Jumat, 26 Mei 2017

PENDIDIKAN SENI DAN INDUSTRI KREATIF: TILIKAN DARI SISI “YANG LAIN”[1]

Dr. Kasiyan, M.Hum.[2]


Adalah tidak cukup bahwa kamu memahami ilmu agar memudahkan pekerjaanmu.
Perhatian kepada manusia itu sendiri dan nasibnya,
harus selalu merupakan minat utama dari semua ikhtiar teknis.
Agar buah ciptaan dari pemikiran kita,
akan merupakan berkah dan bukan kutukan bagi kemanusiaan.
Janganlah kau lupakan hal itu di tengah tumpukan diagram dan persamaan”.

 Albert Einstein
Pidatonya di hadapan Mahasiswa California Institute of Technology (1938)

           
Salah satu diksi wacana yang cukup menyita perhatian publik secara massif dalam hari-hari kontemporer belakangan kini, yakni apa yang dikenal dengan “industri kreatif”. Sebagai sebuah konsep kebudayan, istilah industri kreatif ini dapat dikatakan bukanlah sebagai sesuatu yang benar-benar baru, karena pelbagai jejak historis yang panjang di masa lalu pernah mencatat tentang risalah yang berkelindan dengan itu. Dalam khazanah peradaban Barat terutama Eropa misalnya, embrio industri kreatif sudah ada sejak zaman revolusi industri pada era tahun 1700-an, yang dipicu oleh revolusi ilmu pengetahuan di era Pencerahan pada abad ke 16, dengan munculnya para ilmuwan seperti Francis Bacon, René Descartes, Galileo Galilei, peletak dasar ilmu pengetahuan dan teknologi modern.[3] Betapa pelbagai temuan ilmu pengetahuan dan teknologi di masa itu, adalah motor penggerak utama hadirnya proyek industrialisasi, sebagaimana halnya fenomena budaya dan industri dalam konteks wacananya dalam kebudayaan kontemporer kini.
Dalam konteks keindonesiaan, konsep industri kreatif amat menyedot perhatian, terutama ketika pemerintah mengkerangkainya dalam format kebijakan dalam bentuk Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2009 tentang pengembangan ekonomi kreatif. Bahkan tahun 2009 itu kemudian dicanangkan oleh pemerintah saat itu, sebagai tonggak tahun Indonesia kreatif. Kebijakan ini kemudian ditindaklajuti ketika di tahun 2014 hadir satu nomen klatur kementerian baru yang belum pernah ada dalam struktur era pemerintahan sebelumnya, yakni Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.[4]
Sejak itulah, paradigma industri kreatif seolah menjadi ikon mantra yang diwacanakan dengan derajat yang amat tinggi di mana-mana, termasuk tak luput pula dunia dan disiplin seni tak steril dibuatnya. Keterlibatan seni dalam arus pusaran wacana utama industri kreatif ini, bukan semata-mata merupakan salah satu bidang yang paling dekat dengan teks kreativitas sebagai basis rohnya industri kreatif, melainkan juga jagad seni memang menjadi subjek tulang punggung utama yang menjadi concern fokus di industri kreatif itu sendiri. Hal ini paling tidak dapat dilihat dari jabaran peta jalan dan cetak biru industri kreatif yang menjadi fokus perhatian pemerintah, yang jumlahnya ada 14, yang didominasi atau bahkan hampir semuanya terkait dengan ranah disiplin seni, yakni: 1) periklanan, 2) arsitektur, 3) benda seni dan barang antik, 4) kerajinan, 5) desain, 6) fesyen, 7) video, film, dan fotografi, 8) permainan interaktif, 9) musik, 10) seni pertunjukan, 11) penerbitan dan percetakan, 12) layanan komputer dan piranti lunak, 13) televisi dan radio, dan 14) riset dan pengembangan.[5] Keberadaan industri kreatif diklaim banyak memberikan andil yang signifikan bagi pembangunan, terutama jika analisisnya dijangkarkan pada kalkulasi pada aspek keuntungan materi, sehingga mesti terus mendapatkan dukungan.[6]
Yang menjadi catatan strategis dan penting kemudian adalah, bahwa siapa pun terutama para stakeholder yang terlibat dan pusaran wacana industri kreatif ini, kiranya perlu mengembangkan daya tilikan kritis-reflektifnya yang memadahi, yang terutama terkait dengan ranah basis filosofisnya yang relatif dikuras dengan pendekatan yang dijangkarkan pada nilai-nilai material-ekonomi, yang seolah melampaui semesta apa pun dalam dalam konteks berkulturasi. Memang menjadi sebuah keniscayaan yang tak bisa dipungkiri bahwa manusia itu adalah sebagai makhluk ekonomi (homo economicus), tetapi melampui dari itu semua, yang lebih berharga adalah bahwa ia sejatinya juga homo sapiens[7], makhluk yang dianugerahi akal budi, yang senantiasa mengidealkan kompleksitas nilai-nilai yang lebih ideal dan tinggi, jika dibandingkan pada sekadar rujukan nilai-nilai yang berbasiskan materi.
Dalam konteks kelindannya dengan diskursus yang terakhir inilah, kiranya konteks seni dan juga pendidikan seni menjadi menemukan ruang relevansi. Dengan adanya tilikan kritis reflektif, diharapkan seni dan juga pendidikan seni bisa berposisi dan berperan lebih sebagai subyek yang mampu memberikan pelbagi kemungkinan perspektif positif, ketimbang sekadar sebagai objek yang dieskploitasi dalam wacana industri kreatif. Sebagaimana sudah menjadi konvensi dan pemahaman yang purba kiranya, bahwa kehadiran dan keberadaan seni atau kesenian di sepanjang lintasan sejarah peradaban yang ada, senantiasa menggendhong visi nilai-nilai yang amat mulia. Taruhlah kemuliaan visi itu kemudian bersinggungan dengan domain materi-ekonomi, maka sejatinya itu hanya berada pada lapisan permukaan yang paling artifaktual dan artifisial, dan karenanya tak pernah ditempatkan sebagai kulminasi kesadaran tertinggi. Seni dan kesenian sejatinya adalah sebuah domain peradaban penting, yang keberadaannya bersama pilar-pilar peradaban utama lainnya, secara niscaya digairahkan untuk menggaransi eksistensi kemanusiaan manusia itu sendiri. Seni, karenanya sampai hari ini dirumuskan dalam sebuah tesis yang nyaris abadi, yakni sebagai salah satu jalan kemanusiaan itu sendiri. Karena itulah, berbicara tentang seni dan juga pendidikan seni, sejatinya adalah berbincang tentang sebuah gagasan tentang proyek humanisasi.
Oleh karena itu, mainstream visi yang ada dalam budaya dan industri kreatif ini, manakala tak disikapi secara hati-hati memadai, bisa berpotensi menelikung eksistensi seni dalam jebakan kultur politik ekonomi yang amat destruktif. Mengingat hasil pencermatan yang ada, tampak bahwa paradigma industri kreatif ini cenderung difahami dan diterjemahkan di pelbagai level lapisan, dalam aura kecenderungan menerimanya sebagai satu kebenaran, tanpa diserta dengan analisis relektif kritis untuk sekadar mewaspadai pelbagai kemungkinan dampak negatif yang ditimbulkannya. Padahal dari dimensi lain, sebagaimana disampaikan tadi, terminologi industri kreatif ini amat potensial menggendhong pelbagai kerentanan yang amat menghawatirkan, baik dari sudut pandang kesenian maupun kebudayaan. Oleh karena itulah, serangkaian upaya pemikiran kritis tentang sesi baru budaya dan industri kreatif, dalam perpekstif lintas disiplin, termasuk dalam konteks ini adalah disiplin seni, kiranya menjadi satu hal yang penting dan amat berarti. Kajian ini,  dihajatkan untuk mencoba mengambil optik posisi sebagaimana yang disebutkan pada klausul yang terakhir ini.

Industri Kreatif dan Kota Kreatif
Sebagaimana disampaikan di atas, diskursus perihal budaya dan industri kreatif, sejatinya sebagai khazanah yang cukup lama keberadaanya, yang awalnya terkait erat dengan wacana pembangunan kota terutama dalam perspektif ekonominya.[8] Dalam kata-kata Chris Gibson & Natascha Klocker, Creativity and the ‘creative industries’ are increasingly common components of urban economic development discoursse”. Demikian juga dalam pandangan  Moeran & Pedersen, bahwa wacana industri kreatif ini substansi basis pijakannya adalah mengeksploitasi terminologi kreativitas dalam konteks kepentingan terutama politik ekonomi.[9]
Dalam catatan historis, ada beberapa moment penting ibarat puzzle road map yang berkaitan dengan perjalanan industri kreatif di beberapa negera terutama di Barat. Pada tahun 1977 misalnya, di Washington, sekelompok ahli tata kota yang bergabung dengan para arsitek dan juga seniman, melalui program yang disebut Partnership of Livably Place, mengembangkan gagasan yang diistilahkan sebagai kota kreatif, yakni sebuah kota yang ideal, manusiawi, dan nyaman yang menekankan pada pendekatan kebudayaan dan lingkungan.[10] Demikian juga di Australia pada tahun 1994, melalui Australia Department of Communications and the Arts Australia, merilis gagasan tentang “Creative Nation: Commonwealth Cultural Policy”.[11] Kemudian, pada tataran kebijakan yang lebih praksis, jejak budaya dan industri kreatif ini terutama dikembangkan di Inggris, melalui Partai Bu­ruh dari golongan pembaharu (New Labour) untuk menentang konsepsi-konsepsi lama dari kubu Old Labour, yang dimotori oleh Tony Blair, pada tahun 1997, melalui Department of Culture, Media, and Sport (DCMS) mendirikan “Creative Industries Task Force”. DCMS kemudian mendefinisikan industri kreatif, yakni: “as those industries which have their origin in individual creativity, skill & talent, and which have a potential for wealth and job creation through the generation and exploitation of intellectual property and content”.[12] Melihat dari pemaknaan tentang gagasan baru terkait teks  industri kreatif yang disampaikan oleh DCMS ini, konon katanya sejalan dengan padangan sosiolog Anthony Giddens yang dikenal dengan “jalan ketiga[13]”, yang mencoba mendamaikan  keniscayaan pertarungan antara kutub sosialisme-kolektivisme di satu sisi dengan liberalisme-individualisme (kapitalisme) di sisi yang lainnya.
Dalam perkembangan selanjutnya, konsep industri kreatif ini kemudian terus semakin mendapatkan sambutan luas masyarakat. John Howkins misalnya pada tahun 2003, menulis Creative Economy, How People Make Money from Ideas, yang di dalamnya memaknai ekonomi kreatif, sebagai kegiatan ekonomi yang esensinya digerakkan terutama oleh kreativitas.[14] Demikian juga halnya dengan Richard Florida, melalui dua bukunya yang monumental, The Rise of the Creative Class: and How It's Transforming Work, Leisure, Community and Everyday Life (2003) dan Cities and the Creative Class (2005), juga meneguhkan gagasan yang relatif sama tentang konsep industri kreatif ini. Di kedua bukunya itu, Florida menekankan bahwa, betapa sebenarnya seluruh umat manusia itu adalah kreatif. Apakah ia seorang pekerja di pabrik kacamata atau seorang remaja jalanan yang membuat musik hip-hop. Perbedaannya adalah pada status kelasnya, terutama pada individu-individu yang memang menyadari bergelut di bidang kreatif dan kemudian mendapat keuntungan ekonomi dari pelbagai aktivitas kreatif yang mereka lakukan.[15]
Sejalan dengan pandangan tersebut, Hesmondhalgh (2007), memaknai industri kreatif sebagai kumpulan aktivitas ekonomi yang terkait dengan penggunaan pengetahuan dan informasi. (creative industries, also known as cultural industries or creative economy, refer to a range of economic activities that are concerned with the exploitation of knowledge and information).[16] Karenanya substansi industri kreatif juga dikenal dengan istilah industri budaya.[17]
Gagasan pada industri kreatif yang mengintensifkan stock of knowledge yang berbasiskan kreativitas ini, keberadaannya beriringan dengan proses transformasi evolusi dalam tatanan ekonomi di era kapitalisme lanjut, yang awalnya secara klasik berbasis pada sumber daya alam yang amat terbatas, kemudian bergeser pada paradigma berbasis sumber daya manusia yang tak terbatas. Tipe perubahan tata ekonomi yang berbasiskan budaya dan industri industri kreatif ini hadir pada ordinat perkembangan masyarakat, yang oleh futurolog Alvin Toffler (1991),[18] disebut pasca revolusi gelombang ketiga (the third wave revolution) yang ditandai dengan revolusi teknologi komunikasi dan informasi yang tampak amat eksplosif dan massif. Sistem dan tata nilai ekonomi ini, terutama ditandai dengan tak lagi ditentukan oleh bahan baku atau sistem produksi seperti pada era industrial klasik, tetapi penekanannya lebih pada domain kekuatan kreativitas dan inovasi. Inilah paling tidak point substansial yang melekat dalam konstruksi teks industri kreatif, yang kemudian diyakini menjadi narasi “kebenaran pengetahuan” hari ini yang diafirmasi semua kalangan sampai saat ini.

Industri Kreatif: Tilikan “Genealogis[19]
Ketika dihadapkan pada pelbagai realitas yang namanya “kebenaran pengetahuan” kebudayaan apa pun, termasuk dalam konteks ini adalah tentang industri kreatif, seorang Foucault pernah memberikan saran bagus agar kita senantiasa mengembangkan ritus kritis dalam berkesadaran, agar kita tak terjebak dalam kemungkinan kesalahan dalam penyikapan. Hal ini  disebabkan, bahwa sejatinya setiap teks kebenaran pengetahuan itu tak pernah ada yang bersifat netral, melainkan yang ada adalah selalu “politis-kultural”. Lewat teorinya Power/Knowledge, Foucault menegaskan bahwa dimensi politis-kultural dalam setiap teks kebudyaan itu, dikarenakan keberadaannya yang senantiasa terkoneksi dalam pelbagai kompleksitas variabel dan sistem yang terutama bersinggungan dengan terminologi kekuasaan.[20] Oleh karena itulah, Foucault mengatribusi kebenaran dalam setiap pengetahuan itu lebih sebagai truth regime atau “rezim kebenaran”. Konstruksi pokok pikiran genealogis ala Foucaultian ini, relatif kongruen dengan apa yang oleh Kristeva diistilahkan dengan “intertekstualitas” (intertextuallity) [21], atau yang dalam terminologinya Bhaktin dikenal dengan “dialogisme” (dialogism)[22], yang substansinya adalah sama-sama memahami dan menempatkan kebudayaan itu dalam rangkaian makna transposition (transposisi) yang penuh dengan titik pertemuan dan persilangan. Demikian juga halnya ketika menyoal perihal konstruksi dari konsep kebenaran pengetahuan tentang budaya dan industri kreatif ini, maka secara geneologis pengetahuan kebenaran yang melekat padanya sejatinya lebih pas jika ditempakan maknanya  juga dalam formasi sebagai “rezim kebenaran” yang terkoneksi dengan pelbagai jaringan kekuasaan, yang artinya secara niscaya juga amat membutuhkan ritus “kewaspadaan”.
Jika disandarkan pada nukilan substantif dari pemaknaan budaya dan industri kreatif sebagaimana yang disampaikan di atas, maka ketika kuasa politik ekonomi  nyaris menjadi satu-satunya mainstream penyangga utamanya, maka sejatinya pula ia, budaya dan industri kreatif ini, menginduk semang pada sistem kapitalisme-liberalisme sebagai aras dan jangkar filosofi utamanya.[23] Bahkan dalam perspektifnya Toby Miller, ditegaskan lebih lagi, bahwa “neoliberalism is at the core of the creative industries”.[24]
Ketika berbincang tentang teks kapitalisme dan dalam kesatuannya dengan liberalisme dan apalagi neoliberalisme, betapa yang namanya faham berkebudayaan ini, menyertakan kompleksitas persoalan, bukan bukan hanya pada dataran kebudayaan melainkan juga kemanusiaan, dan karenanya tak mengherankan manakala keberadaannya senantiasan mendapatkan gugatan kaum cendekiawan di pelbagai lintasan zaman. Untuk menyebut salah satu promotor utama yang menelanjangi dan memperkarakan tabiat buram sistem kapitalisme dan liberalisme di Eropa di abad-20 misalnya, adalah para cendekiawan yang tergabung dalam kelompok mahzab Frankfurt (The Frankfurt School). Kelompok kritis yang digawangi oleh tokoh-tokoh seperti: Adorno, Benyamin, Marcusse dan pemikir kritis lain seperti Habermas dan Gramcy melihat bahwa industri budaya adalah suatu bentuk manipulasi ideologi dan dominasi.[25]
Oleh karena itulah, baik di tingkat terminologi akademik maupun kebijakan, wacana tentang industri kreatif ini sejatinya amat potensial mengundang pelbagai kerentanan persoalan. Persoalan itu terutama berhulu dari risalah kreativitas sebagai roh terdasar dalam setiap ekspresi kebudayaan, di mana akhirnya orientasi nilai-nilai yang melekat di dalamnya direduksi hanya dalam kaitannya dengan persoalan ekonomi semata.[26] Orientasi budaya yang semata-mata didasarkan pada analisis pasar dan keuntungan dalam perspektif ekonomi inilah, yang akhirnya mengantarkan budaya komodifikasi dan komersialisasi, di mana segala hal terkait dengan deru berkebudayan harus bemuarakan diktum kalkulasi ekomomi kapital yang menguntungkan. Dalam kata Lazaretti berikut ini.

            Commodification is the specific process of commercialization ‘whereby a produced thing or activity itself is given a consumptive market value’. While commodification primarily places the emphasis on cultures as an economic output, commercialization places more considerations on culture as an economic input.[27]

Seturut dengan pandangan tersebut, Edensor. Et all. (2009:90) juga mengemukakan bahwa, “contemporary capitalism is characterized by more recently dominant forms of accumulation, based on flexible production, the commodification of culture and the injection of symbolic ‘content’ into all commodity production”.[28] Dengan demikian, dalam konsep industri kreatif ini, sebenarnya telah terjadi semacam persekongkolan atau perselingkuhan secara halus bahkan nyaris tak kelihatan, antara teks kebudayaan dengan kapitalisme.[29] Flew (2012:6) memberi istilah tentang fenomena ini sebagai,convergence of consumerism with cool capitalism”.
            Berangkat dari kenyataan itulah, karenanya gagasan dalam industri kreatif itu, di sisi lain akhirnya telah mendistorsi hakikat substansi makna dari terma kreativitas dan juga kebudayaan yang semata-mata disandarkan pada motif ekonomi, sehingga pelbagai ritus kinerja dalam berkebudayaan dan termasuk juga berkesenian tak lebih dimaknai aktivitas ketukangan yang membudak pada sistem kapitalisme yang demikian memuja semata-mata risalah keuntungan. Dari sini pula lah, maka terminologi industri kreatif itu kiranya menemukan konteks relevansinya untuk ditimbang dan dipertanyakan, jika itu diklaim sebagai satu gagasan pencerahan ditilik dari sudut pandang kebudayaan. Galloway & Dunlop (2007:17)  menyatakan:

The knowledge economy‐based concept of creative industries, it is maintained, has no specific cultural content and ignores the distinctive attributes of both cultural creativity and cultural products. As such it overrides important public good arguments for state support of culture, subsuming the cultural sector and cultural objectives within an economic agenda to which it is ill‐suited. We argue against this turn in public policy and for a cultural policy that views its object as all forms of cultural production, both industrial and artisan.[30]

Fenomena penggunaan terma kreativitas dalam konteks utilitas yang amat pragmatis yakni sebagai pilar penyangga utama menyokong konstruksi industri dan kapital inilah, yang mengakibatkan makna kreativitas itu sendiri telah kehilangan atau minimal terdistorsi kualitas auratiknya. Karenanya tak berlebihan jika Schumpeter, seorang ekonom Austria-Amerika, pernah memberikan atribusi identitas satiris terkait dengn fenomena ini, yakni bahwa wacana creative industries itu sejatinya lebih banyak berurusan dengan creative destruction[31] yang disebabkan diktum kreativitas telah mengalami apa yang diistilahkan oleh Pang (2012) sebagai politisasi” yang memperihatinkan.[32]

Komodifikasi dan Fetisisme Estetika dalam Seni
Ketika permasalahan industri kreatif dalam teks kebudayaan itu diderivasikan lebih jauh ke pilar-pilar yang lebih luas termasuk seni atau kesenian misalnya, maka akan segera ditemukenali bahwa yang namanya gagasan estetika yang terkandung di dalamnya juga akan mengafirmasi orientasi dan spirit yang mengacu pada diktum kuasa ekonomi sebagai panglima. Dalam konteks inilah, seni dan estetika, bukan lagi sebagai sesuatu yang menggairahkan nilai-nilai transendensi, melainkan nilai-nilai ekonomi yang bersifat profan imanensi. Industri kreatif, dalam tataran ini, sejatinya telah melakukan perselingkuhan antara estetika dengan kapitalisme, yang oleh Michelsen diistilahkan sebagai aesthetic capitalism[33], sebagai bagian dari apa yang oleh Kaplan (2008) disebut sebagai culture of fetishism[34].
Dalam konteks inilah, akhirnya industri kreatif kemudian telah menempatkan seni tak lebih sebagai bagian komponen objek, yang bersama-sama komponen kebudayaan lain dieksploitasi habis guna mendukung keberhasilan risalah politik ekonomi. Dalam kaitan ini Kerrigan (2007) menegaskan yakni, “creative industries demonstrate a move away from 'art for art's sake' and towards an acceptance of the economic, social and aesthetic value of culture, where the arts are treated as ingredients in a new cultural mix”.[35] Berkaca dari fakta ini, karenanya pendulum industri kreatif tampak cenderung bergerak ke aah pertimbangan seni dan estetika, yang terutama diarahkan bagi kepentingan fungsi utilitarian yang yang amat pragmatis sifatnya, yang secara klasik misalnya terkait dengan sektor klasik yang berbasis budaya massa, seperti turisme, fesyen, arsitektur, games, kuliner, dan aneka gaya hidup lainnya. Hal ini senada dengan pandangan Singh (2014:150), bahwa “creative industry tend to move toward design elements that include aesthetic considerations but are primarily geared toward other utilitarian functions, such as tourism, textile design of fashion, toys and games and architecture.[36]
Fenomena memperihatinkan seperti itulah, akhirnya membuat seni yang diabdikan semata-mata bagi kepentingan politik ekonomi seolah menemukan konteks pembenaran dan justifikasi, sehingga menjadi satu sesi yang paling digairahi oleh setiap stakeholder, termasuk dalam bidang seni hampir di semua lapisan dan lini. Dalam kaitan ini, Jone & Warren (2016), menyampaikan kritik keprihatinan:

In designated creative industries offices, usually located in economic development sections of local authorities. They come from academics and managers in higher and further education who increasingly see the vocational implications of the creative economy as prime justification for the contemporary role of arts and humanities.[37]

Dari alir nalar itu kemudian dapat difahami, betapa jagat estetika dan kesenian yang mestinya lebih mampu dimaknai sebagai rumah kemanusiaan, dan berperan sebagai “pandhapa agung”, yang menyuguhkan nilai  kesejatian, yakni nilai-nilai yang mampu membentuk dan meningkatkan taraf hidup dan kehidupan menjadi lebih berperadaban[38]; menjadi sesuatu yang kerap dipertanyakan. Demikian juga halnya, teks-teks seni yang selama ini kodratnya cenderung diyakini selalu melawan berbagai bentuk abstraksi dan generalisasi, termasuk abstraksi dan generalisasi dalam konteks industri kreatif ini, kiranya gagal untuk bisa dikerangkai. Padahal ritus abstraksi dan generalisasi dalam berkebudayaan kerap akan memandulkan dan memajalkan kepekaan diri dan kesadaran, karenanya selalu dilawan dalam kerja berkesenian.

Menyoal “Pengkhianatan Kaum Cendekiawan”
            Ketika narasi besar yang menyelubungi konteks persoalan industri kreatif dari sisi yang lain yang cenderung buram tersebut, kiranya posisi dan peran keilmuan seni terutama di pergururan tinggi, menjadi amat strategis untuk melakukan serangkaian proses reorientasi dan revitalisasi bagi pencerahan kulturasi. Harapan besar yang kerap disandarkan pada posisi dan peran perguruan tinggi ini, kiranya bukanlah hal yang berlebihan, karena asumsi masyarakat sampai hari ini masih teramat kuat meyakini, betapa yang namanya situs kampus itu adalah tempat merumahnya kaum cendekiawan, yang secara struktur sosial masuk dalam kategori apa yang diistilahkan kalangan kelas sosial menengah (middle class society), yang perannya selalu menjadi amat determinan sebagai motor avant garde di setiap perubahan sosial dan kebudayaan (agent of social and cultural change).[39] WS Rendra dalam kaitan ini, mengatribusi golongan cendekiawan, sebagai mereka yang ‘berumah di angin’[40], yang keberadaan diharapkan menjadi katarsis ketika zaman dirundung kedukaan.
Meski dalam konteks kontemporer kekinian, ketika membincang perihal kaum cendekiawan, banyak yang menyisakan persoalan yang amat menyesakkan, karena ada semacam tren degradasi posisi dan peran yang tampak signifikan. Hal ini dapat dibaca misalnya ketika di setiap sesi krusial perubahan dan transformasi kebudayaan, termasuk misalnya dalam konteks industri kreatif ini misalnya, kaum cendekiawan di segala disiplin, termasuk disiplin seni, lebih banyak berada dalam lintasan lebih sebagai konsumen dibanding produsen yang menentukan haluan, sehingga yang banyak terekam wacananya adalah tak lebih dari histeria jejak-jejak yang cenderung mengafirmasi, tanpa dibarengi perspektif kritis yang berarti. Posisi dan peran kaum cendekiawan perlahan tampak mulai luntur, di tengah suasana gemuruh hiruk pikuk kehidupan kegaduhan perubahan zaman kekinian yang potretnya makin kabur.
Gambaran selayang pandang terkait dengan hal ini misalnya dapat dilihat dari watak dan corak ilmu-ilmu sosial (termasuk juga seni) Indonesia selama ini, yang lebih suka memilih untuk menjadi budak-budak kekuasaan, entah kekuasaan politik maupun kekuasaan ekonomi. Gambaran cukup baik perihal ini, misalnya tampak dari kritiknya Vedi R. Hadiz dan Daniel Dakhidae pada “Pengantar” untuk bukunya Social Science and Power in Indonesia (2004), yang menyampaikan bahwa betapa ilmuwan sosial bangsa ini, dalam perkembangan termutakhirnya kini, lebih banyak yang menjadi makelar-makelar rezim kekuasaan. Tidak mengherankan bila ilmu sosial di Indonesia, lalu menjadi semacam gugus worldview yang bercorak sangat instrumentalis-pragmatis, ketimbang kritis-reflektif”.[41]
Dalam buku yang sama, PM Laksono juga melakukan kritik yang relatif sama, dengan meninjau kinerja asosiasi ilmu-ilmu sosial yang ada di Indonesia selama ini, seperti Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial (HIPIIS), Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI), Asosiasi Prehistori Indonesia (API), dan masih banyak lagi yang lainnya. Kecenderungan grammar kinerja asosiasi-asosiasi itu, menurut catatan Laksono, adalah berupa idiom ‘peran’ (role): yaitu cara berfikir, bertutur, bertindak, dan bekerja seturut bahasa ala fungsionalisme raksasa sosiolog Talcot Parsons, yakni: “peran ilmu-ilmu sosial bagi pembangunan”.[42] Dari alir nalar inilah, karenanya tak mengherankan manakala dalam kritiknya Soedjatmoko, yang berkembang luas kemudian adalah tradisi “studi-studi pesanan untuk kepentingan memoles citra kebijakan, demi kelanggengan kekuasaan.
Oleh karena itu, tatkala muncul seksi wacana kultural baru, seperti budaya dan industri kreatif ini misalnya, para ilmuwan sosial kita tidak cukup punya kefasihan analitik untuk memeriksa premisn dan tesisnya. Maka, yang terjadi sekedar berbondong-bondong histeria menggunakan istilah baru itu. Yang dikejar bukan refleksi, melainkan dominasi. Dalam kata-katanya Ariel Heriyanto—masih dalam buku yang sama—bahwa di bawah bayang-bayang jargon developmentalism, sekujur wajah ilmu-ilmu sosial Indonesia akhirnya menjadi semacam pertukangan, punya daya besar tapi membudak, amat mirip seperti serdadu, mesin, atau bahkan lebih tepatnya gali.[43]
Kalau demikian potretnya, maka kaum cendekiawan tampak tak cukup memadai lagi sebagai rujukan penting bahkan garda terdepan bagi agent of social and cultural change dan proyek pencerahan, karena telah menjelma menjadi komprador-komprador (bromocorah) utama peradaban. Dalam konteks inilah, kita seolah diingatkan kembali dengan apa yang diistilahkan sebagai “pengkhianatan kaum cendekiawan”, yang pernah digugat habis-habisan oleh seorang filsuf Prancis Julien Benda, pada dekade tahun ’20-an silam.[44]

Industri Kreatif dan Revitalisasi Keilmuan Seni di Perguruan Tinggi
Di tengah pudarnya auratik pesona kecendekiawanan kontemporer yang seperti itu, bukan berarti nyaris tak menyisakan kemungkinan untuk menyemaikan optimisme untuk menatap risalah kekinian dan terutama masa depan. Dalam konteks kaitannya dengan disiplin seni, terutama terkait dengan penyikapan secara spesifik terhadap budaya dan industri kreatif ini misalnya, banyak hal yang kiranya bisa diupayakan. Ada beberapa yang kiranya sifatnya mendesak karena amat strategis dan signifikan misalnya: pertama, peneguhan dan penguatan kembali pelbagai pilar “matriks disiplin” (discipline matrix[45]) keilmuan seni; kedua, pengembangan kemungkinan interdisipliner dan intradispliner keilmuan seni; dan ketiga, kemungkinan pembangunan “otentisitas” keilmuan seni yang lebih berbasiskan kearifan lokal kebudayaan diri.
Pertama, terkait dengan peneguhan dan penguatan kembali pelbagai pilar matriks disiplin (discipline matrix) keilmuan seni ini, kiranya dapat dimaknai sebagai kemungkinan kita secara bersama-sama melakukan reorientasi dan revitalisasi terkait dengan paradigma kelimuan seni selama ini, yang sangat mungkin tanpa disadari berada pada jalur “kelirumologi”. Titik letak “kelirumologi itu, terutama adalah tampak pada gagalnya pemahaman secara utuh akan disiplin seni kita di perguruan tinggi selama ini, yang mestinya ditempatkan dalam kerangka matriks disiplin. Kalau menyoal seni sebagai matriks disiplin, maka keberadaan keilmuan seni itu keutuhan dan kekokohannya sangat ditentukan paling tidak oleh tiga pilar penyangga utamanya, yakni pilar: produktif (penciptaan), reproduktif (penyebarserapan), dan reseptif (penerimaan). Pilar produktif atau wilayah kreasi melibatkan para kreator atau seniman, sementara pilar reproduktif melibatkan para pengkaji dan peneliti, sedangkan pilar reseptif  adalah ranah yang melibatkan masyarakat dalam arti yang luas, sebagai basis pendukung utama eksistensi seni itu sendiri.
Hanya dalam kekokohan interrelasinya yang kuat di ketiga pilar secara holistik itulah, eksistensi seni di masyarakat itu, benar-benar dapat digaransi. Implikasi imperatif yang mestinya dapat ditunaikan kemudian adalah, semua pihak dan elemen, baik yang menyangkut produk, proses, pencipta (seniman), intelektual (peneliti, kritikus, kurator, pendidik, dan lain sebagainya), dan bahkan masyarakat awam pendukungnya sekali pun, tidak boleh ada yang lebih superior daripada lainnya, karena masing-masing berada dalam format perhitungan strategis dalam keseluruhannya. Oleh karena itu, siapapun yang terlibat dalam jagad seni, bebas menentukan piliahnnya. Yang jauh lebih penting kemudian adalah, bahwa ketika pilihan telah ditentukan, pilihan itu sendiri seyogianya tetap disadari selalu berada dalam pemahaman jejaring yang luas, yang keseluruhannya mengandaikan tersedianya ruang dan peluang untuk membangut format bertegur sapa secara bersahaja.
Namun persoalannya adalah, bahwa dalam pencermatan yang ada, di ketiga pilar itulah, keilmuan seni selama ini memiliki titik kelemahan yang amat krusial, yakni ketika perhatian pada ketiga pilar matriks itu ternyata tidak ditempatkan dalam format keseimbangan, dengan menempatkan kesadaran pada pilar penciptaan menjadi sesuatu yang amat hegemonik sehingga amat dominan. Sebagaimana diketahui, bahwa bagaimana pilar penciptaan dalam keilmuan seni kita selama ini telah ditempatkan nyaris melampaui semesta eksistenti seni itu sendiri, sehingga tampak seperti menafikkan atau bahkan menegasikan dua pilar yang lainnya, yakni pengkajian dan penerimaan. Pelbagai dimensi reproduktif yang berbasisikan pengkajian seolah dianggap sebagai sebentuk ‘sang liyan’ (the other) dalam perspektif Foucaultian, yang keberadaannya dianggap mirip “kersik pada karang, atau pun lumut pada lokan” (meminjam nalar lirisnya Goenawan Mohamad), yang kerapkali tidak pernah diberi harga, karena dianggap sebagai sesuatu yang sia-sia.
Betapa fakta empirisi sampai hari ini menegaskan, bahwa yang namanya disiplin seni ini cenderung dikuras maknanya hanya terkait dengan gebu rasa (emotional desire) yang seolah tak ada sangkut pautnya sama sekali dengan gebu logika (intellectual desire). Oleh karena itu tak mengherankan, manakala diandaikan setiap tahun seluruh perguruan tinggi seni di Indonesia itu misalnya, mampu menghasilkan seribu-an “sarjana seniman” yang berbasiskan paradigma penciptaan, tetapi tidak untuk satu atau dua pemikir atau cendekiawan yang berbasiskan tradisi pengkajian dan penelitian.[46] Fenomena ini akhirnya mengakibatkan implikasi turunan yang amat merusak, baik secara akademis maupun sosiologis. Secara akademis, wajah keilmuan seni tetap berada dalam citra sosial yang seolah berada dalam labirin stigmasi abadi, yakni “lack of discourse and lack of knowledge”. Ilmu seni adalah ilmu yang paling fakir-miskin di dunia, sehingga selalu membutuhkan santunan kerohiman kapan saja. Sementara itu secara sosiologis, dapat ditilik dari salah satu indikator utamanya yakni, bahwa betapa dari masa ke masa, tingkat keberterimaan seni di masyarakat masih tetap cenderung rendah, yang disebabkan oleh problem sosialisasi dan apresiasi seni masyarakat yang rendah pula.
Demikian pula dalam konteks kaitannya dengan diskursus budaya dan industri kreatif ini, karena keterbatasan perspektif yang dimiliki, keilmuan seni juga tampak cenderung berada dalam format kikuk dan gagap untuk menyikapi, sehingga sebagaimana yang telah disampaikan di atas, bahkan arus utamanya justru sekadar mengafirmasi, tanpa disertai kajian kritis-reflektif yang relatif memadai.
Kedua, terkait dengan pengembangan kemungkinan interdisipliner dan bahkan intradispliner keilmuan, kiranya juga merupakan sebuah persoalan yang krusial dalam disiplin seni selama ini. Sebagaimana diketahui bahwa mainstream praksis keilmuan seni di perguruan tinggi selama ini, cenderung tampak dikuras pemaknaannya pada diktum monodisiplin yang rigid dan kelewat rapi, sebagaimana khasnya dalam tipikal format tradisi kebudayaan modern yang serba terstrukturasi. Padahal, sebagaimana diketahui, dalam kaitannya dengan konteks diskursus budaya dan industri kreatif yang banyak terilhami oleh jiwa zaman post atau pascamodern ini, telah mengalami pergeseran atau bahkan tepatnya perubahan orientasi paradigma yang berspiritkan post atau pascastrukturalis, yang lebih menempatkan kesadaran berpengetahuan dalam bingkai perspektif bukan mono, melainkan multidisiplin.
Pandangan ini sekali-kali tidak hendak menegasikan pengupayaan pada core of competence disiplin seni yang bersifat mono, melainkan lebih pada gagasan betapa pentingnya melengkapinya dengan perpsektifnya multi tadi. Hal ini kinya juga sejalan dengan spirit yang ada pada teks budaya dan industri kreatif ini, sebagai situs amalgam baru yang memang disandarkan pada spirit upaya mengonstruksi kebaruan pengetahuan dengan mempertemukan pelbagai kemungkinan disiplin dan juga pendekatan tanpa adanya beban kekakuan. Hal ini misalnya, dapat ditelisik dari risalah hadirnya konsep budaya dan industri kreatif ini secara sosiologis, yang konon disokong penuh oleh prototipe kelompok generasi baru, yang mengatribusi dirinya sebagai apa ang diistilahkan sebagai“no colour class”, yaitu generasi yang tipikal tampak santai, yang lebih suka memakai T-shirt dan tak suka berdasi. Kelompok kelas ini terdiri dari seniman dari berbagai disiplin, ilmuwan, dan bahkan profesor yang sering terlihat santai, tetapi sebenarnya selalu serius dalam berfikir dan berkreasi.Pemandangan ini dapat dikatakan sebentuk antitesis yang secara kontras begitu berlawanan dengan terminologi generasi kreatif di zaman sebelumnya, yang lebih kerap diistilahkan sebagai generasi “blue colour” dan “white colour”, yang mengafirmasi faham monodisiplin yang cenderung amat rapi.
Ketiga, terkait dengan kemungkinan pembangunan “otentisitas” keilmuan seni, kiranya juga menjadi persoalan yang juga mendesak untuk disikapi. Berbincang tentang teks “otentisitas” dalam kaitannya dengan kesenian secara khusus maupun kebudayaan dalam arti yang luas, sejatinya secara subtantif terkait dengan persoalan utama yang dikenal dengan risalah “rasa identitas” yang secara ideal disandarkan pada basis lokalitas. Meski di era revulusi gelombang ketiga yang ditandai demikian massif-eksplosifnya saling silang informasi, yang menembus pelbagai tapal batas geografis, bukan berarti yang namanya sebuah teks kesenian dan kebudayaan tak lagi memerlukan identitas sebagai penanda khasnya.
Dalam konteks dunia seni, ketika fenomenanya dihadapkan pada tata pergaulan dan tegur sapa global, apapun bentuk dan wujudnya, nilai-nilai lokalitas (etnis ataupun trans-etnis) sangat penting keberadaannya, karena sebagaimana dalam pandangan Suminto A. Sayuti (2014), ia dapat dijadikan modal, benteng, dan sekaligus sebagai paspor utama sang seniman dalam mengkonstruksi identitas melalui jagat artistik yang diidealkan.[47] Menjadi modal, karena dengan dan melaluinya seniman dikenal oleh dan memperkenalkan diri kepada “yang lain”. Modal budaya merupakan modal dalam berelasi dan berinteraksi dengan “yang lain,” yang bukan dirinya, liyan, the others. Pengakuan “yang lain” atas nilai-nilai itu merupakan paspor, yang melegitimasi bahwa secara kultural sang seniman sah bergaul dan berposisi setara. Proses berelasi dan berinteraksi dengan “yang lain” itu juga meniscayakan masuknya beragam nilai secara tak terhindarkan. Dalam kaitan inilah, nilai-nilai lokalitas berfungsi sebagai benteng. Begitulah kira-kira alir nalar kulturasi perihal pentingnya otentisitas yang berbasiskan nilai-nilai lokal diri.
Namun yang menjadi catatan persoalan adalah, bahwa betapa yang dinamakan entitas nilai-nilai lokalitas sebagai modal, benteng, dan sekaligus sebagai paspor utama untuk mengontstruksi identitas jagad seni dan estetika keindonesiaan selama ini, dapat dikatakan sejak sangat lama telah roboh, tumbang dan karenanya sering diratapi. Pelabagi proses persemukaan, persinggungan, dan “persetubuhan” budaya dengan para “yang lain” dan terutama Barat, betapa telah memporakporandakan nilai-nilai dan sukma lokalitas yang yang dimiliki kebudyaan ini selama ini. nilai-nilai lokalitas itu, dalam konteks keindonesiaa, terutama adalah nilai-nilai yang berbasiskan filsafat ketimuran. Dalam konteks hari-hari kekinian, betapa nilai-nilai filsafat seni dan budaya ketimuran itu, telah ditaklukkan sempurna dalam sergapan nilai-nilai filsafat Barat yang datang belakangan.
Fenomena ini dapat diverifikasi dengan sempurna, misalnya dengan menunjuk pada risalah tentang semesta perkembangan seni rupa Indonesia (termasuk semua cabang seni lainnya) misalnya, yang sampai hari ini tak pernah sedikit pun dapat dipisahkan risalahnya dari wacana perkembangan seni rupa yang ada di Barat. Hal ini dapat dirunut misalnya dari sejak awal risalah perkembangan seni rupa modern masuk ke Indonesia dengan tonggak utamanya Raden Saleh, kemudian berlanjut ke Mooi Indië, Persagi, Gerakan Seni Rupa Baru, bahkan sampai pada memasuki perjalanan era kontemporer, betapa menunjukkan bahwa keseluruhan proses perubahan yang ada itu, tidak satu pun dapat dipisahkan dari pola-pola yang ada di mainstream seni Barat.[48]
Oleh karena itulah, tak mengherankan manakala perbincangan yang terkait dengan para tokoh dalam wacana estetika beserta narasi besarnya di Indonesia misalnya, nyaris semuanya adalah berisi tentang daftar para filsuf Barat Barat, seperti: Socrates, Plato, Aristoteles, Plotinus, Agustinus, Thomas Aquinas, Baumgarten, Kant, Tolstoy, Croce, Collingwood, Santayana, Gasset, Langer, Bell, dan lain sebagainya. Sebaliknya nyaris tak ditemukan sama sekali tokoh-tokoh filsuf lokal seperti yang diwakili oleh para empu misalnya, seperti: Kanwa, Panuluh, Prapanca, Ranggawarsita, dan lain sebaginya, yang sebenarnya telah banyak menghasilkan karya pemikiran yang tak kalah hebatnya jika dibandingkan dengan yang berasal dari Barat sana.
Bahkan dalam skala dan spektrum yang luas, ketika badai globalisasi dengan dukungan revolusi teknologi informasi dan komunikasi di era modern dan postmodern kini, yang membuat itensitas kontak dan perjumpaan dengan Barat semakin dramatik, membuat risalah ketakberdayaan dan ketergantungan terhadap segala nilai yang berasal dari Barat yang diidap sekujur wajah dan tubuh bangsa ini, seolah menjadi kian sempurna dan tak terperi. Hal ini dapat disaksikan betapa, seolah nyaris tak ada infrastruktur atau pranata peradaban secuil pun di negeri ini—baik di tingkat ideofact, sociofact, maupun artifact—yang bisa ditarik jaraknya, meski hanya beberapa centi, dari situs pengaruh Barat, karena dianggap lebih bermakna dan berarti. Barat, akhirnya menjadi semacam  kutukan obsesi, yang melampaui akan hasrat dan keinginan apa pun, dalam proses kinerja kulturasi dalam kebudayaan dan juga berkesenian kontemporer di negeri ini. Bersandar pada fakta inilah, sejarawan Bambang Purwanto memberikan istilah, sebagai sebentuk potret kegagalan bangsa ini dalam mengonstruksi histori dan historiografi yang Indonesiasentris.[49]
Kenyataan pahit dan buram itu seolah menyiratkan, bahwa kita sebagai bangsa seolah tak mempunyai sama sekali modal dan kekuatan seni dan budayanya. Padahal tidak demikian adanya. Sekadar sebagai contoh misalnya, pelbagai bukti otentik jauh di masa silam bahkan ketika kita ini masih berada dalam alam pra-Indonesia, menunjukkan betapa kita pernah memiliki riwayat kejayarayaan kesenian dan kebudayaan, bahkan ketika di saat itu bangsa dan kebudayaan ini sama sekali belum ada kontak dan perjumpaan dengan peradaban Barat sebagaimana yang terjadi hari ini. Pelbagai puncak pencapaian karya seni budaya terbaik masa silam, baik yang berbasis di kurun historis “Jawa tua” yang berpusat di Jawa Tengah maupun yang ada di “Jawa muda” yang berbasis di Jawa Timur, seperti candi, batik, gamelan, keris, wayang, dan lain sebagainya, yang kemudian diakui UNESCO dalam Daftar Representatif Karya Agung Budaya Lisan dan Tak Benda Warisan Manusia (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity), yang manakal usianya kalau ditarik garis sampai hari ini sudah lebih dari 1000 tahun itu, adalah sebagai bukti otentik tentang identitas kebesaran kesenian dan kebudayaan bangsa kita di masa lalu yang tak diragukan lagi adanya.
Fenomena itu tidak hanya ada di Jawa yang memang sejak dahulu sebagai basis utama dari entitas budaya Indonesia, melainkan ada tersebar di seantero Nusantara. Di Sulawesi misalnya, terdapat peninggalan karya sastra kuna milik masyarakat Bugis Makasar, yang dikenal dengan I La Galigo, adalah salah satu karya sastra terbesar di dunia sepanjang masa, yang melampaui karya-karya seperti Mahabharata dan Ramayana dari India, mapun karya paling monumental dalam sejarah sastra Yunani klasik, misalnya Odyssey dan Illiad karya Homerus misalnya[50] Dan masih banyak contoh yang lainnya, sebanyak jumlah etnis dan kekayaan seni dan budayanya yang kita miliki di seantero Nusantara.
Akibat kegagalan membangun otentisitas seni dan estetika yang berbasis lokalitas kenusantaraan ini adalah betapa akhirnya semesta jagad kesenian dan kebudayaan kita kekinian telah gegar berantakan, karena terlampau sindrom oleh nilai-nilai yang berasal dari luar terutama Barat yang terlanjur dianggap lebih menakjubkan. Gambaran perihal ini, kiranya dapat diverifikasi dalam konteks diskursus budaya dan industri keratif yang mengarusutama dalam kebudayaan kita akhir-akhir ini.
Oleh karena itulah kemungkinan pelbagai upaya untuk terus melakukan reorientasi dan revitalisasi disiplin seni di perguruan tinggi, diharapkan keberadaan keilmuan seni,  baik yang murni (yang berbasiskan spirit textual/essential justification) maupun kependidikan (yang berbasiskan contextual justification)[51]” di kesempatan yang akan datang lebih dapat dikerangkai secara lebih memadai. Jika posisi dan peran disiplin seni di perguruan tinggi bisa direorientasi dan direvitalisasi, paling tidak pada ketiga hal pokok sebagaimana disampaikan tadi, maka kemungkinan harapan untuk pelbagai impian pencerahan, termasuk dalam konteks kasus wacana budaya dan industri kreatif, akan menjadi semakin jelas untuk dikerangkai.

Penutup
Itulah kiranya beberapa catatan yang bisa dipertimbangkan untuk kemungkinan dijadikan referensi rujukan dissenting opinion atas histeria merayakan seksi baru tentang budaya dan industri kreatif, terutama dalam konteks kaitannya dengan ranah seni ini, ketika  mainstream-nya yang ada cenderung banyak yang mengamini. Pandangan dari sisi lain ini sama sekali tidak dalam kerangka menolak sama sekali dengan hadirnya budaya dan industri kreatif, karena setiap perubahan sosial dan budaya kapan pun itu memang selalu memiliki dua sisi, baik positif maupun negatif. Terkait dengan sisi positifnya budaya dan industri kreatif terutama terkait dengan diktum spiritnya yang banyak disandarkan pada kreativitas sumber daya manusia yang tak terbatas, yang dapat menjawab tentang risalah ketakutan manusia akan keterbatasan yang ada pada alam semesta. Sementara itu, sisi negatifnya adalah, sebagaimana yang telah disampaikan di atas, terutama arus utamanya yang cenderung mendestruksi kodrat atribusi kemanusiaan manusia itu hanya semata-mata sebagai homo economicus[52] yang membudak pada yang material sifatnya.
Dalam konteks ini pula kiranya kesadaran kita perlu diingatkan kembali, bahwa yang namanya diktum ekonomi yang kelewat materialistik untuk menopang need of physiologicalitu sebagaimana yang jauh-jauh hari disampaikan oleh Maslow[53] (dalam Ryckman, 2013:301) hanyalah bagian dari kebutuhan kemanusiaan yang paling permukaan; karena di atasnya masih ada lagi hierarki yang lebih tinggi yang lebih signifikan, yakni nilai-nilai, baik nilai moral bahkan ke-Ilahian. Keterjagaan kesadaran ini kiranya teramat penting adanya, terutama ketika seni pada hari ini terpaksa kepergok dan harus berhadapan dengan watak dan tabiat budaya dan industri kreatif yang narasinya nggegirisi tadi. Harapannya adalah, seni dengan segala keyakinan nilai-nilai yang dimilikinya dapat mampu manjing jroning kahanan (menempatkan diri yang terbaik); agar tidak menjadi objek dan bulan-bulanan; melainkan kalau bisa menjadi subjek yang menentukan.
Meski kita menyadari dengan sepenuh-penuhnya bahwa, ketika segala aktivitas kehidupan kini cenderung dikelola dengan berdasarkan nalar ilmiah-teknologis yang memuja perhitungan, objektivitas, efisiensi, dan terutama materi, memandang seni memang terasa bagai sesuatu yang trivial, sesuatu kesia-sian, berlebihan, atau bahkan kegenitan.[54] Dalam konteks ini, tentu kita segera sepakat untuk tidak menyepakati. Alasannya sederhana, karena dengan seni, konon membuat kita bisa kehilangan dan sekaligus menemukan diri.[55]




DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Sheikh Mushtaq. 1991. Existential Aesthetics: A Study of Jean-Paul Sartre’s Theory of Art and Literatur. Nes Delhi: Atlantic Publishers & Distri.

Allen, Graham. 2000. Intertextuality. London: Routledge.

Australia Department of Communications and the Arts. 1994. Creative Nation: Commonwealth Cultural Policy. Canbera: Australia Department of Communications and the Arts.

Barrowclough. 2012. Creative Industries and Developing Countries: Voice, Choice and Economic Growth. London: Routledge.

Benda, Julien. 2009. The Treason of the Intellectuals. Traslated by Richard Aldington. Fourth Paperback Printing. Piscataway, New Jersey:Transaction Publishers.

Budyatna, M. 2005. “Pengembangan Sistem Informasi: Permasalahan dan Prospeknya”, dalam Komunika (Warta Ilmiah Populer Komunikasi dalam Pembangunan), (Vol. 8, No. 1), 2.

Burhan, M. Agus. 2006. “Seni Rupa Kontemporer Indonesia: Mempertimbangkan Tradisi”, dalam Jaringan Makna Tradisi Hingga Kontemporer: Kenangan Purna Bhakti untuk Prof. Soedarso Sp., M.A. Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta.

Coates David & Peter Augustine Lawler (eds.). 2000. New Labour in Power. Manchester, UK: Manchester University Press.

Department of Communications and the Arts. 1994. Creative Nation: Commonwealth Cultural Policy. Canbera: Australia Department of Communications and the Arts.
Dixon, William & David Wilson. 2013. A History of Homo Economicus: The Nature of the Moral in Economic Theory. London: Routledge.

Edensor, Deborah Leslie, Steve Millington, & Norma Rantisi. 2009. Spaces of Vernacular Creativity: Rethinking the Cultural Economy. London: Routledge.

Flew, Terry. 2012. The Creative Industries: Culture and Policy. London: Sage Publication.

Florida, Richard. 2003. The Rise of the Creative Class: And How It's Transforming Work, Leisure, Community and Everyday Life. New Zealand: Hazard Press.
__________. 2005. Cities and the Creative Class. London, UK: Routledge.

Foucault, Michel. 1980. Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, 1972-1977. New York: Pantheon Books.

Friedrichs, Robert Winslow. 1970. A Sociology of Sociology. New York: Free Press.

Galloway, Susan & Stewart Dunlop. 2007. “A Critique of Definitions of the Cultural and Creative Industries in Public Policy”. International Journal of Cultural Policy, Volume 13, Issue 1.

Gibson, C. and Klocker, N. 2004, Academic Publishing as ‘Creative’ Industry, and Recent Discourses of ‘Creative Economies’: Some Critical Reflections. Area Journal, Volume 36, Issue 4; 423–434.

Giddens, Anthony. 1991. The Third Way. Hoboken, New Jersey, USA: Wiley.

Hadiz, Vedi R. & Daniel Dhakidae (eds.). 2005. “Introduction”, Social Science and Power in Indonesia. First Published. Jakarta & Singapore: Equinox Publishing and Institute of Southest Asian Studies Singapore.
Hartoko, Dick (ed.). 1980. Golongan Cendekiawan Mereka yang Berumah di Angin: Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: PT Gramedia.
Heriyanto,  Ariel “Ideological Baggage and Orientations of the Social Science in Indonesia”, in Vedi R. Hadiz and Daniel Dhakidae (eds.), Social Science and Power in Indonesia. First Published. Jakarta, Singapore: Equinox Publishing and Institute of Southest Asian Studies Singapore.
Hesmondhalgh, David. 2007. The Cultural Industries. London: Sage Publication.

Holquist, Michael.2003. Dialogism: Bakhtin and His World. London: Routledge.

Howkins, John. 2001. Creative Economy, How People Make Money from Ideas. City of Westminster, London, UK: Penguin.
Howson, Richard & Kylie Smith (eds.). 2008. Hegemony: Studies in Consensus and Coercion. London: Routledge.

Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2009 tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif.

Jin, Dengjian. 2016. The Great Knowledge Transcendence: The Rise of Western Science and Technology Reframed.London: Springer.

Jones, Phil & Saskia Warren. 2015. Creative Economies, Creative Communities: Rethinking Place, Policy and Practice. Farnham, UK: Ashgate Publishing, Ltd.

Kaplan Louise J. 2008. Culture of Fetishism. London, UK: Palgrave Macmillan.

Keele, Mike Savage. 2013. Social Change And The Middle Classes. London: Routledge.

Kerrigan, Finola Peter Fraser, & Mustafa Ozbilgin. 2007. Arts Marketing. London: Routledge.

Kuhn, Thomas S. 2012. The Structure of Scientific Revolutions: 50th Anniversary Edition. Chicago, USA: University of Chicago Press.
Laksono, PM. 2005. “Social Science and Association”, in Vedi R. Hadiz and Daniel Dhakidae (eds.), Social Science and Power in Indonesia. First Published. Jakarta, Singapore: Equinox Publishing and Institute of Southest Asian Studies Singapore.
Lazzeretti, Luciana. 2012. Creative Industries and Innovation in Europe: Concepts, Measures and Comparative Case Studies. London: Rotledge.

Lundberg, Craig C. & Cheri Ann Young, (2005). “Part Two: The Philosophical Context of Inquiry, in  Foundations for Inquiry: Choices and Trade-offs in the Organizational Sciences. California, USA: Stanford University Press.

McGuigan, Jim. 2009. Cool Capitalism. New York: Pluto Press.

Merton, Thomas. 2005. “Conscience Freedom and Prayer”, in No Man is an Island. Colorado, USA:  Shambhala Publications.

Michelsen, Anders. 2014.What Kind of Economics? on the Topologies of Aesthetic Capitalism”, in Eduardo de la Fuente & Peter Murphy (eds.). Aesthetic Capitalism. Leiden, Netherlands: BRILL Publisher.

Miller, Toby. 2009. “From Creative to Cultural Industries”. Cultural Studies Journal, Volume 23, Issue 1, 2009; 88-99.

Moeran, Brian & Jesper Strandgaard Pedersen. 2011. Negotiating Values in the Creative Industries: Fairs, Festivals and Competitive Events. Cambridge, UK: Cambridge University Press.

O’Connor, Justin, 2000. “The Definition of the ‘Cultural Industries’”. The European Journal of Arts Educatio,  Vol. 2, No. 3, February 2000; 15-27.

Oakley, Kate. 2004.” Not So Cool Britannia The Role of the Creative Industries in Economic Development”.  International Journal of Cultural Studies; March 2004 vol. 7 no. 1; 67-77.
Pang, Laikwan. 2012. Creativity and Its Discontents: China’s Creative Industries and Intellectual Property Rights Offenses. Durham, North Carolina, USA: Duke University Press.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2015 tentang Badan Ekonomi Kreatif.

Porter, Roy (ed.). 2003. The Cambridge History of Science: Volume 4, Eighteenth-Century Science. Cambridge, England: Cambridge University Press.

Potts, Jason.  2011. Creative Industries and Economic Evolution. Cheltenham, UK: Edward Elgar Publishing.

Purwanto, Bambang. 2006. Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?! Cetakan Pertama. Yogyakarta: Ombak.

Ryckman, Richard. 2012. Theories of Personality. Boston, USA: Cengage Learning.

Sachari, Agus. 202. Estetika. Bandung: Penerbit ITB.

Sayuti, Suminto. A. 2014. “Seni dan Pendidikan Seni: Gelanggang Konstruksi Identitas”. Proceeding The 1st International Conference for Arts and Arts Education on Indonesia, Universitas Negeri Yogyakarta, 5-6 Maret.

Schindler, Ronald Jeremiah. 1998. The Frankfurt School Critique of Capitalist Culture: A Critical Theory for Post-Democratic Society and Its Re-Education. Farnham, United Kingdom: Ashgate.

Singh, J. P. 2014. Globalized Arts: The Entertainment Economy and Cultural Identity. New York: Columbia University Press.

Stevenson, Deborah 2013. Cities of Culture: A Global Perspective. London: Routledge.

Sugiharto, Bambang. 2013. Untuk Apa Seni? Bandung: Pustaka Matahari.

Todorov, Tzvetan. 1984.  Mikhail Bakhtin: The Dialogical Principle. Manchester, UK: Manchester University Press.

Toffler, Alvin. 1991. Power Shift: Knowledge, Wealth, and Violence at the Edge of the 21st Century. New York: Bantam Books.

Wahrman,Dror. 1995. Imagining the Middle Class: The Political Representation of Class in Britain, C.1780-1840. Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Wallace, Anthony F. C. 2003.  Essays on Culture Change. Lincoln, Nebraska: University of Nebraska Press.

Warren, Saskia & Phil Jones. 2016. Creative Economies, Creative Communities: Rethinking Place, Policy and Practice. London: Routledge.

Wiggershaus, Rolf. 1995. The Frankfurt School: Its History, Theories, and Political Significance. Cambridge, Massachusetts: MIT Press.

Wolff, Janet. 1993. The Social Production of Art. New York: New York: New York University Press.
Worton, Michael & Judith Still (eds). 1991. Intertextuality: Theories and Practices. Manchester, UK: Manchester University Press.

Zhao, Mei & Kai Yung Tam. 2015. “The Need for Effective Cross-Cultural Communication in Creative Industries: Two Case Studies”, in Teen-Hang Meen, Stephen Prior, Artde Donald Kin-Tak Lam (eds.). Innovation in Design, Communication and Engineering: Proceedings of the 2014 3rd International Conference on Innovation, Communication and Engineering (ICICE 2014), Guiyang, Guizhou, P.R. China, October 17-22, 2014. Boca Raton, Florida, USA: CRC Press.




[1]Disampaikan pada acara Kuliah Tamu, “Pendidikan Seni: Peran dan Kontribusi Bagi Dunia Industri Kreatif”, di Jurusan Seni dan Desain, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang, Tanggal 17 April 2017. Beberapa pokok pikiran ini dikembangkan dari tulisan yang pernah disertakan pada Seminar Nasional Peran Strategis Seni  Budaya dalam Membangun Kota Kreatif, berjudul “Seni dan Industri Kreatif: Risalah Ketika Estetika di Bawah Kuasa Ekonomi Sebagai Panglima”, di Jurusan Seni dan Desain, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang, 29  Oktober 2015.
[2]Dosen Jurusan Pendidikan Seni Rupa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta; Alumni Jurusan Pendidikan Seni Rupa, IKIP Malang. E-mail korespondensi: kasiyan@uny.ac.id
[3] Dengjian Jin, The Great Knowledge Transcendence: The Rise of Western Science and Technology Reframed (London: Springer, 2016).
[4] Meski kemudian dalam waktu yang tak begitu lama, identitas kementerian itu kemudian dihapus. Teks industri kreatif, kemudian dimasukkan dalam sebuah badan yang dinamakan Badan Ekonomi Kreatif, yang dibentuk melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2015 tentang Badan Ekonomi Kreatif.
[5] Rumusan tentang pengkategorisasian subsektor industri kreatif tersebut, adalah merujuk pada konsep industri kreatif yang terutama dikembangkan di Inggris melalui Department of Culture, Media and Sport (DCMS) yang mendirikan Creative Industries Task Force pada tahun 1998.
[6] Sebagai gambaran misalnya, dalam struktur perekonomian Indonesia, industri kreatif diyakini memiliki kontribusi melalui sebuah sistem yang disebut ekonomi kreatif, yang konon katanya mengalami peningkatan sebesar 5% dari tahun ke tahun. Indikatornya dilihat misalnya dari sisi   pendapatan domestik bruto (PDB) ekonomi kreatif, yang tercatat sekitar 185 triliun rupiah di 2010 dan 215 triliun rupiah di 2013. Pada periode yang sama, industri kreatif rata-rata dapat menyerap tenaga kerja sekitar 10,6% dari total angkatan kerja nasional. Pertumbuhan jumlah usaha di sektor industri kreatif pada periode 2010-2013 pun meningkat sebesar 1%. Pada 2014 jumlah industri kreatif yang tercatat adalah sebanyak 5,4 juta usaha. Industri ini menyerap tenaga kerja tidak kurang dari 12 juta orang (Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, 2014:xvii).
[7] Konsep tentang homo sapiens ini, pertama kali digagas oleh Carolus Linnaeus, seorang ahli botani Swedia, yang pada tahun 1735 melalui publikasinya yang berjudul Systema Naturae memberi nama formal spesies manusia itu sebagai wise man atau homo sapiens. Periksa Roy Porter (ed.), The Cambridge History of Science: Volume 4, Eighteenth-Century Science (Cambridge, England: Cambridge University Press, 2003), 206.
[8] C. Gibson & Klocker, N., “Academic Publishing as ‘Creative’ Industry, and Recent Discourses of ‘Creative Economies’: Some Critical Reflections” (Area Journal, Volume 36, 2004, Issue 4; 423).
[9] Brian Moeran & Jesper Strandgaard Pedersen.. Negotiating Values in the Creative Industries: Fairs, Festivals and Competitive Events (Cambridge, England: Cambridge University Press, 2011)

[10] Periksa Deborah Stevenson, Cities of Culture: A Global Perspective (London: Routledge, 2013).
[11] Periksa Creative Nation: Commonwealth Cultural Policy (Canbera: Australia Department of Communications and the Arts, 1994).
[12] Barrowclough, Creative Industries and Developing Countries: Voice, Choice and Economic Growth (London: Routledge, 2012). Periksa juga David Coates & Peter Augustine Lawler (eds.), New Labour in Power (Manchester University Press, 2000).
[13] Konsep Periksa Anthony Giddens, The Third Way (Hoboken, New Jersey, USA: Wiley, 1991).
[14] John Howkins, The Creative Economy: How People Make Money from Ideas (London, UK: Penguin, 2013).
[15] Richard Florida, The Rise of the Creative Class: and How It's Transforming Work, Leisure, Community and Everyday Life (New Zealand: Hazard Press, 2003); Periksa juga Richard Florida, Cities and the Creative Class (London, UK: Routledge, 2005).
[16] David Hesmondhalgh, The Cultural Industries (London: Sage Publication, 2007).
[17] Howkins, 2013.
[18] Alvin Toffler menganalis sejarah perkembangan masyarakat secara mendasar ke dalam tiga gelombang, yakni: ‘gelombang pertama’ (first wave), sebagai masyarakat agraris, yang ditandai dengan model komunikasi dominan yang dilakukan secara lisan, dari mulut ke mulut; ‘gelombang kedua’ (second wave), merupakan masyarakat industrialis, dengan bentuk komunikasi yang dominan dilakukan dengan menggunakan media massa konvensional, yang audiensnya cenderung pasif; dan ‘gelombang ketiga’ (third wave), yakni merupakan masyarakat informatif, dengan bentuk komunikasi yang dilakukan dengan menggunakan teknologi media massa yang semakin canggih dan sifatnya interaktif berbasis web jaringan. Selengkapnya periksa Alvin Toffler, Power Shift: Knowledge, Wealth, and Violence at the Edge of the 21st Century (New York: Bantam Books, 1991). Ada beberapa tonggak historis penting yang mendukung revolusi gelombang ketiga ini, yang terutama ditopang penuh oleh ‘revolusi digital’. Pertama diketemukannya teknologi mainframe computer oleh University of Pennsylvania tahun 1946;  Kedua, diketemukannya microprocessor pada tahun 1971 oleh Ted Hoff di Intel Corporation, sebuah perusahaan Silicon Valley Microelectronics; dipasarkannya microcomputer pada tahun 1975; dan ketiga, diketemukannya microchips oleh Andrew Steven Grove, Chairman and CEO of Intel Corporation pada tahun 1997. Penemuan microchips menyebabkan munculnya apa yang dinamakna ‘Era Tera’, di mana pada era ini, digital bits-per-second dalam teknologi komputer diukur dalam trilyun, bukan lagi dengan mega (millions) atau giga (billions). Temuan ini menyebabkan komunikasi global mengalami ekspansi eksplosif luar biasa mengejutkan, baik dalam kapasitas maupun kecepatan. Berdasarkan akumulatif ‘revolusi digital’ itulah, ‘Revolusi Gelombang Ketiga’, merupakan hasil perpaduan dari perkembangan telekomunikasi, komputerisasi, dan digititalisasi. Selengkapnya periksa M. Budyatna, “Pengembangan Sistem Informasi: Permasalahan dan Prospeknya”, dalam Komunika (Warta Ilmiah Populer Komunikasi dalam Pembangunan), (Vol. 8, No. 1, 2005), 2.
[19] Genealogi berasal dari bahasa Yunani genea: "keturunan" dan logos, "pengetahuan", yang makna harfiahnya adalah kajian tentang keluarga dan penelusuran jalur keturunan serta sejarahnya. Dalam konteks kultur Jawa, genealogi ini dapat disamakan maknanya dengan pemahaman tentang “sangkan paraning dumadi”. Istilah genaologi ini kemudian menjadi salah satu perspektif kritis, yang diperkenalkan oleh Foucault dalam konteks kajian tentang risalah atau sejarah pengetahuan, terutama dalam kaitannya dengan wacana kekuasaan. Perspektif genealogis Foucaultian ini, kiranya menarik sebagai pisau analisis yang dikenakan pada kajian industri kreatif, terutama untuk menelusuri pelbagai lingkar jejaring kuasa yang menyelimutinya, untuk kemudian dijadikan sebagai salah satu pijakan dasar sebagai bekal dalam menyikapinya.
[20] Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, 1972-1977. (New York: Pantheon Books, 1980).
[21] Konsep “intertekstualitas” ini, pertama kali diperkenalkan oleh Julia Kristeva, seorang pemikir poststrukturalis Prancis, dalam buku Revolution in Poetic Language (1974) dan Desire in Language: A Semiotic Approach to Literature And Art (1979). Periksa Michael Worton & Judith Still (eds), Intertextuality: Theories and Practices (Manchester, England: Manchester University Press, 1991). Periksa juga  Graham Allen, Intertextuality (London, Routledge, 2000).
[22] Michael Holquist, Dialogism: Bakhtin and His World (London: Routledge, 2003). Periksa juga Tzvetan Todorov, Mikhail Bakhtin: The Dialogical Principle (Manchester, England: Manchester University Press, 1984).
[23] Luciana Lazzeretti,. 2012. Creative Industries and Innovation in Europe: Concepts, Measures and Comparative Case Studies (London: Rotledge, 2012), 237.
[24] Toby Miller,  “From Creative to Cultural Industries”. Cultural Studies Journal, Volume 23, Issue 1, 2009; 88-9.
[25] Periksa Rolf Wiggershaus, The Frankfurt School: Its History, Theories, and Political Significance (Cambridge, Massachusetts: MIT Press, 1995). Periksa juga Ronald Jeremiah Schindler, The Frankfurt School Critique of Capitalist Culture: A Critical Theory for Post-Democratic Society and Its Re-Education (Farnham, United Kingdom: Ashgate, 1998).
[26] Justin O’Connor, “The Definition of the ‘Cultural Industries’”. The European Journal of arts Education,  Vol. 2, No. 3, February 2000; 15-27.
[27] Lazzeretti,. 2012.
[28] Edensor, Deborah Leslie, Steve Millington, & Norma Rantisi, Spaces of Vernacular Creativity: Rethinking the Cultural Economy (London: Routledge, 2009), 90.
[29] Fenomena kultural semacam inilah yang diistilahkan oleh Gramscy sebagai persoalan “hegemony”. Dalam kultur hegemoni, pelbagai praktik kekuasaan terutama tidak dijalankan dengan modus kekerasan atau coercive, melainkan dengan konsensus kesadaran yang dijalankan secara persuasive. Periksa Richard Howson & Kylie Smith (eds.), Hegemony: Studies in Consensus and Coercion (London: Routledge, 2008).
[30] Susan Galloway & Stewart Dunlop. “A Critique of Definitions of the Cultural and Creative Industries in Public Policy”. International Journal of Cultural Policy, Volume 13, Issue 1, 2007.
[31] Jason Potts, Creative Industries and Economic Evolution (Cheltenham, UK: Edward Elgar Publishing, 2011), 2.
[32] Laikwan Pang, Creativity and Its Discontents: China’s Creative Industries and Intellectual Property Rights Offenses (Durham, North Carolina, USA: Duke University Press, 2002), 2.
[33] Anders Michelsen,What Kind of Economics? On the Topologies of Aesthetic Capitalism”, in Eduardo de la Fuente & Peter Murphy (eds.). Aesthetic Capitalism (Leiden, Netherlands: BRILL Publisher, 2014),63.
[34] Kaplan Louise J. 2008. Culture of Fetishism. London, UK: Palgrave Macmillan.
[35] Finola Peter Fraser Kerrigan & Mustafa Ozbilgin. 2007. Arts Marketing. London: Routledge, 2007), 140.
[36] J. P. Singh, Globalized Arts: The Entertainment Economy and Cultural Identity (New York: Columbia University Press, 2014)
[37] Saskia Warren & Phil Jones, Creative Economies, Creative Communities: Rethinking Place, Policy and Practice (London: Routledge, 2016), 176.
[38] Suminto A. Sayuti, “Seni dan Pendidikan Seni: Gelanggang Konstruksi Identitas”. Proceeding The 1st International Conference for Arts and Arts Education on Indonesia, Universitas Negeri Yogyakarta, 5-6 Maret 2014.
[39] Periksa Mike Savage Keele University (Social Change And The Middle Classes (London: Routledge, 2013). Periksa juga Dror Wahrman, Imagining the Middle Class: The Political Representation of Class in Britain, C.1780-1840 (Cambridge, UK: Cambridge University Press, 1995).
[40] Periksa Dick Hartoko (ed.), Golongan Cendekiawan Mereka yang Berumah di Angin: Sebuah Bunga Rampai (Jakarta: PT Gramedia, 1980).
[41] Periksa Vedi R. Hadiz and Daniel Dhakidae, “Introduction”, in Vedi R. Hadiz and Daniel Dhakidae (eds.), Social Science and Power in Indonesia. First Published (Jakarta, Singapore: Equinox Publishing and Institute of Southest Asian Studies Singapore, 2005), 2, 24.
[42] PM Laksono, “Social Science and Association”, in Vedi R. Haiz and Daniel Dakhidae, 221.
[43] Ariel Heriyanto, “Ideological Baggage and Orientations of the Social Science in Indonesia”, in Vedi R. Hadiz and Daniel Dakhidae, 66.
[44] Periksa Julien Benda, The Treason of the Intellectuals. Traslated by Richard Aldington. Fourth Paperback Printing (Piscataway, New Jersey:Transaction Publishers, 2009). Buku ini terbit pertama kali dalam bahasa Prancis, berjudul La Trahison de Clercs, tahun 1927.
[45] Istilah “matriks disiplin”, diperkenalkan oleh Thomas S. Kuhn, yang maknanya terkait dengan konstruksi “paradigma”, yakni merupakan satu set asumsi, konsepsi, nilai-nilai, dan keyakinan  yang menyediakan kerangka filosofis dan konseptual tertentu dan dipegang bersama untuk menghadirkan pemahaman yang utuh terkait realitas sosial tertentu. Periksa Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions: 50th Anniversary Edition (Chicago, USA: University of Chicago Press, 2012).
[46] Untuk melengkapi terkait dengan risalah keprihatinan dalam konteks ini, di antaranya dapat disampaikan, betapa ironisnya ketika fakta menunjukkan bahwa, sampai hari ini di seluruh perguruan tinggi seni di Indonesia tidak atau belum berhasil melahirkan seorang pun profesor dalam bidang estetika atau filsafat seni, sebagai salah satu bidang kajian yang dapat dikatakan intinya dari keilmuan seni ini.
[47] Suminto A. Sayuti, “Seni dan Pendidikan Seni: Gelanggang Konstruksi Identitas”, Makalah yang disumbangkan untuk The 1st International Conference of Arts and Arts Education on Indonesia, Universitas negeri Yogyakarta, 5-6 Maret 2014.
[48] M. Agus Burhan, “Seni Rupa Kontemporer Indonesia: Mempertimbangkan Tradisi”, dalam Jaringan Makna Tradisi Hingga Kontemporer: Kenangan Purna Bhakti untuk Prof. Soedarso Sp., M.A. (Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta, 2006), 275.
[49] Bambang Purwanto, Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?! Cetakan Pertama (Yogyakarta: Ombak, 2006).
[50]Nurhayati Rahman dan Sri Sukesi Adiwimarta (eds.), Antologi Sastra Daerah Nusantara: Cerita Rakyat Suara Rakyat. Edisi Pertama (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999). Periksa juga Sirtjo Koolholf, “The Sleeping Giant: Dynamics of a Bugis Epic (South Sulawesi, Indonesia)“, in Jan Jansen & Hendrik M. J. Maier (eds), Epic Adventures: Heroic Narrative in the Oral Performance Traditions of Four Continents (Münster-Hamburg-Berlin-Wi Germany: LIT Verlag Münster, 2004).
[51] Meminjam terminologinya A.J. Soehardjo, dalam Pendidikan Seni: Dari Konsepsampai Program. Buku Satu. Cetakan Pertama (Malang: Balai Kajian Seni dan Desain, Jurusan Seni dan Desain, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang, 2006).
[52] William Dixon & David Wilson. A History of Homo Economicus: The Nature of the Moral in Economic Theory (London: Routledge, 2013).
[53] Richard Ryckman, Theories of Personality (Boston, USA: Cengage Learning, 2012).
[54] Bambang Sugiharto, Untuk Apa Seni? (Bandung: Pustaka Matahari, 2013):11.
[55]Art enables us to find ourselves and lose ourselves at the same time”. Periksa Thomas Merton,Conscience Freedom and Prayer”, in No Man is an Island  (Colorado, USA:  Shambhala Publications, 2005).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

cara melihat kata kunci populer di google

Anda dapat melihat kata kunci populer di Google dengan menggunakan Google Trends. Berikut ini adalah cara melihat kata kunci populer di Goog...