Senin, 21 Agustus 2017

CONTOH PROPOSAL SKRIPSI, TESIS, DISERTASI, (KUALITATIF HERMENEUTIKA)

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Batik menjadi salah satu warisan adhiluhung budaya Jawa. Keunikan dan kekhasan motif dan ragam hias batik Surakarta yang sarat akan nilai-nilai filosofis menjadikannya sebagai salah satu warisan budaya yang perlu untuk dijaga dan dikembangkan. Warga masyarakat Surakarta sampai sekarang ini menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal, yaitu batik.
Pengakuan ini tidak hanya datang dari masyarakat Surakata sebagai pelaku budaya dan pemerintah pusat sebagai pemangku kebijakan negara, tetapi juga dunia internasional. Oleh karena itu, dunia internasional yang telah menjadi bagian integral dari budaya tersebut merasa berkepentingan untuk ikut menjaga dan mengembangkan batik. Hal ini terbukti dengan batik sebagai salah satu warisan budaya pada tanggal 2 Oktober 2009 oleh UNESCO.
Secara historis batik sebagai produk budaya tradisional dilahirkan dan dikembangkan tidak dapat dilepaskan dari keberadaan kerajaan-kkerajaan di Nusantara sebagai pemangku kebudayaan. Apalagi dari sisi ragam hias, batik merupakan ekspresi yang menyatakan keadaan diri dan lingkungan penciptanya. Berdasarkan pada pandangan tersebut, batik dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu batik keraton dan batik pesisiran (Yayasan Harapan Kita/BP 3 TMII, 1997:5). Sebagaimana Djoemana (1990:8), batik keraton merupakan batik yang berasal dari daerah Surakarta dan Yogyakarta. lebih lanjut dijelaskan bahwa batik keraton yang tumbuh dan berkembangan di atas dasar-dasar filosofis kebudayaan Jawa yang mengacu pada nilai-nilai spiritual dan pemurnian diri, serta memandang manusia dalam konteks harmoni semesta alam yang tertib, serasi, dan seimbang (harmonis). Oleh karena itu, batik Surakata begitu terkait dengan kehidupan manusia Jawa sehingga tidak dapat terpisah dari kehidupan masyarakat Jawa, khususnya kehidupan dan kegiatan di dalam Keraton Kasunanan Suarakarta.
Secara filosofis, ragam hias pada batik tradisional Suarakata mengandung pesan dan harapan tulus yang diyakini akan membawa kebaikan dan kebahagiaan bagai si pamakainya. Ini semua dilukiskan secara simbolis dan sekaligus merupakan ciri khas batik Surakata (Djoemena, 1990:10). Artinya, batik tradisional Surakarta dapat dimaknai sebagai kain yang mengandung makna simbolis dalam ragam hiasnya yang penggunaannya disesuaikan dengan kagiatan agat yang berlaku berserta suasana yang melingkupinya.
Batik Surakarta pada dasarnya bukan semata-mata merupakan wujud ilmu rancang seni yang dilihat sebagai seni alus, tetapi sekaligus memiliki fungsi sebagai busana tradisional manusia jawa yang dipakai baik dalam kegiatan yang berkaitan dengan daur hidup manusia Jawa terutama keluarga dan kerabat keraton dalam kehidupan sehari-hari.
Perjalanan batik surakarta tidak selurus dengan perkembangan jaman yang menuntut adanya berbagai inovasi dan modernisasi yang ditandai dengan semakin canggihnya media informasi dan tumbuh suburnya budaya instan. Usaha batik di Kauman Surakarta bersangsur-asur mulai merosot dan pengusaha batik banyak yang beralih profesi meninggalkan usaha batiknya. Kondisi kampung Laweyan pada tahun 1975 sudah mulai mengalami keterpurukan, walaupun masih tetap memeprtahankan kagiatan pembatikan (Sekimoto, 2000:271). Namun demikian, pada tahun 1991 kampung Laweyan tidak legi dapat dijadikan sebgai kampung batik. Sebagaian besar pengusaha batik telah gulung tikar dan tinggal sedikit pengusaha yang melanjutkan usahanya dengan skala yang relatif kecil.
Semakin rendahnya minat pengusa batik dan semakin sulitnya mencari pengrajin batik dari warga kampung-kampung batik mendatangkan akibat yang signifikan terhadap pengetahuan tentang bati itu sendiri bagi generasi bangsa, tidak terkecuali masyarakat Surakarta sebagai ahli waris batik. Batik semakin tidak dikenali sebagai karya seni yang melalui proses rumit dan memerlukan kesabaran tangan yang terampil. Hal ini diperparah dengan munculnya pasar bebas di dunia perdagangan yang tidak mampu menolak hadirnya tekstil printing bermotif batik yang diperjualkanbelikan dengan harga yang jauh lebih murah dari pada batik tulis Surakarta yang merupakan produk budaya Jawa yang berbasis kearifan lokal. Apalagi diperparah dengan ketidakpedulian mengenai motif, jenis, dan makna filosofis dari batik yang selama ini dikembangkan oleh para leluhur. Apabila keadaan ini dibiarkan terus berlangsung, maka bukan tidak mungkin  batik Surakarta  semakin termarjinalkan dan tergantikan oleh tekstil printing bermotif batik. Artinya, walaupun batik telah diakui sebagai warisan budaya UNESCO, apabila masyarakatnya gagal untuk menjadi pewaris kebudayaan adhiluhung ini, maka batik sama saja tidak memiliki arti dalam kehidupan bagi masyarakatnya. Oleh karena itu, diperlukan tindakan dalam upaya meningkatkan pengetahuan menyarakat tentang batik Surakarta dan menyikapi pengaruh global berkaitan dengan upaya membangun karakter dan kebanggaan bangsa yang mendunia. Pada titik ini, maka diperlukan sebuah penelitian mengenai batik Surakarta dalam wilayah kajian budaya sehingga mampu mengungkap makna batik dalam konteks kekinian.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diformulakan sebuah rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Mengapa terjadi dekonstruksi makna simbolik batik Surakarta?
2.      Bagaimana dekonstruksi makna simbolik batik Surakarta terjadi?
3.      Bagaimanakah implikasi dekonstruksi makna simbolik terhadap perkembangan batik di Suarakarta?

C.    Tujuan Penelitian
Pada umunya, nantinya penelitian ini hendak mengungkap batik Suarakarta barkaitan dengan makna simbolik yang terkandung di dalamnya. Selain itu, penelitian ini juga nantinya akan berusaha menemukan rekonstruksi budaya dalam rangka memperkaya budaya Indonesia sebagai bagian kerja keilmuan kajian budaya dalam upaya mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Tujuan secara khususnya adalah untuk:
1.      Mengetahui, memahami, dan mendeskripsikan kejelasan tentang sebab terjadinya dekonstruksi makna simbolik batik Surakarta.
2.      Mengetahui, memahami, dan mendeskripsikan kejelasan tentang proses dekonstruksi makna simbolik batik Suarakarta.
3.      Mengetahui, memahami, dan mendeskripsikan kejelasan tentang implikasi dekonstruksi makna simbolik batik Surakarta terhadap perkembangan batik Surakarta.

D.    Manfaat
Pada prinsipnya nantinya manfaat penelitian ini terbagi menjadi 2 pokok, yaitu:
1.      Manfaat Teoretis
Penelitian ini nantinya dapat bermanfaat untuk memberikan sumbangan terhadap pengembangan ilmu pengetahuan tentang batik dalam kazanah kajian budaya. Selain itu, penelitian ini juga dapat menambahkan dan melengkapi kajian-kajian terdahulu mengenai batik Jawa dan Nusantara.

2.      Manfaat Praktis
penelitian ini diharapkan dapat menambahkan wawasan dan memperluas cara pandang masyarakat terhadap kearifan lokal yang dimiliki budaya lokalnya di tengah pengaruh dunia global. Selain itu, penelitian ini juga dapat dimanfaatkan oleh para pengambil kebijakan publik berkaitan dengan kehidupan sosial budaya, khususnya para pengrajin batik dan masyarakat pecinta batik.




BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.    Kajian Teori
1.      Deskonstruksi dan Semotika
a.      Teori Deskonstruksi
Teori dekonstruksi yang dipelopori oleh Derrida pada intinya menolak tiga tradisi berpikir strukturalis, yaitu logosentrisme, falosentrisme, dan oposisi biner (Takahashi, 2008:50). Penolakan terhadap logosentrime merupakan penolakan cara pandang dalam tradisi berpikir Barat yeng manggap akal, pikiran, logos sebagai pusat kebenaran. Suatu realitas dipandang representasi dari konsepnya, alasannya, bahasa atau teks tidak dapat dikatakan cermin atau representasi makna, konsep, atau realitas. Akan tetapi, bahasa lisan dapat diterima sebagai logosentrisme. Bahasa tilisan, teks, tidak dapat diterima karena baha tulisan ototmatis telah terbebas dari konteks atau narasumbernya. Akibatnya, tulisan, teks, otomatis menjadi tanda sendiri, yang bukan mewakili atau makna, tatapi menciptakan maknanya sendiri, dalam hubungan dengan tanda-tanda lain yang berada bersamanya. Oleh karena itu, tanda-tanda tersebut menjadi bebas yang dimaknai dan otomatis akan memunculkan makna yang beragam, plural.
Penolakan terhadap falosentrisme adalah cara pandang dalam tradisi berpikir barat yang berpijak pada tatanan maskulin dan klaimnya bahwa yang maskulin itu bersumber pada diri sendiri dan merupakan agensi yang utuh. Akibatnya katgori feminim sebagai sesuatu yang disingkirkan  secara konstitutif dalam filsafat dan menjadikan perempuan bukan suatu esensi pada diri sendiri, melainkan apa yang dibuang atau disingkirkan.
Penolakan terhadap oposisi pasangan adalah pola pikir dimana realitas sesungguhnya tidak dapat ditentukan atau dipastikan sebagai sesuatu yang berada dalam kategori dualitas belaka. Sesungguhnya terdapat realitas-realitas yang lain yang mengantarainya atau yang sama sekali tidak dapat ditentukan. Realitas adalah tudak dualitas dikotomis, melainkan pluralitas posisi, beragam posisi, yang tidak dapat dipastikan atau ditentukan dan tidak dinominasikan, sentralistis melainkan menyebar dan sejajar.



b.      Teori Semiotika
Semiotika yang berinduk pada teori Pierce sebagai semiotika komunikasi visual yang kemudian dikenal sebagai logika budaya (Walker, 2010:159). Semiotika adalah disiplin yang mengkaji segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berbohong (Eco, 2009:7). Semiotika sebagai proses komunikasi untuk mengkaji seluruh proses kultural. Proses komunikasi tersebut terjadilah respon interpretatif di dalam si penerima atas sinyal dari sebuah seumber, walaupun penerima dalam komunikasi itu berperan sebagai saluran.
Eco (dalam Ibrahim, 2007:277) mengatakan bahwa busana merupakan alat semiotik atau mesin komunikasi yang dipandnag memiliki suatu fungsi komunikatif. Busana sebagai alat komunikasi dimaknai sebagai perwujudan interaksi sosial melalui pesan. Selain itu, busana dapat dipandnag sebagai bentuk komunikasi artefaktual.

2.      Deskonstruksi Makna Simbolik
Konsep dekonstruksi makna simbolik terdiri atas tiga unsur, yaitu dekonstruksi, makna, dan simbolik. Ketiganya masing-masing dijelaskan sebagai berikut. Pertama, dekonstruksi merupakan gagasan atau pemaknaan lain dari makna yang telah ada sebelumnya (liyan). Hal ini dapat diartikan bahwa dekonstruksi adalah suatu pemikiran mengenai pengakuan (affirmation) terhadap orang lain (Takahashi, 2008:180). Secara leksikal, “dekonstruksi” diartikan sebagai pembongkaran atas konstruksi dan/atau pemaknaan ulang atas teks (termasuk teks budaya) untuk mengungkap makna-makna yang tertunda dari teks itu sendiri (Pitana, 2010:23). Piliang (2003:247), juga mengatakan hal yang serupa bahwa “setiap proses dekonstruksi harus diikuti dengan rekonstruksi”. Dekonstruksi lahir sebagai kebangkitan posmodernisme yang dipelopori oleh Derrida melalui keseluruhan pemikiran yang dimiliki posmodern.
Paradigma ini menjadi paradigma yang secara kritis berhadapan dengan sistem (atau paradigma) berpikir sebelumnya sebagai tradisi berpikir Barat (strukturalisme) (Pitana, 2010:23). Dekonstruksi yang dipelopori oleh Derrida menolak tiga tradisi berpikir strukturalis, yaitu (1) logosentrisme: (2) falosentrisme; dan (3) oposisi biner (Takahashi, 2008:50-82). Penolakan terhadap ketiga pemikiran tersebut dapat disimpulkan bahwa Derrida menolak kesatuan antara bentuk (penanda) dengan petanda (isi) yang disebut metafisika kehadiran (metaphysics of presence) (Lubis, 2004:97, Norris, 2009:9-10). Lebih tegas, Norris (2009: 13-14) menjelaskan tentang dekonstruksi sebagai berikut.
... dekonstruksi adalah menghidupkan kekuatan-kekuatan tersembunyi yang turut membangun teks. Teks tidak lagi dipandang sebagai tatanan makna yang utuh, melainkan arena pergulatan yang terbuka, atau tepatnya, permainan antara upaya penataan dengan chaos, antara perdamaian dengan peperangan ...

Lebih jauh, Derrida menjelaskan dekonstruksi dengan menolak “metafisika kehadiran (metaphysics of presence)”, yaitu menolak adanya makna mutlak atau tunggal. Istilah metafisika yang diungkapkan Derrida menyebut “mengada sebagai kehadiran”. Dekonstruksi dalam perspektif Derrida, penanda (singnifier) tidak berkaitan langsung dengan petanda (signified). Penanda dan petanda tidak berkorespondensi satu-satu, namun melihat tanda sebagai struktur perbedaan. Tanda harus dibaca dalam pengertian “disilang”. Dalam hal ini, tanda tidak pernah memiliki makna yang mutlak sama, melainkan makna mencul pada konteks berbeda-beda. Dalam perspektif Derrida, setiap makna transenden ilusif, karena kehadiran muncul dalam “oposisi biner” konseptual seperti materi atau roh, subjek atau objek, topeng atau kebenaran, tubuh atau jiwa, teks atau makna, interior atau eksterior, representasi atau kehadiran, kenampakan atau esensi (Sarup, 2011:45-59). Istilah pertama dianggap superior. Istilah inilah milik logos, yaitu kebenaran (kebenaran dari kebenaran) (Piliang, 2003:125).
Dekonstruksi tidak mengandaikan adanya makna objektif (benar), maka yang menjadi fokusnya bukan pada pencarian makna objektif, melainkan pencarian makna baru melalui kebebasan penafsiran (Lubis, 2004:103). Dalam hal ini, dekonstruksi Derrida tidak hanya menunjuk perubahan sebagai akibat dari kehancuran metafisika kehadiran (makna final), bahkan disebutkan bahwa tidak ada “autentitas murni” yang dibayangkan seperti Levi-Strauss (Sarup, 2011:57), melainkan bersifat terbuka yang harus dibaca atau dimaknai ulang (Lubis, 2004).
Kedua, makna merupakan hasil interpretatif manusia atas objek. “Makna” diartikan sebagai sesuatu pengertian yang diberikan kepada suatu objek. Subjek dan objek adalah term-term yang korelatif atau saling menghubungkan diri satu sama lain (Pitana, 2010:24).
Dari sudut pandangan semiotika, makna adalah unit kultural. Segala sesuatu yang telah didefinisikan dan ditetapkan secara kultural dapat juga disebut sebagai sebuah entitas (Eco, 2009:97). Selain itu, makna merupakan bentukan yang sarat dengan nilai, yang mengakomodasikan kepentingan para pihak yang terkait (Abdullah, 2006:8). Makna adalah sesuatu yang sangat kontekstual dalam setiap kubudayaan. Sebagaimana Cavallaro (2004:20-42), makna adalah produk dari situasi-situasi yang terkait (contingent situation). Makna adalah produk dari suatu perbedaan tanda yang terkait dengan tanda-tanda lain. Makna bukan sesuatu yang terberi, melainkan konstruksi budaya dalam produksi tanda-tanda secara sosial. Artinya, apabila ada perubahan sosial budaya, maka makna akan berubah sesuai dengan kepentingan para pemakna secara interpretatif.
Ketiga, simbolik, yaitu berangkat dari asumsi antoropologi dalam interpretivisme simbolik, manusia adalah hewan pertama pencarian makna yang menggunakan simbol (Arif, 2010:113). Menurut Geertz (dalam Sutrisno dan Putranto, 2005:212), budaya adalah lengkung simbolis. Pemahaman Arif (2010:110-113) terhadap simbol melalui pemikiran Geertz mengenai kebudayaan seperti berikut. Penglihatan terhadap kebudayaan dalam sistem sosial adalah sebuah “pencarian makna”. Kebudayaan yang dipahami oleh Geertz dapat dibagi menjadi empat, yaitu (1) sistem keteraturan dari makna dan simbol; (2) suatu pola makna yang ditransmisikan secara historis; (3) suatu peralatan simbolik untuk mengontorol perilaku; dan (4) suatu sistem simbol dan makna. Melalui keempat pemahaman ini, kebudayaan didefinisikan sebagai fenomena sosial atas sistem simbol dan makna antar-subjek yang dimiliki bersama.

3.      Batik Surakarta
Sejauh ini, asal-usul batik belum secara pasti diketahui secara arkeologis. Pada umumnya, batik dipahami sebagai sebuah teknik celup kain yang menghias permukaan tekstil dengan cara menahan pewarna (resist dye). Teknik ini dapat dijumpai di benua Afrika, Amerika, Asia dan Eropa, bahkan sering dianggap sebagai salah satu tahapan pencapaian dalam peradaban manusia yang universal. Secara leksikal, Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:146) menjelaskan arti kata batik adalah “kain bergambar yang pembuatannya secara khusus dengan menuliskan atau menerakan malam pada kain itu, kemudian pengolahannya melalui proses tertentu”, dari celup sampai dijemur.
Dalam konteks Batik Surakarta, batik berarti gambar yang ditulis pada kain dengan mempergunakan malam sebagai media sekaligus penutup kain (wax
registered method). Lebih jauh, Widiastuti (1993:17) menjelaskan bahwa batik Nusantara memiliki dua keunikan, yaitu pertama, pergunaan canting sebagai alat untuk membubuhkan malam atau lilin pada bagian kain yang tidak diwarnai; dan kedua, motif disempurnakan dengan penggunaan canting sebagai alat melukis dan malam sebagai perintang warna yang kemudian dinamakan membatik untuk menghasilkan kain atau batik dengan mutu yang tinggi.
Batik Surakarta lazimnya dikategorikan sebagai batik keraton, yaitu batik yang tumbuh dan berkembang berdasarkan filosofi kebudayaan Jawa, yang mengacu pada nilai-nilai spiritual dan pemurnian diri, serta memandang manusia dalam konteks harmoni semesta alam yang tertib, serasi, dan seimbang (harmonis) (Yayasan Harakan Kita//BP 3 TMII, 1997:5). Hal ini dapat diamati dari ragam hias dan tata warna Batik Surakarta yang mengandung makna simbolis yang berdasar pada falsafah hidup manusia Jawa. Sebagaimana ungkapan oleh PB IX mengenai busana, “Nyandhang panganggo hiku dadyo srono hamemangun wataking manungso jobo-jero”, yang artinya, ‘memakai busana dan perlengkapannya itu menandakan watak lahir dan batin dari si pemakai’ (dalam Pujiyanto, 2010:13).
Dari adanya pandangan-pandangan tersebut, dapat dipahami bahwa Batik Surakarta merupakan pantulan falsafah hidup Jawa yang dilandasi kedisiplinan spiritual, misalnya pengendalian diri, tata cara (etika), dan keselarasan (hormoni) yang bermakna sangat penting bagi manusia Jawa. Bahkan, dari sisi ragam hias, tata warna, dan tata pakai, secara simbolik Batik Surakarta mengandung makna pesan dan harapan yang tulus demi terciptanya kebaikan dan kebahagiaan bagi si pemakai (Djoemena, 1990:10). Dengan demikian, Batik Surakarta menjadi bagian penting dalam kehidupan manusia Jawa yang tidak dapat terpisah dari daur hidupnya.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat dirumuskan konsep dekonstruksi makna simbolik Batik Surakarta sebagai berikut: dekonstruksi makna simbolik Batik Surakarta adalah pembongkaran terhadap makna-makna yang telah dilekatkan atas Batik Surakarta yang tumbuh dan berkembang dalam wilayah budaya Jawa, khususnya di Surakarta yang perwujudannya mengandung makna-makna yang mengacu pada nilai-nilai spiritual dan pemurnian diri, serta memandang manusia dalam konteks harmoni semesta alam yang tertib, serasi, dan seimbang (harmonis).

B.     Penelitian yang Relevan
Kajian tentang Batik Surakarta yang dilakukan dalam disiplin ilmu Kajian Budaya merupakan kajian yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Kajian ini tidak ditujukan untuk memahami Batik Surakarta sebagai sebuah perwujudan fisik dari ilmu seni batik. Dalam kajian ini, Batik Surakarta merupakan objek material dari kajian tentang dekonstruksi makna simbolik Batik Surakarta. Kendala penelitian yang memfokuskan kajian pada Batik Surakarta untuk membongkar atau membuat pemaknaan kembali Batik Surakarta adalah terlalu kompleksnya permasalahan yang menyertai dan mempengaruhinya. Kondisi ini dapat dimengerti karena banyaknya simbolisasi dan falsafah hidup manusia Jawa yang tersimpan dalam perwujudan Batik Surakarta. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kajian ini tidak bisa hanya mengandalkan pengetahuan seni batik secara umum dan/atau perwujudan batik semata-mata, tetapi harus dikembangkan lebih lanjut pada pemahaman konsepkonsep yang menyertai dan teori-teori yang digunakan. Dengan demikian, kajian pustaka ini diarahkan bukan hanya pada pustaka-pustaka hasil penelitian batik saja, tetapi juga pada pustaka-pustaka yang dapat digunakan untuk membangun konsep dan aplikasi teori.
Hasil penelitian Yayasan Harapan Kita/BP-3 TMII (1997) tentang latar belakang kehidupan bangsa Indonesia, adat-istiadat, dan seni budaya yang diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul Indonesia Indah telah jelas mengungkapkan konsep seni batik yang memiliki pengertian sebagai citra budaya Indonesia yang memiliki keunikan. Dari pustaka ini, setidaknya diperoleh informasi keberadaan dua jenis batik yang ada di Jawa, yakni batik keraton dan batik pesisiran. Batik Surakarta dikelompokkan ke dalam batik keraton, yaitu batik yang tumbuh dan berkembang berdasarkan filosofi kebudayaan Jawa yang mengacu pada nilai-nilai spiritual dan pemurnian diri, serta memandang manusia dalam konteks harmoni semesta alam yang tertib, serasi, dan seimbang (harmonis).
Konsep yang berupa lingkaran konsentris yang menempatkan batik keraton sebagai ungkapan sebuah falsafah hidup kebudayaan Jawa hampir selalu dirujuk oleh penelitian-penelitian tentang batik keraton. Setidaknya, konsep lingkaran konsentris yang menghasilkan seni batik yang diungkapkan oleh Yayasan Harapan Kita/BP 3 TMII cukup banyak memberikan gambaran tentang konsep dasar orientasi pola seni batik.
Sebuah penelitian yang lebih fokus pada mitos dan makna batik oleh Nian S. Djoemena (1990) yang diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul “Ungkapan Sehelai Batik: Its Mystery and Meaning” mengungkapkan mitos dan makna ragam hias batik Nusantara yang diklasifikasikan berdasarkan wilayah geografis. Walaupun karya penelitian ini bukan penelitian yang difokuskan kepada Batik Surakarta, setidak-tidaknya mitos dan makna ragam hias batik yang dimiliki masing-masing daerah termasuk Surakarta dapat membantu untuk membangun konsep makna simbolis batik dalam penelitian ini.
Hasil penelitian lain yang lebih fokus pada Batik Surakarta adalah sebuah tesis 15 karya Widiastuti (1993) yang berjudul “Pergeseran pada Batik Surakarta: Periode Tahun 1950-1990”. Widiastuti cukup jelas dan detail dalam mengungkap pergeseran perwujudan Batik Surakarta, baik dari sisi teknis, maupun dari sisi ragam hias dan tata warna. Penelitian tersebut menempatkan batik surakarta sebagai objek seni-budaya yang memiliki makna simbolik sebagai kain  atau textile. Hasil penelitian ini tidak hanya dapat dijadikan data sekunder dalam kajian ini, namun melengkapi juga pemahaman konsep tentang Batik Surakarta yang telah diperoleh dari pustaka karya Yayasan Harapan Kita/ BP 3 TMII.
Selanjutnya, sebuah hasil penelitian yang lebih fokus tentang batik keraton Kasunanan dan Mangkunegaran oleh Pujiyanto (2010) yang diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul Batik Keraton Kasunanan dan Mangkunegaran
Surakarta: Sebuah Tinjauan Historis, Sosial Budaya, dan Estetika. Pustaka ini cukup jelas dan detail dalam mengungkap sejarah perkembangan teknik, ragam hias, dan makna filosofis batik Keraton Kasunanan dan Mangkunegaran. Informasi tersebut dapat dijadikan data sekunder dalam kajian ini, selain untuk melengkapi pemahaman konsep mengenai batik Keraton Kasunanan dan Mangkunegaran.
Dari empat hasil penelitian tentang batik tersebut, dapat dicatat dua hal penting. Pertama, keempat kajian di atas jelas tidak dilakukan dalam wilayah ilmu Kajian Budaya. Kedua, keempat kajian di atas memiliki kesamaan dalam memposisikan Batik Surakarta dan makna yang melekat sebagai seni-budaya tradisional yang berkaitan dengan kegiatan adat manusia Jawa sehingga Batik Surakarta yang selama ini dianggap sebagai hasil karya seni budaya Jawa tanpa sadar 16 hanya dipandang sebagai peninggalan budaya.
BAB III
METODE PENELITIAN
A.    Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian bidang ilmu Kajian Budaya dengan melibatkan berbagai disiplin untuk memberikan kemungkinan yang sangat luas atas data-data yang diperoleh dari objek penelitian. Berbagai bentuk dari objek budaya yang selama ini tidak diperoleh perhatian dengan mekanisme penelitian diharapkan akan terungkap secara ilmiah (Ratna, 2010:189). Atas upaya ilmu Kajian Budaya tersebut, ciri yang dimilikinya sebagai ilmu adalah multidisiplin serta interdisiplin untuk mengetahui dan memahami objek penelitian (Ratna, 2010:169).
Berdasar pada prinsip tersebut, paradigma Kajian Budaya berada di wilayah posmodernisme dengan sistem berpikir kritis (Pitana, 2010: 46). Oleh karena itu, aspek-aspek kebudayaanlah yang lebih berperanan, demikian juga teori-teori kontemporer kebudayaanlah yang harus digunakan (Ratna, 2010:171). Di samping itu, ontologis ilmu Kajian Budaya menyatakan bahwa segala sesuatu terfragmen sebagai realitas budaya dipandang juga dianalisis dalam dunia kontekstual. Artinya, Kajian Budaya mementingkan perspektif emic. Di titik ini, suatu gejala dan fenomena budaya meliputi makna dan proses interpretasi pelaku budaya (Faisal dalam Bungin, 2010:3-17). Penelitian ilmu Kajian Budaya dilakukan untuk melihat makna di balik data yang diperoleh secara holistik untuk merumuskan masalah penelitian itu sendiri (Bungin, 2010:VI).
Atas tujuan tersebut, penelitian ini menggunakan metode analisis data kualitatif dan teknik analisis data secara deskriptif dan interpretatif yang menggunakan pendekatan hermeneutik. Secara umum, penelitian yang menggunakan analisis data kualitatif didefinisikan sebagai penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata dan/atau ungkapan-ungkapan, termasuk di dalamnya tindakan-tindakan yang dapat diamati dengan menekankan pengembangan konsep dan pemahaman pola yang ada pada data; memperhatikan setting dan orang secara holistik sehingga bukan sebagai variabel-variabel terpisah; cenderung bersifat humanistik; pemahaman makna yang menjadi dasar tindakan partisipan dan memahami keadaan dalam lingkup yang terbatas (Pitana, 2010:46).
Dalam penelitian ini, teori dekonstruksi dari Derrida diposisikan sebagai teori utama untuk menjawab ketiga rumusan masalah penelitian yang dalam penggunaannya dibantu dengan teori semiotika komunikasi visual dari Umberto Eco yang digunakan secara eklektik.
Penelitian ini menggunakan pendekatan atau sudut pandangan filosofis hermeneutik. Hermeneutika filosofis disebut Gardamer merupakan usaha melampaui perdebatan objektivisme dan relativisme terhadap ilmu pengetahuan modern. Dalam ilmu-ilmu tentang manusia, kebenaran bergerak sesuai dengan gerak manusia pengamat dan manusia yang diamati dalam lintasan ruang dan waktu, karena kondisi objek dan subjek selalu berubah dengan latar ruang dan waktunya. Lebih lanjut Ricoeur (dalam Kaplan, 2010: 31) mengatakan “Hermeneutika melaju dari pemahaman sebelumnya tentang hakikat sesuatu yang coba dipahaminya dengan menginterpretasikannya”. Dalam hal ini, interpretasi adalah sebuah ingatan akan makna (a recollection of meaning), suatu kerja untuk menguraikan makna yang tersembunyi dan terdistorsi dalam makna jelas, dan membuka berbagai tingkat makna yang diisyaratkan dalam makna harfiah (Batik Solo sebagai teks) (Kaplan, 2010:26-41).
Interpretasi berfungsi untuk menjelaskan mengapa segala hal itu seperti demikian, karena manusia tidak pernah berada di permulaan proses kebenaran (pemaknaan) dan karena manusia menjadi bagian dari wilayah kebenaran (tatanan makna historis) tertentu yang diasumsikan sebelumnya, seperti yang diungkapkan Ricoeur (dalam Kaplan, 2010:64). Dalam pengertian tersebut, teks budaya (Batik Solo) harus diinterpretasikan secara terbuka untuk mengetahui, memahami, dan mendeskripsikan makna yang tersembunyi di baliknya, sehingga penelitian ini dapat menemukan makna simbolik Batik Solo dalam konteks kekinian.

B.     Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah wilayah administrasi pemerintahan Kota Surakarta, Propinsi Jawa Tengah. Pemilihan Batik Solo sebagai objek kajian menjadikan Kota Solo sebagai lokasi penelitian berdasarkan pertimbangan berikut.
Pertama, alasan filosofis, yaitu (1) Batik Solo merupakan simbol ekspresi kosmologi manusia Jawa yang berpusat pada Keraton Surakarta; dan (2) Batik Solo diyakini memiliki makna simbolis dalam daur hidupnya. Kedua, alasan historis, yaitu (1) Batik Solo lahir dan tumbuh di Kota Solo sejak berdirinya Keraton Surakarta sampai sekarang ini; (2) hingga tidak dapat dipisahkan dari sejarah Kota Solo; dan (3) Batik Solo merupakan budaya adiluhung Jawa dan menjadi bagian warisan budaya takbenda oleh UNESCO yang harus dilindungi dan dilestari. Ketiga, alasan sosial ekonomis, yaitu (1) Kota Solo telah merupakan pusat industri batik hingga sekarang; dan (2) Batik Solo merupakan sumber daya sosial ekonomi Kota Solo terutama sektor pariwisata dan fashion dalam konteks ekonomi kreatif.

C.    Jenis dan Sumber Data
Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data tentang makna simbolik Batik Solo sebagai busana tradisional Jawa dan fashion yang ditampilkan dalam bentuk naratif dan bersifat kualitatif yang terdiri atas dua sumber data. Pertama, sumber data tidak tertulis, yaitu berupa kata-kata, tindakan, ungkapan, dan peristiwa yang terjadi dalam konteks Batik Solo yang dalam hal ini digunakan sebagai sumber data utama (primer). Sumber data utama ini diperoleh dari pengamatan langsung terhadap simbolisasi Batik Solo dan wawancara dengan informan-informan terpilih yang dicatat melalui catatan tertulis, perekaman suara, dan/atau pengambilan gambar melalui kamera.
Kedua, sumber data tertulis, yaitu berupa buku-buku, berita media cetak, jurnal-jurnal, dokumen-dokumen, dan hasil-hasil penelitian terdahulu yang terkait dengan Batik Solo dan makna sebagai busana tradisional dan fashion yang dalam hal ini digunakan sebagai sumber data sekunder. Sumber data tertulis ini diperoleh dari studi dokumen dan studi kepustakaan.

D.    Teknik Pemilihan Informan
Informan-informan yang diwawancarai dalam kerja penelitian ini dikelompokkan menjadi tiga. Pertama, informan dari dalam pihak pengrajin dan pengusaha Batik Solo, yaitu orang-orang berkaitan dengan proses pembuatan dan perdagangan Batik Solo; kedua informan ahli, yaitu pemerhati atau orang yang memiliki pengetahuan mengenai busana tradisional Batik Solo, termasuk di dalamnya informan dari pihak kalangan Keraton Surakarta dan Mangkunegaran, dan Pemerintah Kota Surakarta; dan ketiga informan publik, yaitu informan yang berasal dari masyarakat umum.

E.     Instrumen Penelitian
Dalam mengumpulkan data penelitian ini, peneliti menggunakan tiga alat utama, yaitu: (1) pedoman wawancara yang digunakan sebagai panduan dalam wawancara (lihat Lampiran 2: Pedoman Wawancara); (2) alat perekam gambar (kamera dan scanner) yang digunakan untuk memperoleh dada visual dari objek amatan, dan alat perekam suara yang digunakan dalam upaya wawancara terhadap informan; dan (3) alat tulis yang digunakan untuk mencatat data-data yang diperoleh dalam proses wawancara, observasi, dan kepustakaan.

F.     Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini lebih mengutamakan penggunaan teknik observasi dan wawancara mendalam, di samping studi kepustakaan. Dengan menggunakan teknik tersebut kajian terhadap makna simbolik busana tradisional Batik Solo membuka peluang baca ulang untuk menemukan sesuatu yang disembunyikan di dalamnya. Di samping itu, berkembangnya kereativitas dalam menafsirkan “teks” dilakukan dengan diamati hingga diperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang makna simbolik Batik Solo. Atas tujuan tersebut, teknik yang dilakukan dijelaskan seperti berikut.
Pertama, observasi, yaitu pengamatan lapangan langsung terhadap fenomenafenomena yang terjadi atas Batik Solo khususnya di Kota Solo baik dalam sehari-hari maupun acara khusus. Observasi dilakukan untuk mengempulkan data yang berada dalam pelilaku pelaku budaya di balik fenomena-fenomena sosial karena secara filosofis masyarakat dipahami sebagai pengalaman langsung (Simmel dalam Ratna, 2010:221).
Kedua, wawancara, yaitu suatu percakapan untuk memburu makna yang tersembunyi di balik kata-kata dari informan sehingga sesuatu dari fenomena sosial menjadi dapat dipahami (Faisal dalam Bungin, 2010: 67). Wawancara dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pendapat, persepsi, perasaan, pengetahuan, pengalaman, dan penginderaan seseorang (Pitana, 2010: 53).
Ketiga, studi dokumen, yaitu pengumpulan data yang bersumber dari dokumen yang dibedakan menjadi dua macam, yaitu; (1) dokumen formal, dokumen yang dikeluarkan lembaga tertentu, dan (2) dokumen informal, dokumen yang merupakan catatan pribadi. Dengan kata lain, pengumpulan data dari noninsani, yaitu (1) tulisan, seperti berita media cetak, surat-surat, laporan resmi, catatan harian, katalog, dan/atau notulen; dan (2) gambar dan lambang, foto-foto, dan audio visual. Artinya, teknik dokumentasi ini digunakan untuk mengumpulkan data teks dalam naskah-naskah yang berupa dokumen. Data teks yang diperoleh dari studi dokumen ini diposisikan sebagai data sekunder penelitian (Pitana, 2010:54, Ratna, 2010:233-238).
Keempat, studi perpustakaan, yaitu suatu kajian terhadap buku-buku, jurnal-jurnal, dan hasil-hasil penelitian terdahulu dalam kaitannya Batik Solo. Studi perpustakaan digunakan tidak hanya mencari data dan/atau pengertian tentang Batik Solo yang selama ini dikembangkan dalam konsep-konsep oleh penelitian terdahulu, tetapi juga untuk memperoleh data yang berfungsi sebagai pelengkapan data yang diperoleh lapangan dan wawancara.
G.    Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif, yaitu analisis yang memfokuskan pada alasan-alasan maknawi (reason) dari para pelaku sesuatu tindakan atau praktik sosial itu sendiri sesuai dengan dunia pemahaman pelaku itu sendiri (kontekstual). Oleh karenanya, upaya analisis data kualitatif disebut upaya understanding of understanding oleh Geertz (Faisal dalam Bungin, 2010: 67).
Prosedur yang ditempuh dalam analisis ini bukanlah linier, tetapi tahapan-tahapannya tidaklah dapat dipisahkan. Secara sederhana, logika yang digunakan dalam analisis data kualitatif bertitik tolak dari “khusus ke umum”, berbentuk siklus. Mula-mula, hasil pengumpulan data direduksi (data reduction) melalui mengikhtisarkan dan memilah-milah ke dalam satuan konsep-konsep, kategori-kategori, dan tema penelitian. Kemudian, hasil reduksi data diorganisasikan ke dalam bentuk sinopsis, tabel, matriks (display data) sehingga memudahkan upaya pemaparan dan penegasan simpulan (conculution drawing and verification). Proses tersebut bukan sesuatu “sekali jadi” melainkan berinteraktif, secara bolak balik (Faisal dalam Bungin, 2010: 68-71, Pitana, 2010:56).

H.    Teknik Penyajian Hasil Analisis Data
Penyajian data dengan teknik analisis data kualitatif merupakan proses interpretasi, yaitu proses pemberian makna. Teknik penyajian hasil analisis adalah dengan menggunakan gabungan cara informal dan formal. Cara informal adalah penyajian hasil analisis secara naratif. Dengan kalimat lain, keseluruhan data yang diperoleh dalam proses kerja penelitian dideskripsikan dan diberikan arti kemudian disajikan secara naratif. Adapun cara formal adalah penyajian hasil analisis dalam bentuk gambar, bagan, ataupun foto-foto (Pitana, 2010:57). Cara formal ini digunakan lebih untuk tujuan mendukung kualitas narasi hasil analisis dalam penelitian ini.



DAFTAR PUSTAKA
Bungin, B. (2010). Metode Penelitian. IKAPI. Jakarta.

Code, L. (Ed.). (2010). Feminist Interpretations of Hans-Georg Gadamer. Penn State Press.

Djoemena, Nian S. 1990. Batik dan mitra. Djambatan.

Eco, U. (1976). A theory of semiotics (Vol. 217). Indiana University Press.

Kita, Yayasan Harapan 1995. "Indonesia Indah 1."

Kudo, N., Wolff, B., Sekimoto, T., Schreiner, E. P., Yoneda, Y., Yanagida, M., ... & Yoshida, M. (1998). Leptomycin B inhibition of signal-mediated nuclear export by direct binding to CRM1. Experimental cell research242.

Levent, E., Gökşen, D., ÖZYüREK, A. R., Darcan, Ş., Çoker, M., GüVEN, H., & Parlar, A. (2002). Stiffness of the abdominal aorta in obese children. Journal of Pediatric Endocrinology and Metabolism, 15.

Nakagawa, Masato, et al. (2008).. "Generation of induced pluripotent stem cells without Myc from mouse and human fibroblasts." Nature biotechnology 26.1

Norris, P. (2001). Digital divide: Civic engagement, information poverty, and the Internet worldwide. Cambridge University Press.

Percy, Walker. (2000). The message in the bottle: How queer man is, how queer language is, and what one has to do with the other. Macmillan.

Piliang, Y. A., & Adlin, A. (2003). Hipersemiotika: tafsir cultural studies atas matinya makna. Jalasutra.

Pitana, I. G., & Diarta, I. K. S. (2009). Pengantar ilmu pariwisata. Yogyakarta: Andi.

Ratna, N. K. (2010). Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora pada Umumnya. Pustaka Pelajar.

Simatupang, T. M., Victoria Sandroto, I., & Hari Lubis, S. B. (2004). Supply chain coordination in a fashion firm. Supply Chain Management: An International Journal, 9.

Sutrisno, M., Sumarjo, J., Ali, M., Simatupang, G. R., Widayat, R., Pujiyanto, P., & Marwati, S. (2010). PROSIDING SEMINAR NASIONAL ESTETIKA NUSANTARA. ISI Press untuk Program Pascasarjana ISI Surakarta.


Widyastuti, P., Talitha, T., & Setyaningrum, R. (2016). Beban Kerja Fisik Karyawan Industri Batik Tradisional.

cara melihat kata kunci populer di google

Anda dapat melihat kata kunci populer di Google dengan menggunakan Google Trends. Berikut ini adalah cara melihat kata kunci populer di Goog...