BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Batik menjadi salah
satu warisan adhiluhung budaya Jawa. Keunikan dan kekhasan motif dan ragam hias
batik Surakarta yang sarat akan nilai-nilai filosofis menjadikannya sebagai
salah satu warisan budaya yang perlu untuk dijaga dan dikembangkan. Warga
masyarakat Surakarta sampai sekarang ini menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan
lokal, yaitu batik.
Pengakuan ini tidak
hanya datang dari masyarakat Surakata sebagai pelaku budaya dan pemerintah
pusat sebagai pemangku kebijakan negara, tetapi juga dunia internasional. Oleh
karena itu, dunia internasional yang telah menjadi bagian integral dari budaya
tersebut merasa berkepentingan untuk ikut menjaga dan mengembangkan batik. Hal
ini terbukti dengan batik sebagai salah satu warisan budaya pada tanggal 2
Oktober 2009 oleh UNESCO.
Secara historis batik
sebagai produk budaya tradisional dilahirkan dan dikembangkan tidak dapat
dilepaskan dari keberadaan kerajaan-kkerajaan di Nusantara sebagai pemangku
kebudayaan. Apalagi dari sisi ragam hias, batik merupakan ekspresi yang
menyatakan keadaan diri dan lingkungan penciptanya. Berdasarkan pada pandangan
tersebut, batik dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu batik keraton dan batik
pesisiran (Yayasan Harapan Kita/BP 3 TMII, 1997:5). Sebagaimana Djoemana
(1990:8), batik keraton merupakan batik yang berasal dari daerah Surakarta dan
Yogyakarta. lebih lanjut dijelaskan bahwa batik keraton yang tumbuh dan
berkembangan di atas dasar-dasar filosofis kebudayaan Jawa yang mengacu pada
nilai-nilai spiritual dan pemurnian diri, serta memandang manusia dalam konteks
harmoni semesta alam yang tertib, serasi, dan seimbang (harmonis). Oleh karena
itu, batik Surakata begitu terkait dengan kehidupan manusia Jawa sehingga tidak
dapat terpisah dari kehidupan masyarakat Jawa, khususnya kehidupan dan kegiatan
di dalam Keraton Kasunanan Suarakarta.
Secara filosofis, ragam
hias pada batik tradisional Suarakata mengandung pesan dan harapan tulus yang
diyakini akan membawa kebaikan dan kebahagiaan bagai si pamakainya. Ini semua
dilukiskan secara simbolis dan sekaligus merupakan ciri khas batik Surakata
(Djoemena, 1990:10). Artinya, batik tradisional Surakarta dapat dimaknai
sebagai kain yang mengandung makna simbolis dalam ragam hiasnya yang
penggunaannya disesuaikan dengan kagiatan agat yang berlaku berserta suasana
yang melingkupinya.
Batik Surakarta pada
dasarnya bukan semata-mata merupakan wujud ilmu rancang seni yang dilihat
sebagai seni alus, tetapi sekaligus memiliki fungsi sebagai busana tradisional
manusia jawa yang dipakai baik dalam kegiatan yang berkaitan dengan daur hidup
manusia Jawa terutama keluarga dan kerabat keraton dalam kehidupan sehari-hari.
Perjalanan batik
surakarta tidak selurus dengan perkembangan jaman yang menuntut adanya berbagai
inovasi dan modernisasi yang ditandai dengan semakin canggihnya media informasi
dan tumbuh suburnya budaya instan. Usaha batik di Kauman Surakarta
bersangsur-asur mulai merosot dan pengusaha batik banyak yang beralih profesi
meninggalkan usaha batiknya. Kondisi kampung Laweyan pada tahun 1975 sudah
mulai mengalami keterpurukan, walaupun masih tetap memeprtahankan kagiatan
pembatikan (Sekimoto, 2000:271). Namun demikian, pada tahun 1991 kampung
Laweyan tidak legi dapat dijadikan sebgai kampung batik. Sebagaian besar
pengusaha batik telah gulung tikar dan tinggal sedikit pengusaha yang
melanjutkan usahanya dengan skala yang relatif kecil.
Semakin rendahnya minat
pengusa batik dan semakin sulitnya mencari pengrajin batik dari warga
kampung-kampung batik mendatangkan akibat yang signifikan terhadap pengetahuan
tentang bati itu sendiri bagi generasi bangsa, tidak terkecuali masyarakat
Surakarta sebagai ahli waris batik. Batik semakin tidak dikenali sebagai karya
seni yang melalui proses rumit dan memerlukan kesabaran tangan yang terampil.
Hal ini diperparah dengan munculnya pasar bebas di dunia perdagangan yang tidak
mampu menolak hadirnya tekstil printing bermotif batik yang diperjualkanbelikan
dengan harga yang jauh lebih murah dari pada batik tulis Surakarta yang
merupakan produk budaya Jawa yang berbasis kearifan lokal. Apalagi diperparah
dengan ketidakpedulian mengenai motif, jenis, dan makna filosofis dari batik
yang selama ini dikembangkan oleh para leluhur. Apabila keadaan ini dibiarkan
terus berlangsung, maka bukan tidak mungkin
batik Surakarta semakin
termarjinalkan dan tergantikan oleh tekstil printing bermotif batik. Artinya,
walaupun batik telah diakui sebagai warisan budaya UNESCO, apabila
masyarakatnya gagal untuk menjadi pewaris kebudayaan adhiluhung ini, maka batik
sama saja tidak memiliki arti dalam kehidupan bagi masyarakatnya. Oleh karena
itu, diperlukan tindakan dalam upaya meningkatkan pengetahuan menyarakat
tentang batik Surakarta dan menyikapi pengaruh global berkaitan dengan upaya
membangun karakter dan kebanggaan bangsa yang mendunia. Pada titik ini, maka
diperlukan sebuah penelitian mengenai batik Surakarta dalam wilayah kajian
budaya sehingga mampu mengungkap makna batik dalam konteks kekinian.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar
belakang di atas, maka dapat diformulakan sebuah rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Mengapa
terjadi dekonstruksi makna simbolik batik Surakarta?
2. Bagaimana
dekonstruksi makna simbolik batik Surakarta terjadi?
3. Bagaimanakah
implikasi dekonstruksi makna simbolik terhadap perkembangan batik di
Suarakarta?
C.
Tujuan
Penelitian
Pada umunya, nantinya
penelitian ini hendak mengungkap batik Suarakarta barkaitan dengan makna
simbolik yang terkandung di dalamnya. Selain itu, penelitian ini juga nantinya
akan berusaha menemukan rekonstruksi budaya dalam rangka memperkaya budaya
Indonesia sebagai bagian kerja keilmuan kajian budaya dalam upaya mencari dan
mengembangkan ilmu pengetahuan. Tujuan secara khususnya adalah untuk:
1.
Mengetahui, memahami, dan
mendeskripsikan kejelasan tentang sebab terjadinya dekonstruksi makna simbolik
batik Surakarta.
2.
Mengetahui, memahami, dan
mendeskripsikan kejelasan tentang proses dekonstruksi makna simbolik batik
Suarakarta.
3.
Mengetahui, memahami, dan
mendeskripsikan kejelasan tentang implikasi dekonstruksi makna simbolik batik
Surakarta terhadap perkembangan batik Surakarta.
D.
Manfaat
Pada prinsipnya
nantinya manfaat penelitian ini terbagi menjadi 2 pokok, yaitu:
1.
Manfaat
Teoretis
Penelitian ini nantinya
dapat bermanfaat untuk memberikan sumbangan terhadap pengembangan ilmu
pengetahuan tentang batik dalam kazanah kajian budaya. Selain itu, penelitian
ini juga dapat menambahkan dan melengkapi kajian-kajian terdahulu mengenai
batik Jawa dan Nusantara.
2.
Manfaat
Praktis
penelitian ini
diharapkan dapat menambahkan wawasan dan memperluas cara pandang masyarakat
terhadap kearifan lokal yang dimiliki budaya lokalnya di tengah pengaruh dunia
global. Selain itu, penelitian ini juga dapat dimanfaatkan oleh para pengambil
kebijakan publik berkaitan dengan kehidupan sosial budaya, khususnya para
pengrajin batik dan masyarakat pecinta batik.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.
Kajian
Teori
1.
Deskonstruksi
dan Semotika
a.
Teori
Deskonstruksi
Teori dekonstruksi yang
dipelopori oleh Derrida pada intinya menolak tiga tradisi berpikir
strukturalis, yaitu logosentrisme, falosentrisme, dan oposisi biner (Takahashi,
2008:50). Penolakan terhadap logosentrime merupakan penolakan cara pandang
dalam tradisi berpikir Barat yeng manggap akal, pikiran, logos sebagai pusat
kebenaran. Suatu realitas dipandang representasi dari konsepnya, alasannya,
bahasa atau teks tidak dapat dikatakan cermin atau representasi makna, konsep,
atau realitas. Akan tetapi, bahasa lisan dapat diterima sebagai logosentrisme.
Bahasa tilisan, teks, tidak dapat diterima karena baha tulisan ototmatis telah
terbebas dari konteks atau narasumbernya. Akibatnya, tulisan, teks, otomatis
menjadi tanda sendiri, yang bukan mewakili atau makna, tatapi menciptakan maknanya
sendiri, dalam hubungan dengan tanda-tanda lain yang berada bersamanya. Oleh
karena itu, tanda-tanda tersebut menjadi bebas yang dimaknai dan otomatis akan
memunculkan makna yang beragam, plural.
Penolakan terhadap
falosentrisme adalah cara pandang dalam tradisi berpikir barat yang berpijak
pada tatanan maskulin dan klaimnya bahwa yang maskulin itu bersumber pada diri
sendiri dan merupakan agensi yang utuh. Akibatnya katgori feminim sebagai
sesuatu yang disingkirkan secara
konstitutif dalam filsafat dan menjadikan perempuan bukan suatu esensi pada
diri sendiri, melainkan apa yang dibuang atau disingkirkan.
Penolakan terhadap
oposisi pasangan adalah pola pikir dimana realitas sesungguhnya tidak dapat
ditentukan atau dipastikan sebagai sesuatu yang berada dalam kategori dualitas
belaka. Sesungguhnya terdapat realitas-realitas yang lain yang mengantarainya
atau yang sama sekali tidak dapat ditentukan. Realitas adalah tudak dualitas
dikotomis, melainkan pluralitas posisi, beragam posisi, yang tidak dapat dipastikan
atau ditentukan dan tidak dinominasikan, sentralistis melainkan menyebar dan
sejajar.
b.
Teori
Semiotika
Semiotika yang berinduk
pada teori Pierce sebagai semiotika komunikasi visual yang kemudian dikenal
sebagai logika budaya (Walker, 2010:159). Semiotika adalah disiplin yang
mengkaji segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berbohong (Eco, 2009:7).
Semiotika sebagai proses komunikasi untuk mengkaji seluruh proses kultural.
Proses komunikasi tersebut terjadilah respon interpretatif di dalam si penerima
atas sinyal dari sebuah seumber, walaupun penerima dalam komunikasi itu
berperan sebagai saluran.
Eco (dalam Ibrahim,
2007:277) mengatakan bahwa busana merupakan alat semiotik atau mesin komunikasi
yang dipandnag memiliki suatu fungsi komunikatif. Busana sebagai alat
komunikasi dimaknai sebagai perwujudan interaksi sosial melalui pesan. Selain
itu, busana dapat dipandnag sebagai bentuk komunikasi artefaktual.
2.
Deskonstruksi
Makna Simbolik
Konsep dekonstruksi
makna simbolik terdiri atas tiga unsur, yaitu dekonstruksi, makna, dan
simbolik. Ketiganya masing-masing dijelaskan sebagai berikut. Pertama,
dekonstruksi merupakan gagasan atau pemaknaan lain dari makna yang telah ada
sebelumnya (liyan). Hal ini dapat diartikan bahwa dekonstruksi adalah suatu
pemikiran mengenai pengakuan (affirmation) terhadap orang lain (Takahashi,
2008:180). Secara leksikal, “dekonstruksi” diartikan sebagai pembongkaran atas
konstruksi dan/atau pemaknaan ulang atas teks (termasuk teks budaya) untuk
mengungkap makna-makna yang tertunda dari teks itu sendiri (Pitana, 2010:23).
Piliang (2003:247), juga mengatakan hal yang serupa bahwa “setiap proses
dekonstruksi harus diikuti dengan rekonstruksi”. Dekonstruksi lahir sebagai
kebangkitan posmodernisme yang dipelopori oleh Derrida melalui keseluruhan
pemikiran yang dimiliki posmodern.
Paradigma ini menjadi
paradigma yang secara kritis berhadapan dengan sistem (atau paradigma) berpikir
sebelumnya sebagai tradisi berpikir Barat (strukturalisme) (Pitana, 2010:23).
Dekonstruksi yang dipelopori oleh Derrida menolak tiga tradisi berpikir
strukturalis, yaitu (1) logosentrisme: (2) falosentrisme; dan (3) oposisi biner
(Takahashi, 2008:50-82). Penolakan terhadap ketiga pemikiran tersebut dapat
disimpulkan bahwa Derrida menolak kesatuan antara bentuk (penanda) dengan
petanda (isi) yang disebut metafisika kehadiran (metaphysics of presence) (Lubis, 2004:97, Norris, 2009:9-10). Lebih
tegas, Norris (2009: 13-14) menjelaskan tentang dekonstruksi sebagai berikut.
... dekonstruksi
adalah menghidupkan kekuatan-kekuatan tersembunyi yang turut membangun teks.
Teks tidak lagi dipandang sebagai tatanan makna yang utuh, melainkan arena
pergulatan yang terbuka, atau tepatnya, permainan antara upaya penataan dengan
chaos, antara perdamaian dengan peperangan ...
Lebih jauh, Derrida
menjelaskan dekonstruksi dengan menolak “metafisika kehadiran (metaphysics of
presence)”, yaitu menolak adanya makna mutlak atau tunggal. Istilah metafisika
yang diungkapkan Derrida menyebut “mengada sebagai kehadiran”. Dekonstruksi
dalam perspektif Derrida, penanda (singnifier) tidak berkaitan langsung dengan
petanda (signified). Penanda dan petanda tidak berkorespondensi satu-satu,
namun melihat tanda sebagai struktur perbedaan. Tanda harus dibaca dalam
pengertian “disilang”. Dalam hal ini, tanda tidak pernah memiliki makna yang
mutlak sama, melainkan makna mencul pada konteks berbeda-beda. Dalam perspektif
Derrida, setiap makna transenden ilusif, karena kehadiran muncul dalam “oposisi
biner” konseptual seperti materi atau roh, subjek atau objek, topeng atau
kebenaran, tubuh atau jiwa, teks atau makna, interior atau eksterior,
representasi atau kehadiran, kenampakan atau esensi (Sarup, 2011:45-59).
Istilah pertama dianggap superior. Istilah inilah milik logos, yaitu kebenaran
(kebenaran dari kebenaran) (Piliang, 2003:125).
Dekonstruksi tidak
mengandaikan adanya makna objektif (benar), maka yang menjadi fokusnya bukan
pada pencarian makna objektif, melainkan pencarian makna baru melalui kebebasan
penafsiran (Lubis, 2004:103). Dalam hal ini, dekonstruksi Derrida tidak hanya
menunjuk perubahan sebagai akibat dari kehancuran metafisika kehadiran (makna
final), bahkan disebutkan bahwa tidak ada “autentitas murni” yang dibayangkan seperti
Levi-Strauss (Sarup, 2011:57), melainkan bersifat terbuka yang harus dibaca
atau dimaknai ulang (Lubis, 2004).
Kedua, makna merupakan
hasil interpretatif manusia atas objek. “Makna” diartikan sebagai sesuatu
pengertian yang diberikan kepada suatu objek. Subjek dan objek adalah term-term
yang korelatif atau saling menghubungkan diri satu sama lain (Pitana, 2010:24).
Dari sudut pandangan
semiotika, makna adalah unit kultural. Segala sesuatu yang telah didefinisikan
dan ditetapkan secara kultural dapat juga disebut sebagai sebuah entitas (Eco,
2009:97). Selain itu, makna merupakan bentukan yang sarat dengan nilai, yang mengakomodasikan
kepentingan para pihak yang terkait (Abdullah, 2006:8). Makna adalah sesuatu
yang sangat kontekstual dalam setiap kubudayaan. Sebagaimana Cavallaro
(2004:20-42), makna adalah produk dari situasi-situasi yang terkait (contingent
situation). Makna adalah produk dari suatu perbedaan tanda yang terkait dengan
tanda-tanda lain. Makna bukan sesuatu yang terberi, melainkan konstruksi budaya
dalam produksi tanda-tanda secara sosial. Artinya, apabila ada perubahan sosial
budaya, maka makna akan berubah sesuai dengan kepentingan para pemakna secara
interpretatif.
Ketiga, simbolik, yaitu
berangkat dari asumsi antoropologi dalam interpretivisme simbolik, manusia
adalah hewan pertama pencarian makna yang menggunakan simbol (Arif, 2010:113).
Menurut Geertz (dalam Sutrisno dan Putranto, 2005:212), budaya adalah lengkung
simbolis. Pemahaman Arif (2010:110-113) terhadap simbol melalui pemikiran
Geertz mengenai kebudayaan seperti berikut. Penglihatan terhadap kebudayaan
dalam sistem sosial adalah sebuah “pencarian makna”. Kebudayaan yang dipahami
oleh Geertz dapat dibagi menjadi empat, yaitu (1) sistem keteraturan dari makna
dan simbol; (2) suatu pola makna yang ditransmisikan secara historis; (3) suatu
peralatan simbolik untuk mengontorol perilaku; dan (4) suatu sistem simbol dan
makna. Melalui keempat pemahaman ini, kebudayaan didefinisikan sebagai fenomena
sosial atas sistem simbol dan makna antar-subjek yang dimiliki bersama.
3.
Batik
Surakarta
Sejauh ini, asal-usul
batik belum secara pasti diketahui secara arkeologis. Pada umumnya, batik
dipahami sebagai sebuah teknik celup kain yang menghias permukaan tekstil
dengan cara menahan pewarna (resist dye). Teknik ini dapat dijumpai di benua
Afrika, Amerika, Asia dan Eropa, bahkan sering dianggap sebagai salah satu
tahapan pencapaian dalam peradaban manusia yang universal. Secara leksikal,
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:146) menjelaskan arti kata batik adalah
“kain bergambar yang pembuatannya secara khusus dengan menuliskan atau
menerakan malam pada kain itu, kemudian pengolahannya melalui proses tertentu”,
dari celup sampai dijemur.
Dalam konteks Batik Surakarta,
batik berarti gambar yang ditulis pada kain dengan mempergunakan malam sebagai
media sekaligus penutup kain (wax
registered method). Lebih jauh, Widiastuti (1993:17) menjelaskan bahwa batik Nusantara memiliki dua keunikan, yaitu pertama, pergunaan canting sebagai alat untuk membubuhkan malam atau lilin pada bagian kain yang tidak diwarnai; dan kedua, motif disempurnakan dengan penggunaan canting sebagai alat melukis dan malam sebagai perintang warna yang kemudian dinamakan membatik untuk menghasilkan kain atau batik dengan mutu yang tinggi.
registered method). Lebih jauh, Widiastuti (1993:17) menjelaskan bahwa batik Nusantara memiliki dua keunikan, yaitu pertama, pergunaan canting sebagai alat untuk membubuhkan malam atau lilin pada bagian kain yang tidak diwarnai; dan kedua, motif disempurnakan dengan penggunaan canting sebagai alat melukis dan malam sebagai perintang warna yang kemudian dinamakan membatik untuk menghasilkan kain atau batik dengan mutu yang tinggi.
Batik Surakarta
lazimnya dikategorikan sebagai batik keraton, yaitu batik yang tumbuh dan
berkembang berdasarkan filosofi kebudayaan Jawa, yang mengacu pada nilai-nilai
spiritual dan pemurnian diri, serta memandang manusia dalam konteks harmoni
semesta alam yang tertib, serasi, dan seimbang (harmonis) (Yayasan Harakan
Kita//BP 3 TMII, 1997:5). Hal ini dapat diamati dari ragam hias dan tata warna
Batik Surakarta yang mengandung makna simbolis yang berdasar pada falsafah
hidup manusia Jawa. Sebagaimana ungkapan oleh PB IX mengenai busana, “Nyandhang panganggo hiku dadyo srono
hamemangun wataking manungso jobo-jero”, yang artinya, ‘memakai busana dan
perlengkapannya itu menandakan watak lahir dan batin dari si pemakai’ (dalam
Pujiyanto, 2010:13).
Dari adanya pandangan-pandangan
tersebut, dapat dipahami bahwa Batik Surakarta merupakan pantulan falsafah
hidup Jawa yang dilandasi kedisiplinan spiritual, misalnya pengendalian diri,
tata cara (etika), dan keselarasan (hormoni) yang bermakna sangat penting bagi
manusia Jawa. Bahkan, dari sisi ragam hias, tata warna, dan tata pakai, secara
simbolik Batik Surakarta mengandung makna pesan dan harapan yang tulus demi
terciptanya kebaikan dan kebahagiaan bagi si pemakai (Djoemena, 1990:10).
Dengan demikian, Batik Surakarta menjadi bagian penting dalam kehidupan manusia
Jawa yang tidak dapat terpisah dari daur hidupnya.
Berdasarkan pemaparan
di atas, dapat dirumuskan konsep dekonstruksi makna simbolik Batik Surakarta
sebagai berikut: dekonstruksi makna simbolik Batik Surakarta adalah
pembongkaran terhadap makna-makna yang telah dilekatkan atas Batik Surakarta
yang tumbuh dan berkembang dalam wilayah budaya Jawa, khususnya di Surakarta
yang perwujudannya mengandung makna-makna yang mengacu pada nilai-nilai
spiritual dan pemurnian diri, serta memandang manusia dalam konteks harmoni
semesta alam yang tertib, serasi, dan seimbang (harmonis).
B.
Penelitian
yang Relevan
Kajian tentang Batik Surakarta
yang dilakukan dalam disiplin ilmu Kajian Budaya merupakan kajian yang belum
pernah dilakukan sebelumnya. Kajian ini tidak ditujukan untuk memahami Batik Surakarta
sebagai sebuah perwujudan fisik dari ilmu seni batik. Dalam kajian ini, Batik Surakarta
merupakan objek material dari kajian tentang dekonstruksi makna simbolik Batik Surakarta.
Kendala penelitian yang memfokuskan kajian pada Batik Surakarta untuk
membongkar atau membuat pemaknaan kembali Batik Surakarta adalah terlalu
kompleksnya permasalahan yang menyertai dan mempengaruhinya. Kondisi ini dapat
dimengerti karena banyaknya simbolisasi dan falsafah hidup manusia Jawa yang
tersimpan dalam perwujudan Batik Surakarta. Kenyataan ini menunjukkan bahwa
kajian ini tidak bisa hanya mengandalkan pengetahuan seni batik secara umum
dan/atau perwujudan batik semata-mata, tetapi harus dikembangkan lebih lanjut
pada pemahaman konsepkonsep yang menyertai dan teori-teori yang digunakan.
Dengan demikian, kajian pustaka ini diarahkan bukan hanya pada pustaka-pustaka
hasil penelitian batik saja, tetapi juga pada pustaka-pustaka yang dapat
digunakan untuk membangun konsep dan aplikasi teori.
Hasil penelitian
Yayasan Harapan Kita/BP-3 TMII (1997) tentang latar belakang kehidupan bangsa
Indonesia, adat-istiadat, dan seni budaya yang diterbitkan dalam bentuk buku
dengan judul Indonesia Indah telah jelas mengungkapkan konsep seni batik yang
memiliki pengertian sebagai citra budaya Indonesia yang memiliki keunikan. Dari
pustaka ini, setidaknya diperoleh informasi keberadaan dua jenis batik yang ada
di Jawa, yakni batik keraton dan batik pesisiran. Batik Surakarta dikelompokkan
ke dalam batik keraton, yaitu batik yang tumbuh dan berkembang berdasarkan
filosofi kebudayaan Jawa yang mengacu pada nilai-nilai spiritual dan pemurnian
diri, serta memandang manusia dalam konteks harmoni semesta alam yang tertib,
serasi, dan seimbang (harmonis).
Konsep yang berupa
lingkaran konsentris yang menempatkan batik keraton sebagai ungkapan sebuah
falsafah hidup kebudayaan Jawa hampir selalu dirujuk oleh penelitian-penelitian
tentang batik keraton. Setidaknya, konsep lingkaran konsentris yang
menghasilkan seni batik yang diungkapkan oleh Yayasan Harapan Kita/BP 3 TMII
cukup banyak memberikan gambaran tentang konsep dasar orientasi pola seni batik.
Sebuah penelitian yang
lebih fokus pada mitos dan makna batik oleh Nian S. Djoemena (1990) yang
diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul “Ungkapan Sehelai Batik: Its Mystery and Meaning” mengungkapkan
mitos dan makna ragam hias batik Nusantara yang diklasifikasikan berdasarkan
wilayah geografis. Walaupun karya penelitian ini bukan penelitian yang
difokuskan kepada Batik Surakarta, setidak-tidaknya mitos dan makna ragam hias
batik yang dimiliki masing-masing daerah termasuk Surakarta dapat membantu untuk
membangun konsep makna simbolis batik dalam penelitian ini.
Hasil penelitian lain
yang lebih fokus pada Batik Surakarta adalah sebuah tesis 15 karya Widiastuti
(1993) yang berjudul “Pergeseran pada Batik Surakarta: Periode Tahun
1950-1990”. Widiastuti cukup jelas dan detail dalam mengungkap pergeseran
perwujudan Batik Surakarta, baik dari sisi teknis, maupun dari sisi ragam hias
dan tata warna. Penelitian tersebut menempatkan batik surakarta sebagai objek
seni-budaya yang memiliki makna simbolik sebagai kain atau textile. Hasil penelitian ini tidak
hanya dapat dijadikan data sekunder dalam kajian ini, namun melengkapi juga
pemahaman konsep tentang Batik Surakarta yang telah diperoleh dari pustaka
karya Yayasan Harapan Kita/ BP 3 TMII.
Selanjutnya, sebuah
hasil penelitian yang lebih fokus tentang batik keraton Kasunanan dan
Mangkunegaran oleh Pujiyanto (2010) yang diterbitkan dalam bentuk buku dengan
judul Batik Keraton Kasunanan dan Mangkunegaran
Surakarta: Sebuah Tinjauan Historis, Sosial Budaya, dan Estetika. Pustaka ini cukup jelas dan detail dalam mengungkap sejarah perkembangan teknik, ragam hias, dan makna filosofis batik Keraton Kasunanan dan Mangkunegaran. Informasi tersebut dapat dijadikan data sekunder dalam kajian ini, selain untuk melengkapi pemahaman konsep mengenai batik Keraton Kasunanan dan Mangkunegaran.
Surakarta: Sebuah Tinjauan Historis, Sosial Budaya, dan Estetika. Pustaka ini cukup jelas dan detail dalam mengungkap sejarah perkembangan teknik, ragam hias, dan makna filosofis batik Keraton Kasunanan dan Mangkunegaran. Informasi tersebut dapat dijadikan data sekunder dalam kajian ini, selain untuk melengkapi pemahaman konsep mengenai batik Keraton Kasunanan dan Mangkunegaran.
Dari empat hasil
penelitian tentang batik tersebut, dapat dicatat dua hal penting. Pertama,
keempat kajian di atas jelas tidak dilakukan dalam wilayah ilmu Kajian Budaya.
Kedua, keempat kajian di atas memiliki kesamaan dalam memposisikan Batik Surakarta
dan makna yang melekat sebagai seni-budaya tradisional yang berkaitan dengan
kegiatan adat manusia Jawa sehingga Batik Surakarta yang selama ini dianggap
sebagai hasil karya seni budaya Jawa tanpa sadar 16 hanya dipandang sebagai
peninggalan budaya.
BAB III
METODE
PENELITIAN
A.
Rancangan
Penelitian
Penelitian ini
merupakan penelitian bidang ilmu Kajian Budaya dengan melibatkan berbagai
disiplin untuk memberikan kemungkinan yang sangat luas atas data-data yang
diperoleh dari objek penelitian. Berbagai bentuk dari objek budaya yang selama
ini tidak diperoleh perhatian dengan mekanisme penelitian diharapkan akan
terungkap secara ilmiah (Ratna, 2010:189). Atas upaya ilmu Kajian Budaya
tersebut, ciri yang dimilikinya sebagai ilmu adalah multidisiplin serta
interdisiplin untuk mengetahui dan memahami objek penelitian (Ratna, 2010:169).
Berdasar pada prinsip
tersebut, paradigma Kajian Budaya berada di wilayah posmodernisme dengan sistem
berpikir kritis (Pitana, 2010: 46). Oleh karena itu, aspek-aspek kebudayaanlah
yang lebih berperanan, demikian juga teori-teori kontemporer kebudayaanlah yang
harus digunakan (Ratna, 2010:171). Di samping itu, ontologis ilmu Kajian Budaya
menyatakan bahwa segala sesuatu terfragmen sebagai realitas budaya dipandang
juga dianalisis dalam dunia kontekstual. Artinya, Kajian Budaya mementingkan
perspektif emic. Di titik ini, suatu gejala dan fenomena budaya meliputi makna
dan proses interpretasi pelaku budaya (Faisal dalam Bungin, 2010:3-17).
Penelitian ilmu Kajian Budaya dilakukan untuk melihat makna di balik data yang
diperoleh secara holistik untuk merumuskan masalah penelitian itu sendiri
(Bungin, 2010:VI).
Atas tujuan tersebut,
penelitian ini menggunakan metode analisis data kualitatif dan teknik analisis
data secara deskriptif dan interpretatif yang menggunakan pendekatan hermeneutik.
Secara umum, penelitian yang menggunakan analisis data kualitatif didefinisikan
sebagai penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata dan/atau
ungkapan-ungkapan, termasuk di dalamnya tindakan-tindakan yang dapat diamati
dengan menekankan pengembangan konsep dan pemahaman pola yang ada pada data;
memperhatikan setting dan orang secara holistik sehingga bukan sebagai
variabel-variabel terpisah; cenderung bersifat humanistik; pemahaman makna yang
menjadi dasar tindakan partisipan dan memahami keadaan dalam lingkup yang
terbatas (Pitana, 2010:46).
Dalam penelitian ini,
teori dekonstruksi dari Derrida diposisikan sebagai teori utama untuk menjawab
ketiga rumusan masalah penelitian yang dalam penggunaannya dibantu dengan teori
semiotika komunikasi visual dari Umberto Eco yang digunakan secara eklektik.
Penelitian ini
menggunakan pendekatan atau sudut pandangan filosofis hermeneutik. Hermeneutika
filosofis disebut Gardamer merupakan usaha melampaui perdebatan objektivisme
dan relativisme terhadap ilmu pengetahuan modern. Dalam ilmu-ilmu tentang
manusia, kebenaran bergerak sesuai dengan gerak manusia pengamat dan manusia
yang diamati dalam lintasan ruang dan waktu, karena kondisi objek dan subjek
selalu berubah dengan latar ruang dan waktunya. Lebih lanjut Ricoeur (dalam
Kaplan, 2010: 31) mengatakan “Hermeneutika melaju dari pemahaman sebelumnya
tentang hakikat sesuatu yang coba dipahaminya dengan menginterpretasikannya”.
Dalam hal ini, interpretasi adalah sebuah ingatan akan makna (a recollection of
meaning), suatu kerja untuk menguraikan makna yang tersembunyi dan terdistorsi
dalam makna jelas, dan membuka berbagai tingkat makna yang diisyaratkan dalam
makna harfiah (Batik Solo sebagai teks) (Kaplan, 2010:26-41).
Interpretasi berfungsi
untuk menjelaskan mengapa segala hal itu seperti demikian, karena manusia tidak
pernah berada di permulaan proses kebenaran (pemaknaan) dan karena manusia
menjadi bagian dari wilayah kebenaran (tatanan makna historis) tertentu yang
diasumsikan sebelumnya, seperti yang diungkapkan Ricoeur (dalam Kaplan,
2010:64). Dalam pengertian tersebut, teks budaya (Batik Solo) harus
diinterpretasikan secara terbuka untuk mengetahui, memahami, dan
mendeskripsikan makna yang tersembunyi di baliknya, sehingga penelitian ini dapat
menemukan makna simbolik Batik Solo dalam konteks kekinian.
B.
Lokasi
Penelitian
Lokasi penelitian
adalah wilayah administrasi pemerintahan Kota Surakarta, Propinsi Jawa Tengah.
Pemilihan Batik Solo sebagai objek kajian menjadikan Kota Solo sebagai lokasi penelitian
berdasarkan pertimbangan berikut.
Pertama, alasan
filosofis, yaitu (1) Batik Solo merupakan simbol ekspresi kosmologi manusia
Jawa yang berpusat pada Keraton Surakarta; dan (2) Batik Solo diyakini memiliki
makna simbolis dalam daur hidupnya. Kedua, alasan historis, yaitu (1) Batik
Solo lahir dan tumbuh di Kota Solo sejak berdirinya Keraton Surakarta sampai
sekarang ini; (2) hingga tidak dapat dipisahkan dari sejarah Kota Solo; dan (3)
Batik Solo merupakan budaya adiluhung Jawa dan menjadi bagian warisan budaya
takbenda oleh UNESCO yang harus dilindungi dan dilestari. Ketiga, alasan sosial
ekonomis, yaitu (1) Kota Solo telah merupakan pusat industri batik hingga
sekarang; dan (2) Batik Solo merupakan sumber daya sosial ekonomi Kota Solo
terutama sektor pariwisata dan fashion dalam konteks ekonomi kreatif.
C.
Jenis
dan Sumber Data
Dalam penelitian ini
data yang digunakan adalah data tentang makna simbolik Batik Solo sebagai
busana tradisional Jawa dan fashion yang ditampilkan dalam bentuk naratif dan
bersifat kualitatif yang terdiri atas dua sumber data. Pertama, sumber data
tidak tertulis, yaitu berupa kata-kata, tindakan, ungkapan, dan peristiwa yang
terjadi dalam konteks Batik Solo yang dalam hal ini digunakan sebagai sumber
data utama (primer). Sumber data utama ini diperoleh dari pengamatan langsung
terhadap simbolisasi Batik Solo dan wawancara dengan informan-informan terpilih
yang dicatat melalui catatan tertulis, perekaman suara, dan/atau pengambilan
gambar melalui kamera.
Kedua, sumber data
tertulis, yaitu berupa buku-buku, berita media cetak, jurnal-jurnal,
dokumen-dokumen, dan hasil-hasil penelitian terdahulu yang terkait dengan Batik
Solo dan makna sebagai busana tradisional dan fashion yang dalam hal ini
digunakan sebagai sumber data sekunder. Sumber data tertulis ini diperoleh dari
studi dokumen dan studi kepustakaan.
D.
Teknik
Pemilihan Informan
Informan-informan yang
diwawancarai dalam kerja penelitian ini dikelompokkan menjadi tiga. Pertama,
informan dari dalam pihak pengrajin dan pengusaha Batik Solo, yaitu orang-orang
berkaitan dengan proses pembuatan dan perdagangan Batik Solo; kedua informan
ahli, yaitu pemerhati atau orang yang memiliki pengetahuan mengenai busana
tradisional Batik Solo, termasuk di dalamnya informan dari pihak kalangan
Keraton Surakarta dan Mangkunegaran, dan Pemerintah Kota Surakarta; dan ketiga
informan publik, yaitu informan yang berasal dari masyarakat umum.
E.
Instrumen
Penelitian
Dalam mengumpulkan data
penelitian ini, peneliti menggunakan tiga alat utama, yaitu: (1) pedoman
wawancara yang digunakan sebagai panduan dalam wawancara (lihat Lampiran 2:
Pedoman Wawancara); (2) alat perekam gambar (kamera dan scanner) yang digunakan
untuk memperoleh dada visual dari objek amatan, dan alat perekam suara yang
digunakan dalam upaya wawancara terhadap informan; dan (3) alat tulis yang
digunakan untuk mencatat data-data yang diperoleh dalam proses wawancara,
observasi, dan kepustakaan.
F.
Teknik
Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data
yang dilakukan dalam penelitian ini lebih mengutamakan penggunaan teknik
observasi dan wawancara mendalam, di samping studi kepustakaan. Dengan
menggunakan teknik tersebut kajian terhadap makna simbolik busana tradisional
Batik Solo membuka peluang baca ulang untuk menemukan sesuatu yang
disembunyikan di dalamnya. Di samping itu, berkembangnya kereativitas dalam
menafsirkan “teks” dilakukan dengan diamati hingga diperoleh pemahaman yang
lebih mendalam tentang makna simbolik Batik Solo. Atas tujuan tersebut, teknik
yang dilakukan dijelaskan seperti berikut.
Pertama, observasi,
yaitu pengamatan lapangan langsung terhadap fenomenafenomena yang terjadi atas
Batik Solo khususnya di Kota Solo baik dalam sehari-hari maupun acara khusus.
Observasi dilakukan untuk mengempulkan data yang berada dalam pelilaku pelaku
budaya di balik fenomena-fenomena sosial karena secara filosofis masyarakat
dipahami sebagai pengalaman langsung (Simmel dalam Ratna, 2010:221).
Kedua, wawancara, yaitu
suatu percakapan untuk memburu makna yang tersembunyi di balik kata-kata dari
informan sehingga sesuatu dari fenomena sosial menjadi dapat dipahami (Faisal
dalam Bungin, 2010: 67). Wawancara dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui
pendapat, persepsi, perasaan, pengetahuan, pengalaman, dan penginderaan
seseorang (Pitana, 2010: 53).
Ketiga, studi dokumen,
yaitu pengumpulan data yang bersumber dari dokumen yang dibedakan menjadi dua
macam, yaitu; (1) dokumen formal, dokumen yang dikeluarkan lembaga tertentu,
dan (2) dokumen informal, dokumen yang merupakan catatan pribadi. Dengan kata
lain, pengumpulan data dari noninsani, yaitu (1) tulisan, seperti berita media
cetak, surat-surat, laporan resmi, catatan harian, katalog, dan/atau notulen;
dan (2) gambar dan lambang, foto-foto, dan audio visual. Artinya, teknik
dokumentasi ini digunakan untuk mengumpulkan data teks dalam naskah-naskah yang
berupa dokumen. Data teks yang diperoleh dari studi dokumen ini diposisikan
sebagai data sekunder penelitian (Pitana, 2010:54, Ratna, 2010:233-238).
Keempat, studi
perpustakaan, yaitu suatu kajian terhadap buku-buku, jurnal-jurnal, dan
hasil-hasil penelitian terdahulu dalam kaitannya Batik Solo. Studi perpustakaan
digunakan tidak hanya mencari data dan/atau pengertian tentang Batik Solo yang
selama ini dikembangkan dalam konsep-konsep oleh penelitian terdahulu, tetapi
juga untuk memperoleh data yang berfungsi sebagai pelengkapan data yang
diperoleh lapangan dan wawancara.
G.
Teknik
Analisis Data
Teknik analisis data
dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif, yaitu analisis yang
memfokuskan pada alasan-alasan maknawi (reason) dari para pelaku sesuatu
tindakan atau praktik sosial itu sendiri sesuai dengan dunia pemahaman pelaku
itu sendiri (kontekstual). Oleh karenanya, upaya analisis data kualitatif
disebut upaya understanding of understanding oleh Geertz (Faisal dalam Bungin,
2010: 67).
Prosedur yang ditempuh
dalam analisis ini bukanlah linier, tetapi tahapan-tahapannya tidaklah dapat
dipisahkan. Secara sederhana, logika yang digunakan dalam analisis data
kualitatif bertitik tolak dari “khusus ke umum”, berbentuk siklus. Mula-mula,
hasil pengumpulan data direduksi (data reduction) melalui mengikhtisarkan dan
memilah-milah ke dalam satuan konsep-konsep, kategori-kategori, dan tema
penelitian. Kemudian, hasil reduksi data diorganisasikan ke dalam bentuk
sinopsis, tabel, matriks (display data) sehingga memudahkan upaya pemaparan dan
penegasan simpulan (conculution drawing and verification). Proses tersebut
bukan sesuatu “sekali jadi” melainkan berinteraktif, secara bolak balik (Faisal
dalam Bungin, 2010: 68-71, Pitana, 2010:56).
H.
Teknik
Penyajian Hasil Analisis Data
Penyajian data dengan
teknik analisis data kualitatif merupakan proses interpretasi, yaitu proses
pemberian makna. Teknik penyajian hasil analisis adalah dengan menggunakan
gabungan cara informal dan formal. Cara informal adalah penyajian hasil
analisis secara naratif. Dengan kalimat lain, keseluruhan data yang diperoleh
dalam proses kerja penelitian dideskripsikan dan diberikan arti kemudian
disajikan secara naratif. Adapun cara formal adalah penyajian hasil analisis
dalam bentuk gambar, bagan, ataupun foto-foto (Pitana, 2010:57). Cara formal
ini digunakan lebih untuk tujuan mendukung kualitas narasi hasil analisis dalam
penelitian ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Bungin, B. (2010). Metode Penelitian. IKAPI. Jakarta.
Code, L. (Ed.). (2010). Feminist Interpretations of
Hans-Georg Gadamer. Penn State Press.
Djoemena, Nian S. 1990. Batik dan mitra. Djambatan.
Eco, U. (1976). A theory of semiotics (Vol. 217). Indiana University Press.
Kita, Yayasan Harapan 1995. "Indonesia
Indah 1."
Kudo, N., Wolff, B., Sekimoto, T., Schreiner, E. P., Yoneda, Y., Yanagida,
M., ... & Yoshida, M. (1998). Leptomycin B inhibition of signal-mediated
nuclear export by direct binding to CRM1. Experimental cell research, 242.
Levent, E., Gökşen, D., ÖZYüREK, A. R., Darcan,
Ş., Çoker, M., GüVEN, H., & Parlar, A. (2002). Stiffness of the abdominal
aorta in obese children. Journal
of Pediatric Endocrinology and Metabolism, 15.
Nakagawa, Masato, et al. (2008)..
"Generation of induced pluripotent stem cells without Myc from mouse and
human fibroblasts." Nature
biotechnology 26.1
Norris, P. (2001). Digital divide: Civic engagement,
information poverty, and the Internet worldwide. Cambridge University
Press.
Percy, Walker. (2000). The message in the bottle: How
queer man is, how queer language is, and what one has to do with the other.
Macmillan.
Piliang, Y. A., & Adlin, A. (2003). Hipersemiotika: tafsir cultural
studies atas matinya makna. Jalasutra.
Pitana, I. G., & Diarta, I. K. S. (2009).
Pengantar ilmu pariwisata. Yogyakarta:
Andi.
Ratna, N. K. (2010). Metodologi Penelitian Kajian Budaya
dan Ilmu Sosial Humaniora pada Umumnya. Pustaka Pelajar.
Simatupang, T. M., Victoria Sandroto, I., &
Hari Lubis, S. B. (2004). Supply chain coordination in a fashion firm. Supply Chain Management: An
International Journal, 9.
Sutrisno, M., Sumarjo, J., Ali, M., Simatupang,
G. R., Widayat, R., Pujiyanto, P., & Marwati, S. (2010). PROSIDING SEMINAR
NASIONAL ESTETIKA NUSANTARA. ISI
Press untuk Program Pascasarjana ISI Surakarta.
Widyastuti, P., Talitha, T., &
Setyaningrum, R. (2016). Beban Kerja Fisik Karyawan Industri Batik Tradisional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar