-surat, laporan resmi, catatan harian, katalog, dan/atau notulen; dan (2) gambar dan lambang, foto-foto, dan audio visual. Artinya, teknik dokumentasi ini digunakan untuk mengumpulkan data teks dalam naskah-naskah yang berupa dokumen. Data teks yang diperoleh dari studi dokumen ini diposisikan sebagai data sekunder penelitian (Pitana, 2010:54, Ratna, 2010:233-238).
Keempat, studi perpustakaan, yaitu suatu kajian terhadap buku-buku, jurnal-jurnal, dan hasil-hasil penelitian terdahulu dalam kaitannya Batik Solo. Studi perpustakaan digunakan tidak hanya mencari data dan/atau pengertian tentang Batik Solo yang selama ini dikembangkan dalam konsep-konsep oleh penelitian terdahulu, tetapi juga untuk memperoleh data yang berfungsi sebagai pelengkapan data yang diperoleh lapangan dan wawancara.
G.    Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif, yaitu analisis yang memfokuskan pada alasan-alasan maknawi (reason) dari para pelaku sesuatu tindakan atau praktik sosial itu sendiri sesuai dengan dunia pemahaman pelaku itu sendiri (kontekstual). Oleh karenanya, upaya analisis data kualitatif disebut upaya understanding of understanding oleh Geertz (Faisal dalam Bungin, 2010: 67).
Prosedur yang ditempuh dalam analisis ini bukanlah linier, tetapi tahapan-tahapannya tidaklah dapat dipisahkan. Secara sederhana, logika yang digunakan dalam analisis data kualitatif bertitik tolak dari “khusus ke umum”, berbentuk siklus. Mula-mula, hasil pengumpulan data direduksi (data reduction) melalui mengikhtisarkan dan memilah-milah ke dalam satuan konsep-konsep, kategori-kategori, dan tema penelitian. Kemudian, hasil reduksi data diorganisasikan ke dalam bentuk sinopsis, tabel, matriks (display data) sehingga memudahkan upaya pemaparan dan penegasan simpulan (conculution drawing and verification). Proses tersebut bukan sesuatu “sekali jadi” melainkan berinteraktif, secara bolak balik (Faisal dalam Bungin, 2010: 68-71, Pitana, 2010:56).

H.    Teknik Penyajian Hasil Analisis Data
Penyajian data dengan teknik analisis data kualitatif merupakan proses interpretasi, yaitu proses pemberian makna. Teknik penyajian hasil analisis adalah dengan menggunakan gabungan cara informal dan formal. Cara informal adalah penyajian hasil analisis secara naratif. Dengan kalimat lain, keseluruhan data yang diperoleh dalam proses kerja penelitian dideskripsikan dan diberikan arti kemudian disajikan secara naratif. Adapun cara formal adalah penyajian hasil analisis dalam bentuk gambar, bagan, ataupun foto-foto (Pitana, 2010:57). Cara formal ini digunakan lebih untuk tujuan mendukung kualitas narasi hasil analisis dalam penelitian ini.



DAFTAR PUSTAKA
Bungin, B. (2010). Metode Penelitian. IKAPI. Jakarta.

Code, L. (Ed.). (2010). Feminist Interpretations of Hans-Georg Gadamer. Penn State Press.

Djoemena, Nian S. 1990. Batik dan mitra. Djambatan.

Eco, U. (1976). A theory of semiotics (Vol. 217). Indiana University Press.

Kita, Yayasan Harapan 1995. "Indonesia Indah 1."

Kudo, N., Wolff, B., Sekimoto, T., Schreiner, E. P., Yoneda, Y., Yanagida, M., ... & Yoshida, M. (1998). Leptomycin B inhibition of signal-mediated nuclear export by direct binding to CRM1. Experimental cell research242.

Levent, E., Gökşen, D., ÖZYüREK, A. R., Darcan, Ş., Çoker, M., GüVEN, H., & Parlar, A. (2002). Stiffness of the abdominal aorta in obese children. Journal of Pediatric Endocrinology and Metabolism, 15.

Nakagawa, Masato, et al. (2008).. "Generation of induced pluripotent stem cells without Myc from mouse and human fibroblasts." Nature biotechnology 26.1

Norris, P. (2001). Digital divide: Civic engagement, information poverty, and the Internet worldwide. Cambridge University Press.

Percy, Walker. (2000). The message in the bottle: How queer man is, how queer language is, and what one has to do with the other. Macmillan.

Piliang, Y. A., & Adlin, A. (2003). Hipersemiotika: tafsir cultural studies atas matinya makna. Jalasutra.

Pitana, I. G., & Diarta, I. K. S. (2009). Pengantar ilmu pariwisata. Yogyakarta: Andi.

Ratna, N. K. (2010). Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora pada Umumnya. Pustaka Pelajar.

Simatupang, T. M., Victoria Sandroto, I., & Hari Lubis, S. B. (2004). Supply chain coordination in a fashion firm. Supply Chain Management: An International Journal, 9.

Sutrisno, M., Sumarjo, J., Ali, M., Simatupang, G. R., Widayat, R., Pujiyanto, P., & Marwati, S. (2010). PROSIDING SEMINAR NASIONAL ESTETIKA NUSANTARA. ISI Press untuk Program Pascasarjana ISI Surakarta.


Widyastuti, P., Talitha, T., & Setyaningrum, R. (2016). Beban Kerja Fisik Karyawan Industri Batik Tradisional.

Minggu, 09 Juli 2017

MAKNA MAHAR RAMA DAN SINTA: KESALAHAN TENAFSIRAN MASYARAKAT

Pernikahan merupakan sebuah ikatan yang sangat sakral dalam kehidupan manusia, dimana seseorang menyempurnakan separoh agamanya. Penyempurnaan agama ini pada hakikatnya meliputi dua pokok bahasan, yaitu mengenai hasrat keduniaan dan kebatinan. Selain itu, dalam pernikahan juga terdapat sebuah simbolisasi yang sangat sakral yang sudah sangat populer di masyarakat, yaitu Mahar. Dalam masa kekinian mahar mulai sangat beragam, mulai dari bentuk maupun tema yang diambilnya, mulai dari yang tradisional hingga modern. Mahar merupakan sebuah bentuk penghargaan seorang suami yang diberikan kepada istrinya. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai macam barang maupun non barang yang semampunya dari suami, dan tentu saja dengan sepenerimaan istri. Dalam era kekinian mahar dengan tema Rama dan Sinta sangat populer dan disenangi oleh masyarakat, khususnya Jawa. Hal ini dikarenakan adanya makna simbolik yang sangat mendalam dalam cerita Rama dan Sinta sebagai simbol cinta yang abadi.
Dalam pembahasan ini akan dibahas mengenai sebenarnya makna yang ditinjau dari sisi yang lain, yang mungkin tidak terpikirkan oleh orang awan yang tau hanya sebatas pada permukaan saja. Mahar sebagai salah satu simbol cinta seorang suami kepada istri seharusnya didasarkan sesuatu hal yang mengajak pada khidupan yang lebih baik.
Kebanyakan orang hanya menerima secara permukaan semata mengenai cerita Rama dan Sinta dalam pewayangan mengenai simbol cinta sejati. Namun demikian, banyak orang yang sebenarnya tidak mengetahui isi dan alur cerita Rama dan Sinta. Beberapa cuplikan yang tidak diketahui adalah:
1. Sinta diminta untuk tidak keluar dari lingkaran yang dibuat oleh Rama ketika ia sedang mengejar kijang. Namun karena keibaannya melihat Rahwana yang menyamar sebagai kakek-kakek kemudian ia keluar dari lingkaran dan diculik oleh Rahwana.
2. Sinta menjaga dirinya sedemikian rupa hingga ia masih suci, walaupun diculik oleh Rahwana.
3. Rama tidak percaya dan ragu akan kesucian Sinta pada saat diculik Rahwana.
Ketiga cuplikan tersebut hanya sebagian kecil saja mengenai cerita Rama dan Sinta. Apabila ditinjau berdasarkan sebagai simbol mahar apakah ini tidak menjadi sebuah doa untuk kehidupan masa depannya. Kejadian yang nomor satu itu dapat diibaratkan dalam rumah tangga yaitu saat sang istri diminta dirumah oleh sang suami untuk menjaga diri. Hakikatnya seorang istri hanyalah patuh kepada suami, dan ini juga sangat jelas. Apalagi ditambah dengan kejadian selanjutnya yaitu diculik Rahwana, hal ini seperti menunjukkan sebuah keburukan yang diakibatkan oleh ketidakpatuhan istri kepada suaminya.
Sedangkan pada cerita nomor tiga juga menggambarkan ketidakpercayaan Rama akan kesucian Sinta setelah diculik Rahwana. Dalam kejadian ini selanjutnya Sinta yang pada dasarnya setia kemudian meninggalkan Rama. Dalam pernihakan hal ini sering terjadi pada suami maupun istri yang sering kali curiga dan menduga-duga apa yang terjadi pada pasangannya. Apabila hal ini terjadi pada sebuah pernikahan tidaklah menjadi sebuah kebaikan. Hal ini juga justru menggambarkan ketidakjujuran dan ketidakpercayaan kepada pasangan.
Sesungguhnya banyak cobaan yang terjadi pada dalam kisah Rama dan Sinta, khususnya mengenai percintaan mereka. Hal ini tentunya apabila dijadikan simbol mahar tidaklah tepat dimana hal ini akan menjadi doa untuk masa depan rumah tangganya. Siapa yang ingin dalam pernikahannya banyak cobaan yang mengguncang rumah tangganya, mulai dari hal yang kecil hingga datangnya pihak ketiga. Sulit sekali kehidupan antara Rama dan Sinta, khususnya percintaan mereka. Maka dari itu, menurut saya tidaklah tepat membawa simbol Rama dan Sinta dalam sebuah simbol pernikahan yang sakral, yaitu Mahar

Apakah anda masih ingin menjadikan Rama dan Sinta sebagai simbol pernikahan kalian, coba dulu deh cari referensi yang mendalam dulu sebelum menjadikannya sebagai mahar pernikahan kalian. Tentu saja setiap insan ingin punya kehidupan yang baik bersama pasangannya, sehingga hal ini harus didasarkan pada suatu hal baik pula,
demikian terima kasih.

Jumat, 26 Mei 2017

PENDIDIKAN SENI DAN INDUSTRI KREATIF: TILIKAN DARI SISI “YANG LAIN”[1]

Dr. Kasiyan, M.Hum.[2]


Adalah tidak cukup bahwa kamu memahami ilmu agar memudahkan pekerjaanmu.
Perhatian kepada manusia itu sendiri dan nasibnya,
harus selalu merupakan minat utama dari semua ikhtiar teknis.
Agar buah ciptaan dari pemikiran kita,
akan merupakan berkah dan bukan kutukan bagi kemanusiaan.
Janganlah kau lupakan hal itu di tengah tumpukan diagram dan persamaan”.

 Albert Einstein
Pidatonya di hadapan Mahasiswa California Institute of Technology (1938)

           
Salah satu diksi wacana yang cukup menyita perhatian publik secara massif dalam hari-hari kontemporer belakangan kini, yakni apa yang dikenal dengan “industri kreatif”. Sebagai sebuah konsep kebudayan, istilah industri kreatif ini dapat dikatakan bukanlah sebagai sesuatu yang benar-benar baru, karena pelbagai jejak historis yang panjang di masa lalu pernah mencatat tentang risalah yang berkelindan dengan itu. Dalam khazanah peradaban Barat terutama Eropa misalnya, embrio industri kreatif sudah ada sejak zaman revolusi industri pada era tahun 1700-an, yang dipicu oleh revolusi ilmu pengetahuan di era Pencerahan pada abad ke 16, dengan munculnya para ilmuwan seperti Francis Bacon, René Descartes, Galileo Galilei, peletak dasar ilmu pengetahuan dan teknologi modern.[3] Betapa pelbagai temuan ilmu pengetahuan dan teknologi di masa itu, adalah motor penggerak utama hadirnya proyek industrialisasi, sebagaimana halnya fenomena budaya dan industri dalam konteks wacananya dalam kebudayaan kontemporer kini.
Dalam konteks keindonesiaan, konsep industri kreatif amat menyedot perhatian, terutama ketika pemerintah mengkerangkainya dalam format kebijakan dalam bentuk Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2009 tentang pengembangan ekonomi kreatif. Bahkan tahun 2009 itu kemudian dicanangkan oleh pemerintah saat itu, sebagai tonggak tahun Indonesia kreatif. Kebijakan ini kemudian ditindaklajuti ketika di tahun 2014 hadir satu nomen klatur kementerian baru yang belum pernah ada dalam struktur era pemerintahan sebelumnya, yakni Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.[4]
Sejak itulah, paradigma industri kreatif seolah menjadi ikon mantra yang diwacanakan dengan derajat yang amat tinggi di mana-mana, termasuk tak luput pula dunia dan disiplin seni tak steril dibuatnya. Keterlibatan seni dalam arus pusaran wacana utama industri kreatif ini, bukan semata-mata merupakan salah satu bidang yang paling dekat dengan teks kreativitas sebagai basis rohnya industri kreatif, melainkan juga jagad seni memang menjadi subjek tulang punggung utama yang menjadi concern fokus di industri kreatif itu sendiri. Hal ini paling tidak dapat dilihat dari jabaran peta jalan dan cetak biru industri kreatif yang menjadi fokus perhatian pemerintah, yang jumlahnya ada 14, yang didominasi atau bahkan hampir semuanya terkait dengan ranah disiplin seni, yakni: 1) periklanan, 2) arsitektur, 3) benda seni dan barang antik, 4) kerajinan, 5) desain, 6) fesyen, 7) video, film, dan fotografi, 8) permainan interaktif, 9) musik, 10) seni pertunjukan, 11) penerbitan dan percetakan, 12) layanan komputer dan piranti lunak, 13) televisi dan radio, dan 14) riset dan pengembangan.[5] Keberadaan industri kreatif diklaim banyak memberikan andil yang signifikan bagi pembangunan, terutama jika analisisnya dijangkarkan pada kalkulasi pada aspek keuntungan materi, sehingga mesti terus mendapatkan dukungan.[6]
Yang menjadi catatan strategis dan penting kemudian adalah, bahwa siapa pun terutama para stakeholder yang terlibat dan pusaran wacana industri kreatif ini, kiranya perlu mengembangkan daya tilikan kritis-reflektifnya yang memadahi, yang terutama terkait dengan ranah basis filosofisnya yang relatif dikuras dengan pendekatan yang dijangkarkan pada nilai-nilai material-ekonomi, yang seolah melampaui semesta apa pun dalam dalam konteks berkulturasi. Memang menjadi sebuah keniscayaan yang tak bisa dipungkiri bahwa manusia itu adalah sebagai makhluk ekonomi (homo economicus), tetapi melampui dari itu semua, yang lebih berharga adalah bahwa ia sejatinya juga homo sapiens[7], makhluk yang dianugerahi akal budi, yang senantiasa mengidealkan kompleksitas nilai-nilai yang lebih ideal dan tinggi, jika dibandingkan pada sekadar rujukan nilai-nilai yang berbasiskan materi.
Dalam konteks kelindannya dengan diskursus yang terakhir inilah, kiranya konteks seni dan juga pendidikan seni menjadi menemukan ruang relevansi. Dengan adanya tilikan kritis reflektif, diharapkan seni dan juga pendidikan seni bisa berposisi dan berperan lebih sebagai subyek yang mampu memberikan pelbagi kemungkinan perspektif positif, ketimbang sekadar sebagai objek yang dieskploitasi dalam wacana industri kreatif. Sebagaimana sudah menjadi konvensi dan pemahaman yang purba kiranya, bahwa kehadiran dan keberadaan seni atau kesenian di sepanjang lintasan sejarah peradaban yang ada, senantiasa menggendhong visi nilai-nilai yang amat mulia. Taruhlah kemuliaan visi itu kemudian bersinggungan dengan domain materi-ekonomi, maka sejatinya itu hanya berada pada lapisan permukaan yang paling artifaktual dan artifisial, dan karenanya tak pernah ditempatkan sebagai kulminasi kesadaran tertinggi. Seni dan kesenian sejatinya adalah sebuah domain peradaban penting, yang keberadaannya bersama pilar-pilar peradaban utama lainnya, secara niscaya digairahkan untuk menggaransi eksistensi kemanusiaan manusia itu sendiri. Seni, karenanya sampai hari ini dirumuskan dalam sebuah tesis yang nyaris abadi, yakni sebagai salah satu jalan kemanusiaan itu sendiri. Karena itulah, berbicara tentang seni dan juga pendidikan seni, sejatinya adalah berbincang tentang sebuah gagasan tentang proyek humanisasi.
Oleh karena itu, mainstream visi yang ada dalam budaya dan industri kreatif ini, manakala tak disikapi secara hati-hati memadai, bisa berpotensi menelikung eksistensi seni dalam jebakan kultur politik ekonomi yang amat destruktif. Mengingat hasil pencermatan yang ada, tampak bahwa paradigma industri kreatif ini cenderung difahami dan diterjemahkan di pelbagai level lapisan, dalam aura kecenderungan menerimanya sebagai satu kebenaran, tanpa diserta dengan analisis relektif kritis untuk sekadar mewaspadai pelbagai kemungkinan dampak negatif yang ditimbulkannya. Padahal dari dimensi lain, sebagaimana disampaikan tadi, terminologi industri kreatif ini amat potensial menggendhong pelbagai kerentanan yang amat menghawatirkan, baik dari sudut pandang kesenian maupun kebudayaan. Oleh karena itulah, serangkaian upaya pemikiran kritis tentang sesi baru budaya dan industri kreatif, dalam perpekstif lintas disiplin, termasuk dalam konteks ini adalah disiplin seni, kiranya menjadi satu hal yang penting dan amat berarti. Kajian ini,  dihajatkan untuk mencoba mengambil optik posisi sebagaimana yang disebutkan pada klausul yang terakhir ini.

Industri Kreatif dan Kota Kreatif
Sebagaimana disampaikan di atas, diskursus perihal budaya dan industri kreatif, sejatinya sebagai khazanah yang cukup lama keberadaanya, yang awalnya terkait erat dengan wacana pembangunan kota terutama dalam perspektif ekonominya.[8] Dalam kata-kata Chris Gibson & Natascha Klocker, Creativity and the ‘creative industries’ are increasingly common components of urban economic development discoursse”. Demikian juga dalam pandangan  Moeran & Pedersen, bahwa wacana industri kreatif ini substansi basis pijakannya adalah mengeksploitasi terminologi kreativitas dalam konteks kepentingan terutama politik ekonomi.[9]
Dalam catatan historis, ada beberapa moment penting ibarat puzzle road map yang berkaitan dengan perjalanan industri kreatif di beberapa negera terutama di Barat. Pada tahun 1977 misalnya, di Washington, sekelompok ahli tata kota yang bergabung dengan para arsitek dan juga seniman, melalui program yang disebut Partnership of Livably Place, mengembangkan gagasan yang diistilahkan sebagai kota kreatif, yakni sebuah kota yang ideal, manusiawi, dan nyaman yang menekankan pada pendekatan kebudayaan dan lingkungan.[10] Demikian juga di Australia pada tahun 1994, melalui Australia Department of Communications and the Arts Australia, merilis gagasan tentang “Creative Nation: Commonwealth Cultural Policy”.[11] Kemudian, pada tataran kebijakan yang lebih praksis, jejak budaya dan industri kreatif ini terutama dikembangkan di Inggris, melalui Partai Bu­ruh dari golongan pembaharu (New Labour) untuk menentang konsepsi-konsepsi lama dari kubu Old Labour, yang dimotori oleh Tony Blair, pada tahun 1997, melalui Department of Culture, Media, and Sport (DCMS) mendirikan “Creative Industries Task Force”. DCMS kemudian mendefinisikan industri kreatif, yakni: “as those industries which have their origin in individual creativity, skill & talent, and which have a potential for wealth and job creation through the generation and exploitation of intellectual property and content”.[12] Melihat dari pemaknaan tentang gagasan baru terkait teks  industri kreatif yang disampaikan oleh DCMS ini, konon katanya sejalan dengan padangan sosiolog Anthony Giddens yang dikenal dengan “jalan ketiga[13]”, yang mencoba mendamaikan  keniscayaan pertarungan antara kutub sosialisme-kolektivisme di satu sisi dengan liberalisme-individualisme (kapitalisme) di sisi yang lainnya.
Dalam perkembangan selanjutnya, konsep industri kreatif ini kemudian terus semakin mendapatkan sambutan luas masyarakat. John Howkins misalnya pada tahun 2003, menulis Creative Economy, How People Make Money from Ideas, yang di dalamnya memaknai ekonomi kreatif, sebagai kegiatan ekonomi yang esensinya digerakkan terutama oleh kreativitas.[14] Demikian juga halnya dengan Richard Florida, melalui dua bukunya yang monumental, The Rise of the Creative Class: and How It's Transforming Work, Leisure, Community and Everyday Life (2003) dan Cities and the Creative Class (2005), juga meneguhkan gagasan yang relatif sama tentang konsep industri kreatif ini. Di kedua bukunya itu, Florida menekankan bahwa, betapa sebenarnya seluruh umat manusia itu adalah kreatif. Apakah ia seorang pekerja di pabrik kacamata atau seorang remaja jalanan yang membuat musik hip-hop. Perbedaannya adalah pada status kelasnya, terutama pada individu-individu yang memang menyadari bergelut di bidang kreatif dan kemudian mendapat keuntungan ekonomi dari pelbagai aktivitas kreatif yang mereka lakukan.[15]
Sejalan dengan pandangan tersebut, Hesmondhalgh (2007), memaknai industri kreatif sebagai kumpulan aktivitas ekonomi yang terkait dengan penggunaan pengetahuan dan informasi. (creative industries, also known as cultural industries or creative economy, refer to a range of economic activities that are concerned with the exploitation of knowledge and information).[16] Karenanya substansi industri kreatif juga dikenal dengan istilah industri budaya.[17]
Gagasan pada industri kreatif yang mengintensifkan stock of knowledge yang berbasiskan kreativitas ini, keberadaannya beriringan dengan proses transformasi evolusi dalam tatanan ekonomi di era kapitalisme lanjut, yang awalnya secara klasik berbasis pada sumber daya alam yang amat terbatas, kemudian bergeser pada paradigma berbasis sumber daya manusia yang tak terbatas. Tipe perubahan tata ekonomi yang berbasiskan budaya dan industri industri kreatif ini hadir pada ordinat perkembangan masyarakat, yang oleh futurolog Alvin Toffler (1991),[18] disebut pasca revolusi gelombang ketiga (the third wave revolution) yang ditandai dengan revolusi teknologi komunikasi dan informasi yang tampak amat eksplosif dan massif. Sistem dan tata nilai ekonomi ini, terutama ditandai dengan tak lagi ditentukan oleh bahan baku atau sistem produksi seperti pada era industrial klasik, tetapi penekanannya lebih pada domain kekuatan kreativitas dan inovasi. Inilah paling tidak point substansial yang melekat dalam konstruksi teks industri kreatif, yang kemudian diyakini menjadi narasi “kebenaran pengetahuan” hari ini yang diafirmasi semua kalangan sampai saat ini.

Industri Kreatif: Tilikan “Genealogis[19]
Ketika dihadapkan pada pelbagai realitas yang namanya “kebenaran pengetahuan” kebudayaan apa pun, termasuk dalam konteks ini adalah tentang industri kreatif, seorang Foucault pernah memberikan saran bagus agar kita senantiasa mengembangkan ritus kritis dalam berkesadaran, agar kita tak terjebak dalam kemungkinan kesalahan dalam penyikapan. Hal ini  disebabkan, bahwa sejatinya setiap teks kebenaran pengetahuan itu tak pernah ada yang bersifat netral, melainkan yang ada adalah selalu “politis-kultural”. Lewat teorinya Power/Knowledge, Foucault menegaskan bahwa dimensi politis-kultural dalam setiap teks kebudyaan itu, dikarenakan keberadaannya yang senantiasa terkoneksi dalam pelbagai kompleksitas variabel dan sistem yang terutama bersinggungan dengan terminologi kekuasaan.[20] Oleh karena itulah, Foucault mengatribusi kebenaran dalam setiap pengetahuan itu lebih sebagai truth regime atau “rezim kebenaran”. Konstruksi pokok pikiran genealogis ala Foucaultian ini, relatif kongruen dengan apa yang oleh Kristeva diistilahkan dengan “intertekstualitas” (intertextuallity) [21], atau yang dalam terminologinya Bhaktin dikenal dengan “dialogisme” (dialogism)[22], yang substansinya adalah sama-sama memahami dan menempatkan kebudayaan itu dalam rangkaian makna transposition (transposisi) yang penuh dengan titik pertemuan dan persilangan. Demikian juga halnya ketika menyoal perihal konstruksi dari konsep kebenaran pengetahuan tentang budaya dan industri kreatif ini, maka secara geneologis pengetahuan kebenaran yang melekat padanya sejatinya lebih pas jika ditempakan maknanya  juga dalam formasi sebagai “rezim kebenaran” yang terkoneksi dengan pelbagai jaringan kekuasaan, yang artinya secara niscaya juga amat membutuhkan ritus “kewaspadaan”.
Jika disandarkan pada nukilan substantif dari pemaknaan budaya dan industri kreatif sebagaimana yang disampaikan di atas, maka ketika kuasa politik ekonomi  nyaris menjadi satu-satunya mainstream penyangga utamanya, maka sejatinya pula ia, budaya dan industri kreatif ini, menginduk semang pada sistem kapitalisme-liberalisme sebagai aras dan jangkar filosofi utamanya.[23] Bahkan dalam perspektifnya Toby Miller, ditegaskan lebih lagi, bahwa “neoliberalism is at the core of the creative industries”.[24]
Ketika berbincang tentang teks kapitalisme dan dalam kesatuannya dengan liberalisme dan apalagi neoliberalisme, betapa yang namanya faham berkebudayaan ini, menyertakan kompleksitas persoalan, bukan bukan hanya pada dataran kebudayaan melainkan juga kemanusiaan, dan karenanya tak mengherankan manakala keberadaannya senantiasan mendapatkan gugatan kaum cendekiawan di pelbagai lintasan zaman. Untuk menyebut salah satu promotor utama yang menelanjangi dan memperkarakan tabiat buram sistem kapitalisme dan liberalisme di Eropa di abad-20 misalnya, adalah para cendekiawan yang tergabung dalam kelompok mahzab Frankfurt (The Frankfurt School). Kelompok kritis yang digawangi oleh tokoh-tokoh seperti: Adorno, Benyamin, Marcusse dan pemikir kritis lain seperti Habermas dan Gramcy melihat bahwa industri budaya adalah suatu bentuk manipulasi ideologi dan dominasi.[25]
Oleh karena itulah, baik di tingkat terminologi akademik maupun kebijakan, wacana tentang industri kreatif ini sejatinya amat potensial mengundang pelbagai kerentanan persoalan. Persoalan itu terutama berhulu dari risalah kreativitas sebagai roh terdasar dalam setiap ekspresi kebudayaan, di mana akhirnya orientasi nilai-nilai yang melekat di dalamnya direduksi hanya dalam kaitannya dengan persoalan ekonomi semata.[26] Orientasi budaya yang semata-mata didasarkan pada analisis pasar dan keuntungan dalam perspektif ekonomi inilah, yang akhirnya mengantarkan budaya komodifikasi dan komersialisasi, di mana segala hal terkait dengan deru berkebudayan harus bemuarakan diktum kalkulasi ekomomi kapital yang menguntungkan. Dalam kata Lazaretti berikut ini.

            Commodification is the specific process of commercialization ‘whereby a produced thing or activity itself is given a consumptive market value’. While commodification primarily places the emphasis on cultures as an economic output, commercialization places more considerations on culture as an economic input.[27]

Seturut dengan pandangan tersebut, Edensor. Et all. (2009:90) juga mengemukakan bahwa, “contemporary capitalism is characterized by more recently dominant forms of accumulation, based on flexible production, the commodification of culture and the injection of symbolic ‘content’ into all commodity production”.[28] Dengan demikian, dalam konsep industri kreatif ini, sebenarnya telah terjadi semacam persekongkolan atau perselingkuhan secara halus bahkan nyaris tak kelihatan, antara teks kebudayaan dengan kapitalisme.[29] Flew (2012:6) memberi istilah tentang fenomena ini sebagai,convergence of consumerism with cool capitalism”.
            Berangkat dari kenyataan itulah, karenanya gagasan dalam industri kreatif itu, di sisi lain akhirnya telah mendistorsi hakikat substansi makna dari terma kreativitas dan juga kebudayaan yang semata-mata disandarkan pada motif ekonomi, sehingga pelbagai ritus kinerja dalam berkebudayaan dan termasuk juga berkesenian tak lebih dimaknai aktivitas ketukangan yang membudak pada sistem kapitalisme yang demikian memuja semata-mata risalah keuntungan. Dari sini pula lah, maka terminologi industri kreatif itu kiranya menemukan konteks relevansinya untuk ditimbang dan dipertanyakan, jika itu diklaim sebagai satu gagasan pencerahan ditilik dari sudut pandang kebudayaan. Galloway & Dunlop (2007:17)  menyatakan:

The knowledge economy‐based concept of creative industries, it is maintained, has no specific cultural content and ignores the distinctive attributes of both cultural creativity and cultural products. As such it overrides important public good arguments for state support of culture, subsuming the cultural sector and cultural objectives within an economic agenda to which it is ill‐suited. We argue against this turn in public policy and for a cultural policy that views its object as all forms of cultural production, both industrial and artisan.[30]

Fenomena penggunaan terma kreativitas dalam konteks utilitas yang amat pragmatis yakni sebagai pilar penyangga utama menyokong konstruksi industri dan kapital inilah, yang mengakibatkan makna kreativitas itu sendiri telah kehilangan atau minimal terdistorsi kualitas auratiknya. Karenanya tak berlebihan jika Schumpeter, seorang ekonom Austria-Amerika, pernah memberikan atribusi identitas satiris terkait dengn fenomena ini, yakni bahwa wacana creative industries itu sejatinya lebih banyak berurusan dengan creative destruction[31] yang disebabkan diktum kreativitas telah mengalami apa yang diistilahkan oleh Pang (2012) sebagai politisasi” yang memperihatinkan.[32]

Komodifikasi dan Fetisisme Estetika dalam Seni
Ketika permasalahan industri kreatif dalam teks kebudayaan itu diderivasikan lebih jauh ke pilar-pilar yang lebih luas termasuk seni atau kesenian misalnya, maka akan segera ditemukenali bahwa yang namanya gagasan estetika yang terkandung di dalamnya juga akan mengafirmasi orientasi dan spirit yang mengacu pada diktum kuasa ekonomi sebagai panglima. Dalam konteks inilah, seni dan estetika, bukan lagi sebagai sesuatu yang menggairahkan nilai-nilai transendensi, melainkan nilai-nilai ekonomi yang bersifat profan imanensi. Industri kreatif, dalam tataran ini, sejatinya telah melakukan perselingkuhan antara estetika dengan kapitalisme, yang oleh Michelsen diistilahkan sebagai aesthetic capitalism[33], sebagai bagian dari apa yang oleh Kaplan (2008) disebut sebagai culture of fetishism[34].
Dalam konteks inilah, akhirnya industri kreatif kemudian telah menempatkan seni tak lebih sebagai bagian komponen objek, yang bersama-sama komponen kebudayaan lain dieksploitasi habis guna mendukung keberhasilan risalah politik ekonomi. Dalam kaitan ini Kerrigan (2007) menegaskan yakni, “creative industries demonstrate a move away from 'art for art's sake' and towards an acceptance of the economic, social and aesthetic value of culture, where the arts are treated as ingredients in a new cultural mix”.[35] Berkaca dari fakta ini, karenanya pendulum industri kreatif tampak cenderung bergerak ke aah pertimbangan seni dan estetika, yang terutama diarahkan bagi kepentingan fungsi utilitarian yang yang amat pragmatis sifatnya, yang secara klasik misalnya terkait dengan sektor klasik yang berbasis budaya massa, seperti turisme, fesyen, arsitektur, games, kuliner, dan aneka gaya hidup lainnya. Hal ini senada dengan pandangan Singh (2014:150), bahwa “creative industry tend to move toward design elements that include aesthetic considerations but are primarily geared toward other utilitarian functions, such as tourism, textile design of fashion, toys and games and architecture.[36]
Fenomena memperihatinkan seperti itulah, akhirnya membuat seni yang diabdikan semata-mata bagi kepentingan politik ekonomi seolah menemukan konteks pembenaran dan justifikasi, sehingga menjadi satu sesi yang paling digairahi oleh setiap stakeholder, termasuk dalam bidang seni hampir di semua lapisan dan lini. Dalam kaitan ini, Jone & Warren (2016), menyampaikan kritik keprihatinan:

In designated creative industries offices, usually located in economic development sections of local authorities. They come from academics and managers in higher and further education who increasingly see the vocational implications of the creative economy as prime justification for the contemporary role of arts and humanities.[37]

Dari alir nalar itu kemudian dapat difahami, betapa jagat estetika dan kesenian yang mestinya lebih mampu dimaknai sebagai rumah kemanusiaan, dan berperan sebagai “pandhapa agung”, yang menyuguhkan nilai  kesejatian, yakni nilai-nilai yang mampu membentuk dan meningkatkan taraf hidup dan kehidupan menjadi lebih berperadaban[38]; menjadi sesuatu yang kerap dipertanyakan. Demikian juga halnya, teks-teks seni yang selama ini kodratnya cenderung diyakini selalu melawan berbagai bentuk abstraksi dan generalisasi, termasuk abstraksi dan generalisasi dalam konteks industri kreatif ini, kiranya gagal untuk bisa dikerangkai. Padahal ritus abstraksi dan generalisasi dalam berkebudayaan kerap akan memandulkan dan memajalkan kepekaan diri dan kesadaran, karenanya selalu dilawan dalam kerja berkesenian.

Menyoal “Pengkhianatan Kaum Cendekiawan”
            Ketika narasi besar yang menyelubungi konteks persoalan industri kreatif dari sisi yang lain yang cenderung buram tersebut, kiranya posisi dan peran keilmuan seni terutama di pergururan tinggi, menjadi amat strategis untuk melakukan serangkaian proses reorientasi dan revitalisasi bagi pencerahan kulturasi. Harapan besar yang kerap disandarkan pada posisi dan peran perguruan tinggi ini, kiranya bukanlah hal yang berlebihan, karena asumsi masyarakat sampai hari ini masih teramat kuat meyakini, betapa yang namanya situs kampus itu adalah tempat merumahnya kaum cendekiawan, yang secara struktur sosial masuk dalam kategori apa yang diistilahkan kalangan kelas sosial menengah (middle class society), yang perannya selalu menjadi amat determinan sebagai motor avant garde di setiap perubahan sosial dan kebudayaan (agent of social and cultural change).[39] WS Rendra dalam kaitan ini, mengatribusi golongan cendekiawan, sebagai mereka yang ‘berumah di angin’[40], yang keberadaan diharapkan menjadi katarsis ketika zaman dirundung kedukaan.
Meski dalam konteks kontemporer kekinian, ketika membincang perihal kaum cendekiawan, banyak yang menyisakan persoalan yang amat menyesakkan, karena ada semacam tren degradasi posisi dan peran yang tampak signifikan. Hal ini dapat dibaca misalnya ketika di setiap sesi krusial perubahan dan transformasi kebudayaan, termasuk misalnya dalam konteks industri kreatif ini misalnya, kaum cendekiawan di segala disiplin, termasuk disiplin seni, lebih banyak berada dalam lintasan lebih sebagai konsumen dibanding produsen yang menentukan haluan, sehingga yang banyak terekam wacananya adalah tak lebih dari histeria jejak-jejak yang cenderung mengafirmasi, tanpa dibarengi perspektif kritis yang berarti. Posisi dan peran kaum cendekiawan perlahan tampak mulai luntur, di tengah suasana gemuruh hiruk pikuk kehidupan kegaduhan perubahan zaman kekinian yang potretnya makin kabur.
Gambaran selayang pandang terkait dengan hal ini misalnya dapat dilihat dari watak dan corak ilmu-ilmu sosial (termasuk juga seni) Indonesia selama ini, yang lebih suka memilih untuk menjadi budak-budak kekuasaan, entah kekuasaan politik maupun kekuasaan ekonomi. Gambaran cukup baik perihal ini, misalnya tampak dari kritiknya Vedi R. Hadiz dan Daniel Dakhidae pada “Pengantar” untuk bukunya Social Science and Power in Indonesia (2004), yang menyampaikan bahwa betapa ilmuwan sosial bangsa ini, dalam perkembangan termutakhirnya kini, lebih banyak yang menjadi makelar-makelar rezim kekuasaan. Tidak mengherankan bila ilmu sosial di Indonesia, lalu menjadi semacam gugus worldview yang bercorak sangat instrumentalis-pragmatis, ketimbang kritis-reflektif”.[41]
Dalam buku yang sama, PM Laksono juga melakukan kritik yang relatif sama, dengan meninjau kinerja asosiasi ilmu-ilmu sosial yang ada di Indonesia selama ini, seperti Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial (HIPIIS), Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI), Asosiasi Prehistori Indonesia (API), dan masih banyak lagi yang lainnya. Kecenderungan grammar kinerja asosiasi-asosiasi itu, menurut catatan Laksono, adalah berupa idiom ‘peran’ (role): yaitu cara berfikir, bertutur, bertindak, dan bekerja seturut bahasa ala fungsionalisme raksasa sosiolog Talcot Parsons, yakni: “peran ilmu-ilmu sosial bagi pembangunan”.[42] Dari alir nalar inilah, karenanya tak mengherankan manakala dalam kritiknya Soedjatmoko, yang berkembang luas kemudian adalah tradisi “studi-studi pesanan untuk kepentingan memoles citra kebijakan, demi kelanggengan kekuasaan.
Oleh karena itu, tatkala muncul seksi wacana kultural baru, seperti budaya dan industri kreatif ini misalnya, para ilmuwan sosial kita tidak cukup punya kefasihan analitik untuk memeriksa premisn dan tesisnya. Maka, yang terjadi sekedar berbondong-bondong histeria menggunakan istilah baru itu. Yang dikejar bukan refleksi, melainkan dominasi. Dalam kata-katanya Ariel Heriyanto—masih dalam buku yang sama—bahwa di bawah bayang-bayang jargon developmentalism, sekujur wajah ilmu-ilmu sosial Indonesia akhirnya menjadi semacam pertukangan, punya daya besar tapi membudak, amat mirip seperti serdadu, mesin, atau bahkan lebih tepatnya gali.[43]
Kalau demikian potretnya, maka kaum cendekiawan tampak tak cukup memadai lagi sebagai rujukan penting bahkan garda terdepan bagi agent of social and cultural change dan proyek pencerahan, karena telah menjelma menjadi komprador-komprador (bromocorah) utama peradaban. Dalam konteks inilah, kita seolah diingatkan kembali dengan apa yang diistilahkan sebagai “pengkhianatan kaum cendekiawan”, yang pernah digugat habis-habisan oleh seorang filsuf Prancis Julien Benda, pada dekade tahun ’20-an silam.[44]

Industri Kreatif dan Revitalisasi Keilmuan Seni di Perguruan Tinggi
Di tengah pudarnya auratik pesona kecendekiawanan kontemporer yang seperti itu, bukan berarti nyaris tak menyisakan kemungkinan untuk menyemaikan optimisme untuk menatap risalah kekinian dan terutama masa depan. Dalam konteks kaitannya dengan disiplin seni, terutama terkait dengan penyikapan secara spesifik terhadap budaya dan industri kreatif ini misalnya, banyak hal yang kiranya bisa diupayakan. Ada beberapa yang kiranya sifatnya mendesak karena amat strategis dan signifikan misalnya: pertama, peneguhan dan penguatan kembali pelbagai pilar “matriks disiplin” (discipline matrix[45]) keilmuan seni; kedua, pengembangan kemungkinan interdisipliner dan intradispliner keilmuan seni; dan ketiga, kemungkinan pembangunan “otentisitas” keilmuan seni yang lebih berbasiskan kearifan lokal kebudayaan diri.
Pertama, terkait dengan peneguhan dan penguatan kembali pelbagai pilar matriks disiplin (discipline matrix) keilmuan seni ini, kiranya dapat dimaknai sebagai kemungkinan kita secara bersama-sama melakukan reorientasi dan revitalisasi terkait dengan paradigma kelimuan seni selama ini, yang sangat mungkin tanpa disadari berada pada jalur “kelirumologi”. Titik letak “kelirumologi itu, terutama adalah tampak pada gagalnya pemahaman secara utuh akan disiplin seni kita di perguruan tinggi selama ini, yang mestinya ditempatkan dalam kerangka matriks disiplin. Kalau menyoal seni sebagai matriks disiplin, maka keberadaan keilmuan seni itu keutuhan dan kekokohannya sangat ditentukan paling tidak oleh tiga pilar penyangga utamanya, yakni pilar: produktif (penciptaan), reproduktif (penyebarserapan), dan reseptif (penerimaan). Pilar produktif atau wilayah kreasi melibatkan para kreator atau seniman, sementara pilar reproduktif melibatkan para pengkaji dan peneliti, sedangkan pilar reseptif  adalah ranah yang melibatkan masyarakat dalam arti yang luas, sebagai basis pendukung utama eksistensi seni itu sendiri.
Hanya dalam kekokohan interrelasinya yang kuat di ketiga pilar secara holistik itulah, eksistensi seni di masyarakat itu, benar-benar dapat digaransi. Implikasi imperatif yang mestinya dapat ditunaikan kemudian adalah, semua pihak dan elemen, baik yang menyangkut produk, proses, pencipta (seniman), intelektual (peneliti, kritikus, kurator, pendidik, dan lain sebagainya), dan bahkan masyarakat awam pendukungnya sekali pun, tidak boleh ada yang lebih superior daripada lainnya, karena masing-masing berada dalam format perhitungan strategis dalam keseluruhannya. Oleh karena itu, siapapun yang terlibat dalam jagad seni, bebas menentukan piliahnnya. Yang jauh lebih penting kemudian adalah, bahwa ketika pilihan telah ditentukan, pilihan itu sendiri seyogianya tetap disadari selalu berada dalam pemahaman jejaring yang luas, yang keseluruhannya mengandaikan tersedianya ruang dan peluang untuk membangut format bertegur sapa secara bersahaja.
Namun persoalannya adalah, bahwa dalam pencermatan yang ada, di ketiga pilar itulah, keilmuan seni selama ini memiliki titik kelemahan yang amat krusial, yakni ketika perhatian pada ketiga pilar matriks itu ternyata tidak ditempatkan dalam format keseimbangan, dengan menempatkan kesadaran pada pilar penciptaan menjadi sesuatu yang amat hegemonik sehingga amat dominan. Sebagaimana diketahui, bahwa bagaimana pilar penciptaan dalam keilmuan seni kita selama ini telah ditempatkan nyaris melampaui semesta eksistenti seni itu sendiri, sehingga tampak seperti menafikkan atau bahkan menegasikan dua pilar yang lainnya, yakni pengkajian dan penerimaan. Pelbagai dimensi reproduktif yang berbasisikan pengkajian seolah dianggap sebagai sebentuk ‘sang liyan’ (the other) dalam perspektif Foucaultian, yang keberadaannya dianggap mirip “kersik pada karang, atau pun lumut pada lokan” (meminjam nalar lirisnya Goenawan Mohamad), yang kerapkali tidak pernah diberi harga, karena dianggap sebagai sesuatu yang sia-sia.
Betapa fakta empirisi sampai hari ini menegaskan, bahwa yang namanya disiplin seni ini cenderung dikuras maknanya hanya terkait dengan gebu rasa (emotional desire) yang seolah tak ada sangkut pautnya sama sekali dengan gebu logika (intellectual desire). Oleh karena itu tak mengherankan, manakala diandaikan setiap tahun seluruh perguruan tinggi seni di Indonesia itu misalnya, mampu menghasilkan seribu-an “sarjana seniman” yang berbasiskan paradigma penciptaan, tetapi tidak untuk satu atau dua pemikir atau cendekiawan yang berbasiskan tradisi pengkajian dan penelitian.[46] Fenomena ini akhirnya mengakibatkan implikasi turunan yang amat merusak, baik secara akademis maupun sosiologis. Secara akademis, wajah keilmuan seni tetap berada dalam citra sosial yang seolah berada dalam labirin stigmasi abadi, yakni “lack of discourse and lack of knowledge”. Ilmu seni adalah ilmu yang paling fakir-miskin di dunia, sehingga selalu membutuhkan santunan kerohiman kapan saja. Sementara itu secara sosiologis, dapat ditilik dari salah satu indikator utamanya yakni, bahwa betapa dari masa ke masa, tingkat keberterimaan seni di masyarakat masih tetap cenderung rendah, yang disebabkan oleh problem sosialisasi dan apresiasi seni masyarakat yang rendah pula.
Demikian pula dalam konteks kaitannya dengan diskursus budaya dan industri kreatif ini, karena keterbatasan perspektif yang dimiliki, keilmuan seni juga tampak cenderung berada dalam format kikuk dan gagap untuk menyikapi, sehingga sebagaimana yang telah disampaikan di atas, bahkan arus utamanya justru sekadar mengafirmasi, tanpa disertai kajian kritis-reflektif yang relatif memadai.
Kedua, terkait dengan pengembangan kemungkinan interdisipliner dan bahkan intradispliner keilmuan, kiranya juga merupakan sebuah persoalan yang krusial dalam disiplin seni selama ini. Sebagaimana diketahui bahwa mainstream praksis keilmuan seni di perguruan tinggi selama ini, cenderung tampak dikuras pemaknaannya pada diktum monodisiplin yang rigid dan kelewat rapi, sebagaimana khasnya dalam tipikal format tradisi kebudayaan modern yang serba terstrukturasi. Padahal, sebagaimana diketahui, dalam kaitannya dengan konteks diskursus budaya dan industri kreatif yang banyak terilhami oleh jiwa zaman post atau pascamodern ini, telah mengalami pergeseran atau bahkan tepatnya perubahan orientasi paradigma yang berspiritkan post atau pascastrukturalis, yang lebih menempatkan kesadaran berpengetahuan dalam bingkai perspektif bukan mono, melainkan multidisiplin.
Pandangan ini sekali-kali tidak hendak menegasikan pengupayaan pada core of competence disiplin seni yang bersifat mono, melainkan lebih pada gagasan betapa pentingnya melengkapinya dengan perpsektifnya multi tadi. Hal ini kinya juga sejalan dengan spirit yang ada pada teks budaya dan industri kreatif ini, sebagai situs amalgam baru yang memang disandarkan pada spirit upaya mengonstruksi kebaruan pengetahuan dengan mempertemukan pelbagai kemungkinan disiplin dan juga pendekatan tanpa adanya beban kekakuan. Hal ini misalnya, dapat ditelisik dari risalah hadirnya konsep budaya dan industri kreatif ini secara sosiologis, yang konon disokong penuh oleh prototipe kelompok generasi baru, yang mengatribusi dirinya sebagai apa ang diistilahkan sebagai“no colour class”, yaitu generasi yang tipikal tampak santai, yang lebih suka memakai T-shirt dan tak suka berdasi. Kelompok kelas ini terdiri dari seniman dari berbagai disiplin, ilmuwan, dan bahkan profesor yang sering terlihat santai, tetapi sebenarnya selalu serius dalam berfikir dan berkreasi.Pemandangan ini dapat dikatakan sebentuk antitesis yang secara kontras begitu berlawanan dengan terminologi generasi kreatif di zaman sebelumnya, yang lebih kerap diistilahkan sebagai generasi “blue colour” dan “white colour”, yang mengafirmasi faham monodisiplin yang cenderung amat rapi.
Ketiga, terkait dengan kemungkinan pembangunan “otentisitas” keilmuan seni, kiranya juga menjadi persoalan yang juga mendesak untuk disikapi. Berbincang tentang teks “otentisitas” dalam kaitannya dengan kesenian secara khusus maupun kebudayaan dalam arti yang luas, sejatinya secara subtantif terkait dengan persoalan utama yang dikenal dengan risalah “rasa identitas” yang secara ideal disandarkan pada basis lokalitas. Meski di era revulusi gelombang ketiga yang ditandai demikian massif-eksplosifnya saling silang informasi, yang menembus pelbagai tapal batas geografis, bukan berarti yang namanya sebuah teks kesenian dan kebudayaan tak lagi memerlukan identitas sebagai penanda khasnya.
Dalam konteks dunia seni, ketika fenomenanya dihadapkan pada tata pergaulan dan tegur sapa global, apapun bentuk dan wujudnya, nilai-nilai lokalitas (etnis ataupun trans-etnis) sangat penting keberadaannya, karena sebagaimana dalam pandangan Suminto A. Sayuti (2014), ia dapat dijadikan modal, benteng, dan sekaligus sebagai paspor utama sang seniman dalam mengkonstruksi identitas melalui jagat artistik yang diidealkan.[47] Menjadi modal, karena dengan dan melaluinya seniman dikenal oleh dan memperkenalkan diri kepada “yang lain”. Modal budaya merupakan modal dalam berelasi dan berinteraksi dengan “yang lain,” yang bukan dirinya, liyan, the others. Pengakuan “yang lain” atas nilai-nilai itu merupakan paspor, yang melegitimasi bahwa secara kultural sang seniman sah bergaul dan berposisi setara. Proses berelasi dan berinteraksi dengan “yang lain” itu juga meniscayakan masuknya beragam nilai secara tak terhindarkan. Dalam kaitan inilah, nilai-nilai lokalitas berfungsi sebagai benteng. Begitulah kira-kira alir nalar kulturasi perihal pentingnya otentisitas yang berbasiskan nilai-nilai lokal diri.
Namun yang menjadi catatan persoalan adalah, bahwa betapa yang dinamakan entitas nilai-nilai lokalitas sebagai modal, benteng, dan sekaligus sebagai paspor utama untuk mengontstruksi identitas jagad seni dan estetika keindonesiaan selama ini, dapat dikatakan sejak sangat lama telah roboh, tumbang dan karenanya sering diratapi. Pelabagi proses persemukaan, persinggungan, dan “persetubuhan” budaya dengan para “yang lain” dan terutama Barat, betapa telah memporakporandakan nilai-nilai dan sukma lokalitas yang yang dimiliki kebudyaan ini selama ini. nilai-nilai lokalitas itu, dalam konteks keindonesiaa, terutama adalah nilai-nilai yang berbasiskan filsafat ketimuran. Dalam konteks hari-hari kekinian, betapa nilai-nilai filsafat seni dan budaya ketimuran itu, telah ditaklukkan sempurna dalam sergapan nilai-nilai filsafat Barat yang datang belakangan.
Fenomena ini dapat diverifikasi dengan sempurna, misalnya dengan menunjuk pada risalah tentang semesta perkembangan seni rupa Indonesia (termasuk semua cabang seni lainnya) misalnya, yang sampai hari ini tak pernah sedikit pun dapat dipisahkan risalahnya dari wacana perkembangan seni rupa yang ada di Barat. Hal ini dapat dirunut misalnya dari sejak awal risalah perkembangan seni rupa modern masuk ke Indonesia dengan tonggak utamanya Raden Saleh, kemudian berlanjut ke Mooi Indië, Persagi, Gerakan Seni Rupa Baru, bahkan sampai pada memasuki perjalanan era kontemporer, betapa menunjukkan bahwa keseluruhan proses perubahan yang ada itu, tidak satu pun dapat dipisahkan dari pola-pola yang ada di mainstream seni Barat.[48]
Oleh karena itulah, tak mengherankan manakala perbincangan yang terkait dengan para tokoh dalam wacana estetika beserta narasi besarnya di Indonesia misalnya, nyaris semuanya adalah berisi tentang daftar para filsuf Barat Barat, seperti: Socrates, Plato, Aristoteles, Plotinus, Agustinus, Thomas Aquinas, Baumgarten, Kant, Tolstoy, Croce, Collingwood, Santayana, Gasset, Langer, Bell, dan lain sebagainya. Sebaliknya nyaris tak ditemukan sama sekali tokoh-tokoh filsuf lokal seperti yang diwakili oleh para empu misalnya, seperti: Kanwa, Panuluh, Prapanca, Ranggawarsita, dan lain sebaginya, yang sebenarnya telah banyak menghasilkan karya pemikiran yang tak kalah hebatnya jika dibandingkan dengan yang berasal dari Barat sana.
Bahkan dalam skala dan spektrum yang luas, ketika badai globalisasi dengan dukungan revolusi teknologi informasi dan komunikasi di era modern dan postmodern kini, yang membuat itensitas kontak dan perjumpaan dengan Barat semakin dramatik, membuat risalah ketakberdayaan dan ketergantungan terhadap segala nilai yang berasal dari Barat yang diidap sekujur wajah dan tubuh bangsa ini, seolah menjadi kian sempurna dan tak terperi. Hal ini dapat disaksikan betapa, seolah nyaris tak ada infrastruktur atau pranata peradaban secuil pun di negeri ini—baik di tingkat ideofact, sociofact, maupun artifact—yang bisa ditarik jaraknya, meski hanya beberapa centi, dari situs pengaruh Barat, karena dianggap lebih bermakna dan berarti. Barat, akhirnya menjadi semacam  kutukan obsesi, yang melampaui akan hasrat dan keinginan apa pun, dalam proses kinerja kulturasi dalam kebudayaan dan juga berkesenian kontemporer di negeri ini. Bersandar pada fakta inilah, sejarawan Bambang Purwanto memberikan istilah, sebagai sebentuk potret kegagalan bangsa ini dalam mengonstruksi histori dan historiografi yang Indonesiasentris.[49]
Kenyataan pahit dan buram itu seolah menyiratkan, bahwa kita sebagai bangsa seolah tak mempunyai sama sekali modal dan kekuatan seni dan budayanya. Padahal tidak demikian adanya. Sekadar sebagai contoh misalnya, pelbagai bukti otentik jauh di masa silam bahkan ketika kita ini masih berada dalam alam pra-Indonesia, menunjukkan betapa kita pernah memiliki riwayat kejayarayaan kesenian dan kebudayaan, bahkan ketika di saat itu bangsa dan kebudayaan ini sama sekali belum ada kontak dan perjumpaan dengan peradaban Barat sebagaimana yang terjadi hari ini. Pelbagai puncak pencapaian karya seni budaya terbaik masa silam, baik yang berbasis di kurun historis “Jawa tua” yang berpusat di Jawa Tengah maupun yang ada di “Jawa muda” yang berbasis di Jawa Timur, seperti candi, batik, gamelan, keris, wayang, dan lain sebagainya, yang kemudian diakui UNESCO dalam Daftar Representatif Karya Agung Budaya Lisan dan Tak Benda Warisan Manusia (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity), yang manakal usianya kalau ditarik garis sampai hari ini sudah lebih dari 1000 tahun itu, adalah sebagai bukti otentik tentang identitas kebesaran kesenian dan kebudayaan bangsa kita di masa lalu yang tak diragukan lagi adanya.
Fenomena itu tidak hanya ada di Jawa yang memang sejak dahulu sebagai basis utama dari entitas budaya Indonesia, melainkan ada tersebar di seantero Nusantara. Di Sulawesi misalnya, terdapat peninggalan karya sastra kuna milik masyarakat Bugis Makasar, yang dikenal dengan I La Galigo, adalah salah satu karya sastra terbesar di dunia sepanjang masa, yang melampaui karya-karya seperti Mahabharata dan Ramayana dari India, mapun karya paling monumental dalam sejarah sastra Yunani klasik, misalnya Odyssey dan Illiad karya Homerus misalnya[50] Dan masih banyak contoh yang lainnya, sebanyak jumlah etnis dan kekayaan seni dan budayanya yang kita miliki di seantero Nusantara.
Akibat kegagalan membangun otentisitas seni dan estetika yang berbasis lokalitas kenusantaraan ini adalah betapa akhirnya semesta jagad kesenian dan kebudayaan kita kekinian telah gegar berantakan, karena terlampau sindrom oleh nilai-nilai yang berasal dari luar terutama Barat yang terlanjur dianggap lebih menakjubkan. Gambaran perihal ini, kiranya dapat diverifikasi dalam konteks diskursus budaya dan industri keratif yang mengarusutama dalam kebudayaan kita akhir-akhir ini.
Oleh karena itulah kemungkinan pelbagai upaya untuk terus melakukan reorientasi dan revitalisasi disiplin seni di perguruan tinggi, diharapkan keberadaan keilmuan seni,  baik yang murni (yang berbasiskan spirit textual/essential justification) maupun kependidikan (yang berbasiskan contextual justification)[51]” di kesempatan yang akan datang lebih dapat dikerangkai secara lebih memadai. Jika posisi dan peran disiplin seni di perguruan tinggi bisa direorientasi dan direvitalisasi, paling tidak pada ketiga hal pokok sebagaimana disampaikan tadi, maka kemungkinan harapan untuk pelbagai impian pencerahan, termasuk dalam konteks kasus wacana budaya dan industri kreatif, akan menjadi semakin jelas untuk dikerangkai.

Penutup
Itulah kiranya beberapa catatan yang bisa dipertimbangkan untuk kemungkinan dijadikan referensi rujukan dissenting opinion atas histeria merayakan seksi baru tentang budaya dan industri kreatif, terutama dalam konteks kaitannya dengan ranah seni ini, ketika  mainstream-nya yang ada cenderung banyak yang mengamini. Pandangan dari sisi lain ini sama sekali tidak dalam kerangka menolak sama sekali dengan hadirnya budaya dan industri kreatif, karena setiap perubahan sosial dan budaya kapan pun itu memang selalu memiliki dua sisi, baik positif maupun negatif. Terkait dengan sisi positifnya budaya dan industri kreatif terutama terkait dengan diktum spiritnya yang banyak disandarkan pada kreativitas sumber daya manusia yang tak terbatas, yang dapat menjawab tentang risalah ketakutan manusia akan keterbatasan yang ada pada alam semesta. Sementara itu, sisi negatifnya adalah, sebagaimana yang telah disampaikan di atas, terutama arus utamanya yang cenderung mendestruksi kodrat atribusi kemanusiaan manusia itu hanya semata-mata sebagai homo economicus[52] yang membudak pada yang material sifatnya.
Dalam konteks ini pula kiranya kesadaran kita perlu diingatkan kembali, bahwa yang namanya diktum ekonomi yang kelewat materialistik untuk menopang need of physiologicalitu sebagaimana yang jauh-jauh hari disampaikan oleh Maslow[53] (dalam Ryckman, 2013:301) hanyalah bagian dari kebutuhan kemanusiaan yang paling permukaan; karena di atasnya masih ada lagi hierarki yang lebih tinggi yang lebih signifikan, yakni nilai-nilai, baik nilai moral bahkan ke-Ilahian. Keterjagaan kesadaran ini kiranya teramat penting adanya, terutama ketika seni pada hari ini terpaksa kepergok dan harus berhadapan dengan watak dan tabiat budaya dan industri kreatif yang narasinya nggegirisi tadi. Harapannya adalah, seni dengan segala keyakinan nilai-nilai yang dimilikinya dapat mampu manjing jroning kahanan (menempatkan diri yang terbaik); agar tidak menjadi objek dan bulan-bulanan; melainkan kalau bisa menjadi subjek yang menentukan.
Meski kita menyadari dengan sepenuh-penuhnya bahwa, ketika segala aktivitas kehidupan kini cenderung dikelola dengan berdasarkan nalar ilmiah-teknologis yang memuja perhitungan, objektivitas, efisiensi, dan terutama materi, memandang seni memang terasa bagai sesuatu yang trivial, sesuatu kesia-sian, berlebihan, atau bahkan kegenitan.[54] Dalam konteks ini, tentu kita segera sepakat untuk tidak menyepakati. Alasannya sederhana, karena dengan seni, konon membuat kita bisa kehilangan dan sekaligus menemukan diri.[55]




DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Sheikh Mushtaq. 1991. Existential Aesthetics: A Study of Jean-Paul Sartre’s Theory of Art and Literatur. Nes Delhi: Atlantic Publishers & Distri.

Allen, Graham. 2000. Intertextuality. London: Routledge.

Australia Department of Communications and the Arts. 1994. Creative Nation: Commonwealth Cultural Policy. Canbera: Australia Department of Communications and the Arts.

Barrowclough. 2012. Creative Industries and Developing Countries: Voice, Choice and Economic Growth. London: Routledge.

Benda, Julien. 2009. The Treason of the Intellectuals. Traslated by Richard Aldington. Fourth Paperback Printing. Piscataway, New Jersey:Transaction Publishers.

Budyatna, M. 2005. “Pengembangan Sistem Informasi: Permasalahan dan Prospeknya”, dalam Komunika (Warta Ilmiah Populer Komunikasi dalam Pembangunan), (Vol. 8, No. 1), 2.

Burhan, M. Agus. 2006. “Seni Rupa Kontemporer Indonesia: Mempertimbangkan Tradisi”, dalam Jaringan Makna Tradisi Hingga Kontemporer: Kenangan Purna Bhakti untuk Prof. Soedarso Sp., M.A. Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta.

Coates David & Peter Augustine Lawler (eds.). 2000. New Labour in Power. Manchester, UK: Manchester University Press.

Department of Communications and the Arts. 1994. Creative Nation: Commonwealth Cultural Policy. Canbera: Australia Department of Communications and the Arts.
Dixon, William & David Wilson. 2013. A History of Homo Economicus: The Nature of the Moral in Economic Theory. London: Routledge.

Edensor, Deborah Leslie, Steve Millington, & Norma Rantisi. 2009. Spaces of Vernacular Creativity: Rethinking the Cultural Economy. London: Routledge.

Flew, Terry. 2012. The Creative Industries: Culture and Policy. London: Sage Publication.

Florida, Richard. 2003. The Rise of the Creative Class: And How It's Transforming Work, Leisure, Community and Everyday Life. New Zealand: Hazard Press.
__________. 2005. Cities and the Creative Class. London, UK: Routledge.

Foucault, Michel. 1980. Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, 1972-1977. New York: Pantheon Books.

Friedrichs, Robert Winslow. 1970. A Sociology of Sociology. New York: Free Press.

Galloway, Susan & Stewart Dunlop. 2007. “A Critique of Definitions of the Cultural and Creative Industries in Public Policy”. International Journal of Cultural Policy, Volume 13, Issue 1.

Gibson, C. and Klocker, N. 2004, Academic Publishing as ‘Creative’ Industry, and Recent Discourses of ‘Creative Economies’: Some Critical Reflections. Area Journal, Volume 36, Issue 4; 423–434.

Giddens, Anthony. 1991. The Third Way. Hoboken, New Jersey, USA: Wiley.

Hadiz, Vedi R. & Daniel Dhakidae (eds.). 2005. “Introduction”, Social Science and Power in Indonesia. First Published. Jakarta & Singapore: Equinox Publishing and Institute of Southest Asian Studies Singapore.
Hartoko, Dick (ed.). 1980. Golongan Cendekiawan Mereka yang Berumah di Angin: Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: PT Gramedia.
Heriyanto,  Ariel “Ideological Baggage and Orientations of the Social Science in Indonesia”, in Vedi R. Hadiz and Daniel Dhakidae (eds.), Social Science and Power in Indonesia. First Published. Jakarta, Singapore: Equinox Publishing and Institute of Southest Asian Studies Singapore.
Hesmondhalgh, David. 2007. The Cultural Industries. London: Sage Publication.

Holquist, Michael.2003. Dialogism: Bakhtin and His World. London: Routledge.

Howkins, John. 2001. Creative Economy, How People Make Money from Ideas. City of Westminster, London, UK: Penguin.
Howson, Richard & Kylie Smith (eds.). 2008. Hegemony: Studies in Consensus and Coercion. London: Routledge.

Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2009 tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif.

Jin, Dengjian. 2016. The Great Knowledge Transcendence: The Rise of Western Science and Technology Reframed.London: Springer.

Jones, Phil & Saskia Warren. 2015. Creative Economies, Creative Communities: Rethinking Place, Policy and Practice. Farnham, UK: Ashgate Publishing, Ltd.

Kaplan Louise J. 2008. Culture of Fetishism. London, UK: Palgrave Macmillan.

Keele, Mike Savage. 2013. Social Change And The Middle Classes. London: Routledge.

Kerrigan, Finola Peter Fraser, & Mustafa Ozbilgin. 2007. Arts Marketing. London: Routledge.

Kuhn, Thomas S. 2012. The Structure of Scientific Revolutions: 50th Anniversary Edition. Chicago, USA: University of Chicago Press.
Laksono, PM. 2005. “Social Science and Association”, in Vedi R. Hadiz and Daniel Dhakidae (eds.), Social Science and Power in Indonesia. First Published. Jakarta, Singapore: Equinox Publishing and Institute of Southest Asian Studies Singapore.
Lazzeretti, Luciana. 2012. Creative Industries and Innovation in Europe: Concepts, Measures and Comparative Case Studies. London: Rotledge.

Lundberg, Craig C. & Cheri Ann Young, (2005). “Part Two: The Philosophical Context of Inquiry, in  Foundations for Inquiry: Choices and Trade-offs in the Organizational Sciences. California, USA: Stanford University Press.

McGuigan, Jim. 2009. Cool Capitalism. New York: Pluto Press.

Merton, Thomas. 2005. “Conscience Freedom and Prayer”, in No Man is an Island. Colorado, USA:  Shambhala Publications.

Michelsen, Anders. 2014.What Kind of Economics? on the Topologies of Aesthetic Capitalism”, in Eduardo de la Fuente & Peter Murphy (eds.). Aesthetic Capitalism. Leiden, Netherlands: BRILL Publisher.

Miller, Toby. 2009. “From Creative to Cultural Industries”. Cultural Studies Journal, Volume 23, Issue 1, 2009; 88-99.

Moeran, Brian & Jesper Strandgaard Pedersen. 2011. Negotiating Values in the Creative Industries: Fairs, Festivals and Competitive Events. Cambridge, UK: Cambridge University Press.

O’Connor, Justin, 2000. “The Definition of the ‘Cultural Industries’”. The European Journal of Arts Educatio,  Vol. 2, No. 3, February 2000; 15-27.

Oakley, Kate. 2004.” Not So Cool Britannia The Role of the Creative Industries in Economic Development”.  International Journal of Cultural Studies; March 2004 vol. 7 no. 1; 67-77.
Pang, Laikwan. 2012. Creativity and Its Discontents: China’s Creative Industries and Intellectual Property Rights Offenses. Durham, North Carolina, USA: Duke University Press.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2015 tentang Badan Ekonomi Kreatif.

Porter, Roy (ed.). 2003. The Cambridge History of Science: Volume 4, Eighteenth-Century Science. Cambridge, England: Cambridge University Press.

Potts, Jason.  2011. Creative Industries and Economic Evolution. Cheltenham, UK: Edward Elgar Publishing.

Purwanto, Bambang. 2006. Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?! Cetakan Pertama. Yogyakarta: Ombak.

Ryckman, Richard. 2012. Theories of Personality. Boston, USA: Cengage Learning.

Sachari, Agus. 202. Estetika. Bandung: Penerbit ITB.

Sayuti, Suminto. A. 2014. “Seni dan Pendidikan Seni: Gelanggang Konstruksi Identitas”. Proceeding The 1st International Conference for Arts and Arts Education on Indonesia, Universitas Negeri Yogyakarta, 5-6 Maret.

Schindler, Ronald Jeremiah. 1998. The Frankfurt School Critique of Capitalist Culture: A Critical Theory for Post-Democratic Society and Its Re-Education. Farnham, United Kingdom: Ashgate.

Singh, J. P. 2014. Globalized Arts: The Entertainment Economy and Cultural Identity. New York: Columbia University Press.

Stevenson, Deborah 2013. Cities of Culture: A Global Perspective. London: Routledge.

Sugiharto, Bambang. 2013. Untuk Apa Seni? Bandung: Pustaka Matahari.

Todorov, Tzvetan. 1984.  Mikhail Bakhtin: The Dialogical Principle. Manchester, UK: Manchester University Press.

Toffler, Alvin. 1991. Power Shift: Knowledge, Wealth, and Violence at the Edge of the 21st Century. New York: Bantam Books.

Wahrman,Dror. 1995. Imagining the Middle Class: The Political Representation of Class in Britain, C.1780-1840. Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Wallace, Anthony F. C. 2003.  Essays on Culture Change. Lincoln, Nebraska: University of Nebraska Press.

Warren, Saskia & Phil Jones. 2016. Creative Economies, Creative Communities: Rethinking Place, Policy and Practice. London: Routledge.

Wiggershaus, Rolf. 1995. The Frankfurt School: Its History, Theories, and Political Significance. Cambridge, Massachusetts: MIT Press.

Wolff, Janet. 1993. The Social Production of Art. New York: New York: New York University Press.
Worton, Michael & Judith Still (eds). 1991. Intertextuality: Theories and Practices. Manchester, UK: Manchester University Press.

Zhao, Mei & Kai Yung Tam. 2015. “The Need for Effective Cross-Cultural Communication in Creative Industries: Two Case Studies”, in Teen-Hang Meen, Stephen Prior, Artde Donald Kin-Tak Lam (eds.). Innovation in Design, Communication and Engineering: Proceedings of the 2014 3rd International Conference on Innovation, Communication and Engineering (ICICE 2014), Guiyang, Guizhou, P.R. China, October 17-22, 2014. Boca Raton, Florida, USA: CRC Press.




[1]Disampaikan pada acara Kuliah Tamu, “Pendidikan Seni: Peran dan Kontribusi Bagi Dunia Industri Kreatif”, di Jurusan Seni dan Desain, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang, Tanggal 17 April 2017. Beberapa pokok pikiran ini dikembangkan dari tulisan yang pernah disertakan pada Seminar Nasional Peran Strategis Seni  Budaya dalam Membangun Kota Kreatif, berjudul “Seni dan Industri Kreatif: Risalah Ketika Estetika di Bawah Kuasa Ekonomi Sebagai Panglima”, di Jurusan Seni dan Desain, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang, 29  Oktober 2015.
[2]Dosen Jurusan Pendidikan Seni Rupa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta; Alumni Jurusan Pendidikan Seni Rupa, IKIP Malang. E-mail korespondensi: kasiyan@uny.ac.id
[3] Dengjian Jin, The Great Knowledge Transcendence: The Rise of Western Science and Technology Reframed (London: Springer, 2016).
[4] Meski kemudian dalam waktu yang tak begitu lama, identitas kementerian itu kemudian dihapus. Teks industri kreatif, kemudian dimasukkan dalam sebuah badan yang dinamakan Badan Ekonomi Kreatif, yang dibentuk melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2015 tentang Badan Ekonomi Kreatif.
[5] Rumusan tentang pengkategorisasian subsektor industri kreatif tersebut, adalah merujuk pada konsep industri kreatif yang terutama dikembangkan di Inggris melalui Department of Culture, Media and Sport (DCMS) yang mendirikan Creative Industries Task Force pada tahun 1998.
[6] Sebagai gambaran misalnya, dalam struktur perekonomian Indonesia, industri kreatif diyakini memiliki kontribusi melalui sebuah sistem yang disebut ekonomi kreatif, yang konon katanya mengalami peningkatan sebesar 5% dari tahun ke tahun. Indikatornya dilihat misalnya dari sisi   pendapatan domestik bruto (PDB) ekonomi kreatif, yang tercatat sekitar 185 triliun rupiah di 2010 dan 215 triliun rupiah di 2013. Pada periode yang sama, industri kreatif rata-rata dapat menyerap tenaga kerja sekitar 10,6% dari total angkatan kerja nasional. Pertumbuhan jumlah usaha di sektor industri kreatif pada periode 2010-2013 pun meningkat sebesar 1%. Pada 2014 jumlah industri kreatif yang tercatat adalah sebanyak 5,4 juta usaha. Industri ini menyerap tenaga kerja tidak kurang dari 12 juta orang (Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, 2014:xvii).
[7] Konsep tentang homo sapiens ini, pertama kali digagas oleh Carolus Linnaeus, seorang ahli botani Swedia, yang pada tahun 1735 melalui publikasinya yang berjudul Systema Naturae memberi nama formal spesies manusia itu sebagai wise man atau homo sapiens. Periksa Roy Porter (ed.), The Cambridge History of Science: Volume 4, Eighteenth-Century Science (Cambridge, England: Cambridge University Press, 2003), 206.
[8] C. Gibson & Klocker, N., “Academic Publishing as ‘Creative’ Industry, and Recent Discourses of ‘Creative Economies’: Some Critical Reflections” (Area Journal, Volume 36, 2004, Issue 4; 423).
[9] Brian Moeran & Jesper Strandgaard Pedersen.. Negotiating Values in the Creative Industries: Fairs, Festivals and Competitive Events (Cambridge, England: Cambridge University Press, 2011)

[10] Periksa Deborah Stevenson, Cities of Culture: A Global Perspective (London: Routledge, 2013).
[11] Periksa Creative Nation: Commonwealth Cultural Policy (Canbera: Australia Department of Communications and the Arts, 1994).
[12] Barrowclough, Creative Industries and Developing Countries: Voice, Choice and Economic Growth (London: Routledge, 2012). Periksa juga David Coates & Peter Augustine Lawler (eds.), New Labour in Power (Manchester University Press, 2000).
[13] Konsep Periksa Anthony Giddens, The Third Way (Hoboken, New Jersey, USA: Wiley, 1991).
[14] John Howkins, The Creative Economy: How People Make Money from Ideas (London, UK: Penguin, 2013).
[15] Richard Florida, The Rise of the Creative Class: and How It's Transforming Work, Leisure, Community and Everyday Life (New Zealand: Hazard Press, 2003); Periksa juga Richard Florida, Cities and the Creative Class (London, UK: Routledge, 2005).
[16] David Hesmondhalgh, The Cultural Industries (London: Sage Publication, 2007).
[17] Howkins, 2013.
[18] Alvin Toffler menganalis sejarah perkembangan masyarakat secara mendasar ke dalam tiga gelombang, yakni: ‘gelombang pertama’ (first wave), sebagai masyarakat agraris, yang ditandai dengan model komunikasi dominan yang dilakukan secara lisan, dari mulut ke mulut; ‘gelombang kedua’ (second wave), merupakan masyarakat industrialis, dengan bentuk komunikasi yang dominan dilakukan dengan menggunakan media massa konvensional, yang audiensnya cenderung pasif; dan ‘gelombang ketiga’ (third wave), yakni merupakan masyarakat informatif, dengan bentuk komunikasi yang dilakukan dengan menggunakan teknologi media massa yang semakin canggih dan sifatnya interaktif berbasis web jaringan. Selengkapnya periksa Alvin Toffler, Power Shift: Knowledge, Wealth, and Violence at the Edge of the 21st Century (New York: Bantam Books, 1991). Ada beberapa tonggak historis penting yang mendukung revolusi gelombang ketiga ini, yang terutama ditopang penuh oleh ‘revolusi digital’. Pertama diketemukannya teknologi mainframe computer oleh University of Pennsylvania tahun 1946;  Kedua, diketemukannya microprocessor pada tahun 1971 oleh Ted Hoff di Intel Corporation, sebuah perusahaan Silicon Valley Microelectronics; dipasarkannya microcomputer pada tahun 1975; dan ketiga, diketemukannya microchips oleh Andrew Steven Grove, Chairman and CEO of Intel Corporation pada tahun 1997. Penemuan microchips menyebabkan munculnya apa yang dinamakna ‘Era Tera’, di mana pada era ini, digital bits-per-second dalam teknologi komputer diukur dalam trilyun, bukan lagi dengan mega (millions) atau giga (billions). Temuan ini menyebabkan komunikasi global mengalami ekspansi eksplosif luar biasa mengejutkan, baik dalam kapasitas maupun kecepatan. Berdasarkan akumulatif ‘revolusi digital’ itulah, ‘Revolusi Gelombang Ketiga’, merupakan hasil perpaduan dari perkembangan telekomunikasi, komputerisasi, dan digititalisasi. Selengkapnya periksa M. Budyatna, “Pengembangan Sistem Informasi: Permasalahan dan Prospeknya”, dalam Komunika (Warta Ilmiah Populer Komunikasi dalam Pembangunan), (Vol. 8, No. 1, 2005), 2.
[19] Genealogi berasal dari bahasa Yunani genea: "keturunan" dan logos, "pengetahuan", yang makna harfiahnya adalah kajian tentang keluarga dan penelusuran jalur keturunan serta sejarahnya. Dalam konteks kultur Jawa, genealogi ini dapat disamakan maknanya dengan pemahaman tentang “sangkan paraning dumadi”. Istilah genaologi ini kemudian menjadi salah satu perspektif kritis, yang diperkenalkan oleh Foucault dalam konteks kajian tentang risalah atau sejarah pengetahuan, terutama dalam kaitannya dengan wacana kekuasaan. Perspektif genealogis Foucaultian ini, kiranya menarik sebagai pisau analisis yang dikenakan pada kajian industri kreatif, terutama untuk menelusuri pelbagai lingkar jejaring kuasa yang menyelimutinya, untuk kemudian dijadikan sebagai salah satu pijakan dasar sebagai bekal dalam menyikapinya.
[20] Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, 1972-1977. (New York: Pantheon Books, 1980).
[21] Konsep “intertekstualitas” ini, pertama kali diperkenalkan oleh Julia Kristeva, seorang pemikir poststrukturalis Prancis, dalam buku Revolution in Poetic Language (1974) dan Desire in Language: A Semiotic Approach to Literature And Art (1979). Periksa Michael Worton & Judith Still (eds), Intertextuality: Theories and Practices (Manchester, England: Manchester University Press, 1991). Periksa juga  Graham Allen, Intertextuality (London, Routledge, 2000).
[22] Michael Holquist, Dialogism: Bakhtin and His World (London: Routledge, 2003). Periksa juga Tzvetan Todorov, Mikhail Bakhtin: The Dialogical Principle (Manchester, England: Manchester University Press, 1984).
[23] Luciana Lazzeretti,. 2012. Creative Industries and Innovation in Europe: Concepts, Measures and Comparative Case Studies (London: Rotledge, 2012), 237.
[24] Toby Miller,  “From Creative to Cultural Industries”. Cultural Studies Journal, Volume 23, Issue 1, 2009; 88-9.
[25] Periksa Rolf Wiggershaus, The Frankfurt School: Its History, Theories, and Political Significance (Cambridge, Massachusetts: MIT Press, 1995). Periksa juga Ronald Jeremiah Schindler, The Frankfurt School Critique of Capitalist Culture: A Critical Theory for Post-Democratic Society and Its Re-Education (Farnham, United Kingdom: Ashgate, 1998).
[26] Justin O’Connor, “The Definition of the ‘Cultural Industries’”. The European Journal of arts Education,  Vol. 2, No. 3, February 2000; 15-27.
[27] Lazzeretti,. 2012.
[28] Edensor, Deborah Leslie, Steve Millington, & Norma Rantisi, Spaces of Vernacular Creativity: Rethinking the Cultural Economy (London: Routledge, 2009), 90.
[29] Fenomena kultural semacam inilah yang diistilahkan oleh Gramscy sebagai persoalan “hegemony”. Dalam kultur hegemoni, pelbagai praktik kekuasaan terutama tidak dijalankan dengan modus kekerasan atau coercive, melainkan dengan konsensus kesadaran yang dijalankan secara persuasive. Periksa Richard Howson & Kylie Smith (eds.), Hegemony: Studies in Consensus and Coercion (London: Routledge, 2008).
[30] Susan Galloway & Stewart Dunlop. “A Critique of Definitions of the Cultural and Creative Industries in Public Policy”. International Journal of Cultural Policy, Volume 13, Issue 1, 2007.
[31] Jason Potts, Creative Industries and Economic Evolution (Cheltenham, UK: Edward Elgar Publishing, 2011), 2.
[32] Laikwan Pang, Creativity and Its Discontents: China’s Creative Industries and Intellectual Property Rights Offenses (Durham, North Carolina, USA: Duke University Press, 2002), 2.
[33] Anders Michelsen,What Kind of Economics? On the Topologies of Aesthetic Capitalism”, in Eduardo de la Fuente & Peter Murphy (eds.). Aesthetic Capitalism (Leiden, Netherlands: BRILL Publisher, 2014),63.
[34] Kaplan Louise J. 2008. Culture of Fetishism. London, UK: Palgrave Macmillan.
[35] Finola Peter Fraser Kerrigan & Mustafa Ozbilgin. 2007. Arts Marketing. London: Routledge, 2007), 140.
[36] J. P. Singh, Globalized Arts: The Entertainment Economy and Cultural Identity (New York: Columbia University Press, 2014)
[37] Saskia Warren & Phil Jones, Creative Economies, Creative Communities: Rethinking Place, Policy and Practice (London: Routledge, 2016), 176.
[38] Suminto A. Sayuti, “Seni dan Pendidikan Seni: Gelanggang Konstruksi Identitas”. Proceeding The 1st International Conference for Arts and Arts Education on Indonesia, Universitas Negeri Yogyakarta, 5-6 Maret 2014.
[39] Periksa Mike Savage Keele University (Social Change And The Middle Classes (London: Routledge, 2013). Periksa juga Dror Wahrman, Imagining the Middle Class: The Political Representation of Class in Britain, C.1780-1840 (Cambridge, UK: Cambridge University Press, 1995).
[40] Periksa Dick Hartoko (ed.), Golongan Cendekiawan Mereka yang Berumah di Angin: Sebuah Bunga Rampai (Jakarta: PT Gramedia, 1980).
[41] Periksa Vedi R. Hadiz and Daniel Dhakidae, “Introduction”, in Vedi R. Hadiz and Daniel Dhakidae (eds.), Social Science and Power in Indonesia. First Published (Jakarta, Singapore: Equinox Publishing and Institute of Southest Asian Studies Singapore, 2005), 2, 24.
[42] PM Laksono, “Social Science and Association”, in Vedi R. Haiz and Daniel Dakhidae, 221.
[43] Ariel Heriyanto, “Ideological Baggage and Orientations of the Social Science in Indonesia”, in Vedi R. Hadiz and Daniel Dakhidae, 66.
[44] Periksa Julien Benda, The Treason of the Intellectuals. Traslated by Richard Aldington. Fourth Paperback Printing (Piscataway, New Jersey:Transaction Publishers, 2009). Buku ini terbit pertama kali dalam bahasa Prancis, berjudul La Trahison de Clercs, tahun 1927.
[45] Istilah “matriks disiplin”, diperkenalkan oleh Thomas S. Kuhn, yang maknanya terkait dengan konstruksi “paradigma”, yakni merupakan satu set asumsi, konsepsi, nilai-nilai, dan keyakinan  yang menyediakan kerangka filosofis dan konseptual tertentu dan dipegang bersama untuk menghadirkan pemahaman yang utuh terkait realitas sosial tertentu. Periksa Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions: 50th Anniversary Edition (Chicago, USA: University of Chicago Press, 2012).
[46] Untuk melengkapi terkait dengan risalah keprihatinan dalam konteks ini, di antaranya dapat disampaikan, betapa ironisnya ketika fakta menunjukkan bahwa, sampai hari ini di seluruh perguruan tinggi seni di Indonesia tidak atau belum berhasil melahirkan seorang pun profesor dalam bidang estetika atau filsafat seni, sebagai salah satu bidang kajian yang dapat dikatakan intinya dari keilmuan seni ini.
[47] Suminto A. Sayuti, “Seni dan Pendidikan Seni: Gelanggang Konstruksi Identitas”, Makalah yang disumbangkan untuk The 1st International Conference of Arts and Arts Education on Indonesia, Universitas negeri Yogyakarta, 5-6 Maret 2014.
[48] M. Agus Burhan, “Seni Rupa Kontemporer Indonesia: Mempertimbangkan Tradisi”, dalam Jaringan Makna Tradisi Hingga Kontemporer: Kenangan Purna Bhakti untuk Prof. Soedarso Sp., M.A. (Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta, 2006), 275.
[49] Bambang Purwanto, Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?! Cetakan Pertama (Yogyakarta: Ombak, 2006).
[50]Nurhayati Rahman dan Sri Sukesi Adiwimarta (eds.), Antologi Sastra Daerah Nusantara: Cerita Rakyat Suara Rakyat. Edisi Pertama (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999). Periksa juga Sirtjo Koolholf, “The Sleeping Giant: Dynamics of a Bugis Epic (South Sulawesi, Indonesia)“, in Jan Jansen & Hendrik M. J. Maier (eds), Epic Adventures: Heroic Narrative in the Oral Performance Traditions of Four Continents (Münster-Hamburg-Berlin-Wi Germany: LIT Verlag Münster, 2004).
[51] Meminjam terminologinya A.J. Soehardjo, dalam Pendidikan Seni: Dari Konsepsampai Program. Buku Satu. Cetakan Pertama (Malang: Balai Kajian Seni dan Desain, Jurusan Seni dan Desain, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang, 2006).
[52] William Dixon & David Wilson. A History of Homo Economicus: The Nature of the Moral in Economic Theory (London: Routledge, 2013).
[53] Richard Ryckman, Theories of Personality (Boston, USA: Cengage Learning, 2012).
[54] Bambang Sugiharto, Untuk Apa Seni? (Bandung: Pustaka Matahari, 2013):11.
[55]Art enables us to find ourselves and lose ourselves at the same time”. Periksa Thomas Merton,Conscience Freedom and Prayer”, in No Man is an Island  (Colorado, USA:  Shambhala Publications, 2005).

cara melihat kata kunci populer di google

Anda dapat melihat kata kunci populer di Google dengan menggunakan Google Trends. Berikut ini adalah cara melihat kata kunci populer di Goog...