Senin, 06 November 2017
Senin, 21 Agustus 2017
CONTOH PROPOSAL SKRIPSI, TESIS, DISERTASI, (KUALITATIF HERMENEUTIKA)
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Batik menjadi salah
satu warisan adhiluhung budaya Jawa. Keunikan dan kekhasan motif dan ragam hias
batik Surakarta yang sarat akan nilai-nilai filosofis menjadikannya sebagai
salah satu warisan budaya yang perlu untuk dijaga dan dikembangkan. Warga
masyarakat Surakarta sampai sekarang ini menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan
lokal, yaitu batik.
Pengakuan ini tidak
hanya datang dari masyarakat Surakata sebagai pelaku budaya dan pemerintah
pusat sebagai pemangku kebijakan negara, tetapi juga dunia internasional. Oleh
karena itu, dunia internasional yang telah menjadi bagian integral dari budaya
tersebut merasa berkepentingan untuk ikut menjaga dan mengembangkan batik. Hal
ini terbukti dengan batik sebagai salah satu warisan budaya pada tanggal 2
Oktober 2009 oleh UNESCO.
Secara historis batik
sebagai produk budaya tradisional dilahirkan dan dikembangkan tidak dapat
dilepaskan dari keberadaan kerajaan-kkerajaan di Nusantara sebagai pemangku
kebudayaan. Apalagi dari sisi ragam hias, batik merupakan ekspresi yang
menyatakan keadaan diri dan lingkungan penciptanya. Berdasarkan pada pandangan
tersebut, batik dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu batik keraton dan batik
pesisiran (Yayasan Harapan Kita/BP 3 TMII, 1997:5). Sebagaimana Djoemana
(1990:8), batik keraton merupakan batik yang berasal dari daerah Surakarta dan
Yogyakarta. lebih lanjut dijelaskan bahwa batik keraton yang tumbuh dan
berkembangan di atas dasar-dasar filosofis kebudayaan Jawa yang mengacu pada
nilai-nilai spiritual dan pemurnian diri, serta memandang manusia dalam konteks
harmoni semesta alam yang tertib, serasi, dan seimbang (harmonis). Oleh karena
itu, batik Surakata begitu terkait dengan kehidupan manusia Jawa sehingga tidak
dapat terpisah dari kehidupan masyarakat Jawa, khususnya kehidupan dan kegiatan
di dalam Keraton Kasunanan Suarakarta.
Secara filosofis, ragam
hias pada batik tradisional Suarakata mengandung pesan dan harapan tulus yang
diyakini akan membawa kebaikan dan kebahagiaan bagai si pamakainya. Ini semua
dilukiskan secara simbolis dan sekaligus merupakan ciri khas batik Surakata
(Djoemena, 1990:10). Artinya, batik tradisional Surakarta dapat dimaknai
sebagai kain yang mengandung makna simbolis dalam ragam hiasnya yang
penggunaannya disesuaikan dengan kagiatan agat yang berlaku berserta suasana
yang melingkupinya.
Batik Surakarta pada
dasarnya bukan semata-mata merupakan wujud ilmu rancang seni yang dilihat
sebagai seni alus, tetapi sekaligus memiliki fungsi sebagai busana tradisional
manusia jawa yang dipakai baik dalam kegiatan yang berkaitan dengan daur hidup
manusia Jawa terutama keluarga dan kerabat keraton dalam kehidupan sehari-hari.
Perjalanan batik
surakarta tidak selurus dengan perkembangan jaman yang menuntut adanya berbagai
inovasi dan modernisasi yang ditandai dengan semakin canggihnya media informasi
dan tumbuh suburnya budaya instan. Usaha batik di Kauman Surakarta
bersangsur-asur mulai merosot dan pengusaha batik banyak yang beralih profesi
meninggalkan usaha batiknya. Kondisi kampung Laweyan pada tahun 1975 sudah
mulai mengalami keterpurukan, walaupun masih tetap memeprtahankan kagiatan
pembatikan (Sekimoto, 2000:271). Namun demikian, pada tahun 1991 kampung
Laweyan tidak legi dapat dijadikan sebgai kampung batik. Sebagaian besar
pengusaha batik telah gulung tikar dan tinggal sedikit pengusaha yang
melanjutkan usahanya dengan skala yang relatif kecil.
Semakin rendahnya minat
pengusa batik dan semakin sulitnya mencari pengrajin batik dari warga
kampung-kampung batik mendatangkan akibat yang signifikan terhadap pengetahuan
tentang bati itu sendiri bagi generasi bangsa, tidak terkecuali masyarakat
Surakarta sebagai ahli waris batik. Batik semakin tidak dikenali sebagai karya
seni yang melalui proses rumit dan memerlukan kesabaran tangan yang terampil.
Hal ini diperparah dengan munculnya pasar bebas di dunia perdagangan yang tidak
mampu menolak hadirnya tekstil printing bermotif batik yang diperjualkanbelikan
dengan harga yang jauh lebih murah dari pada batik tulis Surakarta yang
merupakan produk budaya Jawa yang berbasis kearifan lokal. Apalagi diperparah
dengan ketidakpedulian mengenai motif, jenis, dan makna filosofis dari batik
yang selama ini dikembangkan oleh para leluhur. Apabila keadaan ini dibiarkan
terus berlangsung, maka bukan tidak mungkin
batik Surakarta semakin
termarjinalkan dan tergantikan oleh tekstil printing bermotif batik. Artinya,
walaupun batik telah diakui sebagai warisan budaya UNESCO, apabila
masyarakatnya gagal untuk menjadi pewaris kebudayaan adhiluhung ini, maka batik
sama saja tidak memiliki arti dalam kehidupan bagi masyarakatnya. Oleh karena
itu, diperlukan tindakan dalam upaya meningkatkan pengetahuan menyarakat
tentang batik Surakarta dan menyikapi pengaruh global berkaitan dengan upaya
membangun karakter dan kebanggaan bangsa yang mendunia. Pada titik ini, maka
diperlukan sebuah penelitian mengenai batik Surakarta dalam wilayah kajian
budaya sehingga mampu mengungkap makna batik dalam konteks kekinian.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar
belakang di atas, maka dapat diformulakan sebuah rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Mengapa
terjadi dekonstruksi makna simbolik batik Surakarta?
2. Bagaimana
dekonstruksi makna simbolik batik Surakarta terjadi?
3. Bagaimanakah
implikasi dekonstruksi makna simbolik terhadap perkembangan batik di
Suarakarta?
C.
Tujuan
Penelitian
Pada umunya, nantinya
penelitian ini hendak mengungkap batik Suarakarta barkaitan dengan makna
simbolik yang terkandung di dalamnya. Selain itu, penelitian ini juga nantinya
akan berusaha menemukan rekonstruksi budaya dalam rangka memperkaya budaya
Indonesia sebagai bagian kerja keilmuan kajian budaya dalam upaya mencari dan
mengembangkan ilmu pengetahuan. Tujuan secara khususnya adalah untuk:
1.
Mengetahui, memahami, dan
mendeskripsikan kejelasan tentang sebab terjadinya dekonstruksi makna simbolik
batik Surakarta.
2.
Mengetahui, memahami, dan
mendeskripsikan kejelasan tentang proses dekonstruksi makna simbolik batik
Suarakarta.
3.
Mengetahui, memahami, dan
mendeskripsikan kejelasan tentang implikasi dekonstruksi makna simbolik batik
Surakarta terhadap perkembangan batik Surakarta.
D.
Manfaat
Pada prinsipnya
nantinya manfaat penelitian ini terbagi menjadi 2 pokok, yaitu:
1.
Manfaat
Teoretis
Penelitian ini nantinya
dapat bermanfaat untuk memberikan sumbangan terhadap pengembangan ilmu
pengetahuan tentang batik dalam kazanah kajian budaya. Selain itu, penelitian
ini juga dapat menambahkan dan melengkapi kajian-kajian terdahulu mengenai
batik Jawa dan Nusantara.
2.
Manfaat
Praktis
penelitian ini
diharapkan dapat menambahkan wawasan dan memperluas cara pandang masyarakat
terhadap kearifan lokal yang dimiliki budaya lokalnya di tengah pengaruh dunia
global. Selain itu, penelitian ini juga dapat dimanfaatkan oleh para pengambil
kebijakan publik berkaitan dengan kehidupan sosial budaya, khususnya para
pengrajin batik dan masyarakat pecinta batik.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.
Kajian
Teori
1.
Deskonstruksi
dan Semotika
a.
Teori
Deskonstruksi
Teori dekonstruksi yang
dipelopori oleh Derrida pada intinya menolak tiga tradisi berpikir
strukturalis, yaitu logosentrisme, falosentrisme, dan oposisi biner (Takahashi,
2008:50). Penolakan terhadap logosentrime merupakan penolakan cara pandang
dalam tradisi berpikir Barat yeng manggap akal, pikiran, logos sebagai pusat
kebenaran. Suatu realitas dipandang representasi dari konsepnya, alasannya,
bahasa atau teks tidak dapat dikatakan cermin atau representasi makna, konsep,
atau realitas. Akan tetapi, bahasa lisan dapat diterima sebagai logosentrisme.
Bahasa tilisan, teks, tidak dapat diterima karena baha tulisan ototmatis telah
terbebas dari konteks atau narasumbernya. Akibatnya, tulisan, teks, otomatis
menjadi tanda sendiri, yang bukan mewakili atau makna, tatapi menciptakan maknanya
sendiri, dalam hubungan dengan tanda-tanda lain yang berada bersamanya. Oleh
karena itu, tanda-tanda tersebut menjadi bebas yang dimaknai dan otomatis akan
memunculkan makna yang beragam, plural.
Penolakan terhadap
falosentrisme adalah cara pandang dalam tradisi berpikir barat yang berpijak
pada tatanan maskulin dan klaimnya bahwa yang maskulin itu bersumber pada diri
sendiri dan merupakan agensi yang utuh. Akibatnya katgori feminim sebagai
sesuatu yang disingkirkan secara
konstitutif dalam filsafat dan menjadikan perempuan bukan suatu esensi pada
diri sendiri, melainkan apa yang dibuang atau disingkirkan.
Penolakan terhadap
oposisi pasangan adalah pola pikir dimana realitas sesungguhnya tidak dapat
ditentukan atau dipastikan sebagai sesuatu yang berada dalam kategori dualitas
belaka. Sesungguhnya terdapat realitas-realitas yang lain yang mengantarainya
atau yang sama sekali tidak dapat ditentukan. Realitas adalah tudak dualitas
dikotomis, melainkan pluralitas posisi, beragam posisi, yang tidak dapat dipastikan
atau ditentukan dan tidak dinominasikan, sentralistis melainkan menyebar dan
sejajar.
b.
Teori
Semiotika
Semiotika yang berinduk
pada teori Pierce sebagai semiotika komunikasi visual yang kemudian dikenal
sebagai logika budaya (Walker, 2010:159). Semiotika adalah disiplin yang
mengkaji segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berbohong (Eco, 2009:7).
Semiotika sebagai proses komunikasi untuk mengkaji seluruh proses kultural.
Proses komunikasi tersebut terjadilah respon interpretatif di dalam si penerima
atas sinyal dari sebuah seumber, walaupun penerima dalam komunikasi itu
berperan sebagai saluran.
Eco (dalam Ibrahim,
2007:277) mengatakan bahwa busana merupakan alat semiotik atau mesin komunikasi
yang dipandnag memiliki suatu fungsi komunikatif. Busana sebagai alat
komunikasi dimaknai sebagai perwujudan interaksi sosial melalui pesan. Selain
itu, busana dapat dipandnag sebagai bentuk komunikasi artefaktual.
2.
Deskonstruksi
Makna Simbolik
Konsep dekonstruksi
makna simbolik terdiri atas tiga unsur, yaitu dekonstruksi, makna, dan
simbolik. Ketiganya masing-masing dijelaskan sebagai berikut. Pertama,
dekonstruksi merupakan gagasan atau pemaknaan lain dari makna yang telah ada
sebelumnya (liyan). Hal ini dapat diartikan bahwa dekonstruksi adalah suatu
pemikiran mengenai pengakuan (affirmation) terhadap orang lain (Takahashi,
2008:180). Secara leksikal, “dekonstruksi” diartikan sebagai pembongkaran atas
konstruksi dan/atau pemaknaan ulang atas teks (termasuk teks budaya) untuk
mengungkap makna-makna yang tertunda dari teks itu sendiri (Pitana, 2010:23).
Piliang (2003:247), juga mengatakan hal yang serupa bahwa “setiap proses
dekonstruksi harus diikuti dengan rekonstruksi”. Dekonstruksi lahir sebagai
kebangkitan posmodernisme yang dipelopori oleh Derrida melalui keseluruhan
pemikiran yang dimiliki posmodern.
Paradigma ini menjadi
paradigma yang secara kritis berhadapan dengan sistem (atau paradigma) berpikir
sebelumnya sebagai tradisi berpikir Barat (strukturalisme) (Pitana, 2010:23).
Dekonstruksi yang dipelopori oleh Derrida menolak tiga tradisi berpikir
strukturalis, yaitu (1) logosentrisme: (2) falosentrisme; dan (3) oposisi biner
(Takahashi, 2008:50-82). Penolakan terhadap ketiga pemikiran tersebut dapat
disimpulkan bahwa Derrida menolak kesatuan antara bentuk (penanda) dengan
petanda (isi) yang disebut metafisika kehadiran (metaphysics of presence) (Lubis, 2004:97, Norris, 2009:9-10). Lebih
tegas, Norris (2009: 13-14) menjelaskan tentang dekonstruksi sebagai berikut.
... dekonstruksi
adalah menghidupkan kekuatan-kekuatan tersembunyi yang turut membangun teks.
Teks tidak lagi dipandang sebagai tatanan makna yang utuh, melainkan arena
pergulatan yang terbuka, atau tepatnya, permainan antara upaya penataan dengan
chaos, antara perdamaian dengan peperangan ...
Lebih jauh, Derrida
menjelaskan dekonstruksi dengan menolak “metafisika kehadiran (metaphysics of
presence)”, yaitu menolak adanya makna mutlak atau tunggal. Istilah metafisika
yang diungkapkan Derrida menyebut “mengada sebagai kehadiran”. Dekonstruksi
dalam perspektif Derrida, penanda (singnifier) tidak berkaitan langsung dengan
petanda (signified). Penanda dan petanda tidak berkorespondensi satu-satu,
namun melihat tanda sebagai struktur perbedaan. Tanda harus dibaca dalam
pengertian “disilang”. Dalam hal ini, tanda tidak pernah memiliki makna yang
mutlak sama, melainkan makna mencul pada konteks berbeda-beda. Dalam perspektif
Derrida, setiap makna transenden ilusif, karena kehadiran muncul dalam “oposisi
biner” konseptual seperti materi atau roh, subjek atau objek, topeng atau
kebenaran, tubuh atau jiwa, teks atau makna, interior atau eksterior,
representasi atau kehadiran, kenampakan atau esensi (Sarup, 2011:45-59).
Istilah pertama dianggap superior. Istilah inilah milik logos, yaitu kebenaran
(kebenaran dari kebenaran) (Piliang, 2003:125).
Dekonstruksi tidak
mengandaikan adanya makna objektif (benar), maka yang menjadi fokusnya bukan
pada pencarian makna objektif, melainkan pencarian makna baru melalui kebebasan
penafsiran (Lubis, 2004:103). Dalam hal ini, dekonstruksi Derrida tidak hanya
menunjuk perubahan sebagai akibat dari kehancuran metafisika kehadiran (makna
final), bahkan disebutkan bahwa tidak ada “autentitas murni” yang dibayangkan seperti
Levi-Strauss (Sarup, 2011:57), melainkan bersifat terbuka yang harus dibaca
atau dimaknai ulang (Lubis, 2004).
Kedua, makna merupakan
hasil interpretatif manusia atas objek. “Makna” diartikan sebagai sesuatu
pengertian yang diberikan kepada suatu objek. Subjek dan objek adalah term-term
yang korelatif atau saling menghubungkan diri satu sama lain (Pitana, 2010:24).
Dari sudut pandangan
semiotika, makna adalah unit kultural. Segala sesuatu yang telah didefinisikan
dan ditetapkan secara kultural dapat juga disebut sebagai sebuah entitas (Eco,
2009:97). Selain itu, makna merupakan bentukan yang sarat dengan nilai, yang mengakomodasikan
kepentingan para pihak yang terkait (Abdullah, 2006:8). Makna adalah sesuatu
yang sangat kontekstual dalam setiap kubudayaan. Sebagaimana Cavallaro
(2004:20-42), makna adalah produk dari situasi-situasi yang terkait (contingent
situation). Makna adalah produk dari suatu perbedaan tanda yang terkait dengan
tanda-tanda lain. Makna bukan sesuatu yang terberi, melainkan konstruksi budaya
dalam produksi tanda-tanda secara sosial. Artinya, apabila ada perubahan sosial
budaya, maka makna akan berubah sesuai dengan kepentingan para pemakna secara
interpretatif.
Ketiga, simbolik, yaitu
berangkat dari asumsi antoropologi dalam interpretivisme simbolik, manusia
adalah hewan pertama pencarian makna yang menggunakan simbol (Arif, 2010:113).
Menurut Geertz (dalam Sutrisno dan Putranto, 2005:212), budaya adalah lengkung
simbolis. Pemahaman Arif (2010:110-113) terhadap simbol melalui pemikiran
Geertz mengenai kebudayaan seperti berikut. Penglihatan terhadap kebudayaan
dalam sistem sosial adalah sebuah “pencarian makna”. Kebudayaan yang dipahami
oleh Geertz dapat dibagi menjadi empat, yaitu (1) sistem keteraturan dari makna
dan simbol; (2) suatu pola makna yang ditransmisikan secara historis; (3) suatu
peralatan simbolik untuk mengontorol perilaku; dan (4) suatu sistem simbol dan
makna. Melalui keempat pemahaman ini, kebudayaan didefinisikan sebagai fenomena
sosial atas sistem simbol dan makna antar-subjek yang dimiliki bersama.
3.
Batik
Surakarta
Sejauh ini, asal-usul
batik belum secara pasti diketahui secara arkeologis. Pada umumnya, batik
dipahami sebagai sebuah teknik celup kain yang menghias permukaan tekstil
dengan cara menahan pewarna (resist dye). Teknik ini dapat dijumpai di benua
Afrika, Amerika, Asia dan Eropa, bahkan sering dianggap sebagai salah satu
tahapan pencapaian dalam peradaban manusia yang universal. Secara leksikal,
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:146) menjelaskan arti kata batik adalah
“kain bergambar yang pembuatannya secara khusus dengan menuliskan atau
menerakan malam pada kain itu, kemudian pengolahannya melalui proses tertentu”,
dari celup sampai dijemur.
Dalam konteks Batik Surakarta,
batik berarti gambar yang ditulis pada kain dengan mempergunakan malam sebagai
media sekaligus penutup kain (wax
registered method). Lebih jauh, Widiastuti (1993:17) menjelaskan bahwa batik Nusantara memiliki dua keunikan, yaitu pertama, pergunaan canting sebagai alat untuk membubuhkan malam atau lilin pada bagian kain yang tidak diwarnai; dan kedua, motif disempurnakan dengan penggunaan canting sebagai alat melukis dan malam sebagai perintang warna yang kemudian dinamakan membatik untuk menghasilkan kain atau batik dengan mutu yang tinggi.
registered method). Lebih jauh, Widiastuti (1993:17) menjelaskan bahwa batik Nusantara memiliki dua keunikan, yaitu pertama, pergunaan canting sebagai alat untuk membubuhkan malam atau lilin pada bagian kain yang tidak diwarnai; dan kedua, motif disempurnakan dengan penggunaan canting sebagai alat melukis dan malam sebagai perintang warna yang kemudian dinamakan membatik untuk menghasilkan kain atau batik dengan mutu yang tinggi.
Batik Surakarta
lazimnya dikategorikan sebagai batik keraton, yaitu batik yang tumbuh dan
berkembang berdasarkan filosofi kebudayaan Jawa, yang mengacu pada nilai-nilai
spiritual dan pemurnian diri, serta memandang manusia dalam konteks harmoni
semesta alam yang tertib, serasi, dan seimbang (harmonis) (Yayasan Harakan
Kita//BP 3 TMII, 1997:5). Hal ini dapat diamati dari ragam hias dan tata warna
Batik Surakarta yang mengandung makna simbolis yang berdasar pada falsafah
hidup manusia Jawa. Sebagaimana ungkapan oleh PB IX mengenai busana, “Nyandhang panganggo hiku dadyo srono
hamemangun wataking manungso jobo-jero”, yang artinya, ‘memakai busana dan
perlengkapannya itu menandakan watak lahir dan batin dari si pemakai’ (dalam
Pujiyanto, 2010:13).
Dari adanya pandangan-pandangan
tersebut, dapat dipahami bahwa Batik Surakarta merupakan pantulan falsafah
hidup Jawa yang dilandasi kedisiplinan spiritual, misalnya pengendalian diri,
tata cara (etika), dan keselarasan (hormoni) yang bermakna sangat penting bagi
manusia Jawa. Bahkan, dari sisi ragam hias, tata warna, dan tata pakai, secara
simbolik Batik Surakarta mengandung makna pesan dan harapan yang tulus demi
terciptanya kebaikan dan kebahagiaan bagi si pemakai (Djoemena, 1990:10).
Dengan demikian, Batik Surakarta menjadi bagian penting dalam kehidupan manusia
Jawa yang tidak dapat terpisah dari daur hidupnya.
Berdasarkan pemaparan
di atas, dapat dirumuskan konsep dekonstruksi makna simbolik Batik Surakarta
sebagai berikut: dekonstruksi makna simbolik Batik Surakarta adalah
pembongkaran terhadap makna-makna yang telah dilekatkan atas Batik Surakarta
yang tumbuh dan berkembang dalam wilayah budaya Jawa, khususnya di Surakarta
yang perwujudannya mengandung makna-makna yang mengacu pada nilai-nilai
spiritual dan pemurnian diri, serta memandang manusia dalam konteks harmoni
semesta alam yang tertib, serasi, dan seimbang (harmonis).
B.
Penelitian
yang Relevan
Kajian tentang Batik Surakarta
yang dilakukan dalam disiplin ilmu Kajian Budaya merupakan kajian yang belum
pernah dilakukan sebelumnya. Kajian ini tidak ditujukan untuk memahami Batik Surakarta
sebagai sebuah perwujudan fisik dari ilmu seni batik. Dalam kajian ini, Batik Surakarta
merupakan objek material dari kajian tentang dekonstruksi makna simbolik Batik Surakarta.
Kendala penelitian yang memfokuskan kajian pada Batik Surakarta untuk
membongkar atau membuat pemaknaan kembali Batik Surakarta adalah terlalu
kompleksnya permasalahan yang menyertai dan mempengaruhinya. Kondisi ini dapat
dimengerti karena banyaknya simbolisasi dan falsafah hidup manusia Jawa yang
tersimpan dalam perwujudan Batik Surakarta. Kenyataan ini menunjukkan bahwa
kajian ini tidak bisa hanya mengandalkan pengetahuan seni batik secara umum
dan/atau perwujudan batik semata-mata, tetapi harus dikembangkan lebih lanjut
pada pemahaman konsepkonsep yang menyertai dan teori-teori yang digunakan.
Dengan demikian, kajian pustaka ini diarahkan bukan hanya pada pustaka-pustaka
hasil penelitian batik saja, tetapi juga pada pustaka-pustaka yang dapat
digunakan untuk membangun konsep dan aplikasi teori.
Hasil penelitian
Yayasan Harapan Kita/BP-3 TMII (1997) tentang latar belakang kehidupan bangsa
Indonesia, adat-istiadat, dan seni budaya yang diterbitkan dalam bentuk buku
dengan judul Indonesia Indah telah jelas mengungkapkan konsep seni batik yang
memiliki pengertian sebagai citra budaya Indonesia yang memiliki keunikan. Dari
pustaka ini, setidaknya diperoleh informasi keberadaan dua jenis batik yang ada
di Jawa, yakni batik keraton dan batik pesisiran. Batik Surakarta dikelompokkan
ke dalam batik keraton, yaitu batik yang tumbuh dan berkembang berdasarkan
filosofi kebudayaan Jawa yang mengacu pada nilai-nilai spiritual dan pemurnian
diri, serta memandang manusia dalam konteks harmoni semesta alam yang tertib,
serasi, dan seimbang (harmonis).
Konsep yang berupa
lingkaran konsentris yang menempatkan batik keraton sebagai ungkapan sebuah
falsafah hidup kebudayaan Jawa hampir selalu dirujuk oleh penelitian-penelitian
tentang batik keraton. Setidaknya, konsep lingkaran konsentris yang
menghasilkan seni batik yang diungkapkan oleh Yayasan Harapan Kita/BP 3 TMII
cukup banyak memberikan gambaran tentang konsep dasar orientasi pola seni batik.
Sebuah penelitian yang
lebih fokus pada mitos dan makna batik oleh Nian S. Djoemena (1990) yang
diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul “Ungkapan Sehelai Batik: Its Mystery and Meaning” mengungkapkan
mitos dan makna ragam hias batik Nusantara yang diklasifikasikan berdasarkan
wilayah geografis. Walaupun karya penelitian ini bukan penelitian yang
difokuskan kepada Batik Surakarta, setidak-tidaknya mitos dan makna ragam hias
batik yang dimiliki masing-masing daerah termasuk Surakarta dapat membantu untuk
membangun konsep makna simbolis batik dalam penelitian ini.
Hasil penelitian lain
yang lebih fokus pada Batik Surakarta adalah sebuah tesis 15 karya Widiastuti
(1993) yang berjudul “Pergeseran pada Batik Surakarta: Periode Tahun
1950-1990”. Widiastuti cukup jelas dan detail dalam mengungkap pergeseran
perwujudan Batik Surakarta, baik dari sisi teknis, maupun dari sisi ragam hias
dan tata warna. Penelitian tersebut menempatkan batik surakarta sebagai objek
seni-budaya yang memiliki makna simbolik sebagai kain atau textile. Hasil penelitian ini tidak
hanya dapat dijadikan data sekunder dalam kajian ini, namun melengkapi juga
pemahaman konsep tentang Batik Surakarta yang telah diperoleh dari pustaka
karya Yayasan Harapan Kita/ BP 3 TMII.
Selanjutnya, sebuah
hasil penelitian yang lebih fokus tentang batik keraton Kasunanan dan
Mangkunegaran oleh Pujiyanto (2010) yang diterbitkan dalam bentuk buku dengan
judul Batik Keraton Kasunanan dan Mangkunegaran
Surakarta: Sebuah Tinjauan Historis, Sosial Budaya, dan Estetika. Pustaka ini cukup jelas dan detail dalam mengungkap sejarah perkembangan teknik, ragam hias, dan makna filosofis batik Keraton Kasunanan dan Mangkunegaran. Informasi tersebut dapat dijadikan data sekunder dalam kajian ini, selain untuk melengkapi pemahaman konsep mengenai batik Keraton Kasunanan dan Mangkunegaran.
Surakarta: Sebuah Tinjauan Historis, Sosial Budaya, dan Estetika. Pustaka ini cukup jelas dan detail dalam mengungkap sejarah perkembangan teknik, ragam hias, dan makna filosofis batik Keraton Kasunanan dan Mangkunegaran. Informasi tersebut dapat dijadikan data sekunder dalam kajian ini, selain untuk melengkapi pemahaman konsep mengenai batik Keraton Kasunanan dan Mangkunegaran.
Dari empat hasil
penelitian tentang batik tersebut, dapat dicatat dua hal penting. Pertama,
keempat kajian di atas jelas tidak dilakukan dalam wilayah ilmu Kajian Budaya.
Kedua, keempat kajian di atas memiliki kesamaan dalam memposisikan Batik Surakarta
dan makna yang melekat sebagai seni-budaya tradisional yang berkaitan dengan
kegiatan adat manusia Jawa sehingga Batik Surakarta yang selama ini dianggap
sebagai hasil karya seni budaya Jawa tanpa sadar 16 hanya dipandang sebagai
peninggalan budaya.
BAB III
METODE
PENELITIAN
A.
Rancangan
Penelitian
Penelitian ini
merupakan penelitian bidang ilmu Kajian Budaya dengan melibatkan berbagai
disiplin untuk memberikan kemungkinan yang sangat luas atas data-data yang
diperoleh dari objek penelitian. Berbagai bentuk dari objek budaya yang selama
ini tidak diperoleh perhatian dengan mekanisme penelitian diharapkan akan
terungkap secara ilmiah (Ratna, 2010:189). Atas upaya ilmu Kajian Budaya
tersebut, ciri yang dimilikinya sebagai ilmu adalah multidisiplin serta
interdisiplin untuk mengetahui dan memahami objek penelitian (Ratna, 2010:169).
Berdasar pada prinsip
tersebut, paradigma Kajian Budaya berada di wilayah posmodernisme dengan sistem
berpikir kritis (Pitana, 2010: 46). Oleh karena itu, aspek-aspek kebudayaanlah
yang lebih berperanan, demikian juga teori-teori kontemporer kebudayaanlah yang
harus digunakan (Ratna, 2010:171). Di samping itu, ontologis ilmu Kajian Budaya
menyatakan bahwa segala sesuatu terfragmen sebagai realitas budaya dipandang
juga dianalisis dalam dunia kontekstual. Artinya, Kajian Budaya mementingkan
perspektif emic. Di titik ini, suatu gejala dan fenomena budaya meliputi makna
dan proses interpretasi pelaku budaya (Faisal dalam Bungin, 2010:3-17).
Penelitian ilmu Kajian Budaya dilakukan untuk melihat makna di balik data yang
diperoleh secara holistik untuk merumuskan masalah penelitian itu sendiri
(Bungin, 2010:VI).
Atas tujuan tersebut,
penelitian ini menggunakan metode analisis data kualitatif dan teknik analisis
data secara deskriptif dan interpretatif yang menggunakan pendekatan hermeneutik.
Secara umum, penelitian yang menggunakan analisis data kualitatif didefinisikan
sebagai penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata dan/atau
ungkapan-ungkapan, termasuk di dalamnya tindakan-tindakan yang dapat diamati
dengan menekankan pengembangan konsep dan pemahaman pola yang ada pada data;
memperhatikan setting dan orang secara holistik sehingga bukan sebagai
variabel-variabel terpisah; cenderung bersifat humanistik; pemahaman makna yang
menjadi dasar tindakan partisipan dan memahami keadaan dalam lingkup yang
terbatas (Pitana, 2010:46).
Dalam penelitian ini,
teori dekonstruksi dari Derrida diposisikan sebagai teori utama untuk menjawab
ketiga rumusan masalah penelitian yang dalam penggunaannya dibantu dengan teori
semiotika komunikasi visual dari Umberto Eco yang digunakan secara eklektik.
Penelitian ini
menggunakan pendekatan atau sudut pandangan filosofis hermeneutik. Hermeneutika
filosofis disebut Gardamer merupakan usaha melampaui perdebatan objektivisme
dan relativisme terhadap ilmu pengetahuan modern. Dalam ilmu-ilmu tentang
manusia, kebenaran bergerak sesuai dengan gerak manusia pengamat dan manusia
yang diamati dalam lintasan ruang dan waktu, karena kondisi objek dan subjek
selalu berubah dengan latar ruang dan waktunya. Lebih lanjut Ricoeur (dalam
Kaplan, 2010: 31) mengatakan “Hermeneutika melaju dari pemahaman sebelumnya
tentang hakikat sesuatu yang coba dipahaminya dengan menginterpretasikannya”.
Dalam hal ini, interpretasi adalah sebuah ingatan akan makna (a recollection of
meaning), suatu kerja untuk menguraikan makna yang tersembunyi dan terdistorsi
dalam makna jelas, dan membuka berbagai tingkat makna yang diisyaratkan dalam
makna harfiah (Batik Solo sebagai teks) (Kaplan, 2010:26-41).
Interpretasi berfungsi
untuk menjelaskan mengapa segala hal itu seperti demikian, karena manusia tidak
pernah berada di permulaan proses kebenaran (pemaknaan) dan karena manusia
menjadi bagian dari wilayah kebenaran (tatanan makna historis) tertentu yang
diasumsikan sebelumnya, seperti yang diungkapkan Ricoeur (dalam Kaplan,
2010:64). Dalam pengertian tersebut, teks budaya (Batik Solo) harus
diinterpretasikan secara terbuka untuk mengetahui, memahami, dan
mendeskripsikan makna yang tersembunyi di baliknya, sehingga penelitian ini dapat
menemukan makna simbolik Batik Solo dalam konteks kekinian.
B.
Lokasi
Penelitian
Lokasi penelitian
adalah wilayah administrasi pemerintahan Kota Surakarta, Propinsi Jawa Tengah.
Pemilihan Batik Solo sebagai objek kajian menjadikan Kota Solo sebagai lokasi penelitian
berdasarkan pertimbangan berikut.
Pertama, alasan
filosofis, yaitu (1) Batik Solo merupakan simbol ekspresi kosmologi manusia
Jawa yang berpusat pada Keraton Surakarta; dan (2) Batik Solo diyakini memiliki
makna simbolis dalam daur hidupnya. Kedua, alasan historis, yaitu (1) Batik
Solo lahir dan tumbuh di Kota Solo sejak berdirinya Keraton Surakarta sampai
sekarang ini; (2) hingga tidak dapat dipisahkan dari sejarah Kota Solo; dan (3)
Batik Solo merupakan budaya adiluhung Jawa dan menjadi bagian warisan budaya
takbenda oleh UNESCO yang harus dilindungi dan dilestari. Ketiga, alasan sosial
ekonomis, yaitu (1) Kota Solo telah merupakan pusat industri batik hingga
sekarang; dan (2) Batik Solo merupakan sumber daya sosial ekonomi Kota Solo
terutama sektor pariwisata dan fashion dalam konteks ekonomi kreatif.
C.
Jenis
dan Sumber Data
Dalam penelitian ini
data yang digunakan adalah data tentang makna simbolik Batik Solo sebagai
busana tradisional Jawa dan fashion yang ditampilkan dalam bentuk naratif dan
bersifat kualitatif yang terdiri atas dua sumber data. Pertama, sumber data
tidak tertulis, yaitu berupa kata-kata, tindakan, ungkapan, dan peristiwa yang
terjadi dalam konteks Batik Solo yang dalam hal ini digunakan sebagai sumber
data utama (primer). Sumber data utama ini diperoleh dari pengamatan langsung
terhadap simbolisasi Batik Solo dan wawancara dengan informan-informan terpilih
yang dicatat melalui catatan tertulis, perekaman suara, dan/atau pengambilan
gambar melalui kamera.
Kedua, sumber data
tertulis, yaitu berupa buku-buku, berita media cetak, jurnal-jurnal,
dokumen-dokumen, dan hasil-hasil penelitian terdahulu yang terkait dengan Batik
Solo dan makna sebagai busana tradisional dan fashion yang dalam hal ini
digunakan sebagai sumber data sekunder. Sumber data tertulis ini diperoleh dari
studi dokumen dan studi kepustakaan.
D.
Teknik
Pemilihan Informan
Informan-informan yang
diwawancarai dalam kerja penelitian ini dikelompokkan menjadi tiga. Pertama,
informan dari dalam pihak pengrajin dan pengusaha Batik Solo, yaitu orang-orang
berkaitan dengan proses pembuatan dan perdagangan Batik Solo; kedua informan
ahli, yaitu pemerhati atau orang yang memiliki pengetahuan mengenai busana
tradisional Batik Solo, termasuk di dalamnya informan dari pihak kalangan
Keraton Surakarta dan Mangkunegaran, dan Pemerintah Kota Surakarta; dan ketiga
informan publik, yaitu informan yang berasal dari masyarakat umum.
E.
Instrumen
Penelitian
Dalam mengumpulkan data
penelitian ini, peneliti menggunakan tiga alat utama, yaitu: (1) pedoman
wawancara yang digunakan sebagai panduan dalam wawancara (lihat Lampiran 2:
Pedoman Wawancara); (2) alat perekam gambar (kamera dan scanner) yang digunakan
untuk memperoleh dada visual dari objek amatan, dan alat perekam suara yang
digunakan dalam upaya wawancara terhadap informan; dan (3) alat tulis yang
digunakan untuk mencatat data-data yang diperoleh dalam proses wawancara,
observasi, dan kepustakaan.
F.
Teknik
Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data
yang dilakukan dalam penelitian ini lebih mengutamakan penggunaan teknik
observasi dan wawancara mendalam, di samping studi kepustakaan. Dengan
menggunakan teknik tersebut kajian terhadap makna simbolik busana tradisional
Batik Solo membuka peluang baca ulang untuk menemukan sesuatu yang
disembunyikan di dalamnya. Di samping itu, berkembangnya kereativitas dalam
menafsirkan “teks” dilakukan dengan diamati hingga diperoleh pemahaman yang
lebih mendalam tentang makna simbolik Batik Solo. Atas tujuan tersebut, teknik
yang dilakukan dijelaskan seperti berikut.
Pertama, observasi,
yaitu pengamatan lapangan langsung terhadap fenomenafenomena yang terjadi atas
Batik Solo khususnya di Kota Solo baik dalam sehari-hari maupun acara khusus.
Observasi dilakukan untuk mengempulkan data yang berada dalam pelilaku pelaku
budaya di balik fenomena-fenomena sosial karena secara filosofis masyarakat
dipahami sebagai pengalaman langsung (Simmel dalam Ratna, 2010:221).
Kedua, wawancara, yaitu
suatu percakapan untuk memburu makna yang tersembunyi di balik kata-kata dari
informan sehingga sesuatu dari fenomena sosial menjadi dapat dipahami (Faisal
dalam Bungin, 2010: 67). Wawancara dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui
pendapat, persepsi, perasaan, pengetahuan, pengalaman, dan penginderaan
seseorang (Pitana, 2010: 53).
Ketiga, studi dokumen,
yaitu pengumpulan data yang bersumber dari dokumen yang dibedakan menjadi dua
macam, yaitu; (1) dokumen formal, dokumen yang dikeluarkan lembaga tertentu,
dan (2) dokumen informal, dokumen yang merupakan catatan pribadi. Dengan kata
lain, pengumpulan data dari noninsani, yaitu (1) tulisan, seperti berita media
cetak, surat-surat, laporan resmi, catatan harian, katalog, dan/atau notulen;
dan (2) gambar dan lambang, foto-foto, dan audio visual. Artinya, teknik
dokumentasi ini digunakan untuk mengumpulkan data teks dalam naskah-naskah yang
berupa dokumen. Data teks yang diperoleh dari studi dokumen ini diposisikan
sebagai data sekunder penelitian (Pitana, 2010:54, Ratna, 2010:233-238).
Keempat, studi
perpustakaan, yaitu suatu kajian terhadap buku-buku, jurnal-jurnal, dan
hasil-hasil penelitian terdahulu dalam kaitannya Batik Solo. Studi perpustakaan
digunakan tidak hanya mencari data dan/atau pengertian tentang Batik Solo yang
selama ini dikembangkan dalam konsep-konsep oleh penelitian terdahulu, tetapi
juga untuk memperoleh data yang berfungsi sebagai pelengkapan data yang
diperoleh lapangan dan wawancara.
G.
Teknik
Analisis Data
Teknik analisis data
dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif, yaitu analisis yang
memfokuskan pada alasan-alasan maknawi (reason) dari para pelaku sesuatu
tindakan atau praktik sosial itu sendiri sesuai dengan dunia pemahaman pelaku
itu sendiri (kontekstual). Oleh karenanya, upaya analisis data kualitatif
disebut upaya understanding of understanding oleh Geertz (Faisal dalam Bungin,
2010: 67).
Prosedur yang ditempuh
dalam analisis ini bukanlah linier, tetapi tahapan-tahapannya tidaklah dapat
dipisahkan. Secara sederhana, logika yang digunakan dalam analisis data
kualitatif bertitik tolak dari “khusus ke umum”, berbentuk siklus. Mula-mula,
hasil pengumpulan data direduksi (data reduction) melalui mengikhtisarkan dan
memilah-milah ke dalam satuan konsep-konsep, kategori-kategori, dan tema
penelitian. Kemudian, hasil reduksi data diorganisasikan ke dalam bentuk
sinopsis, tabel, matriks (display data) sehingga memudahkan upaya pemaparan dan
penegasan simpulan (conculution drawing and verification). Proses tersebut
bukan sesuatu “sekali jadi” melainkan berinteraktif, secara bolak balik (Faisal
dalam Bungin, 2010: 68-71, Pitana, 2010:56).
H.
Teknik
Penyajian Hasil Analisis Data
Penyajian data dengan
teknik analisis data kualitatif merupakan proses interpretasi, yaitu proses
pemberian makna. Teknik penyajian hasil analisis adalah dengan menggunakan
gabungan cara informal dan formal. Cara informal adalah penyajian hasil
analisis secara naratif. Dengan kalimat lain, keseluruhan data yang diperoleh
dalam proses kerja penelitian dideskripsikan dan diberikan arti kemudian
disajikan secara naratif. Adapun cara formal adalah penyajian hasil analisis
dalam bentuk gambar, bagan, ataupun foto-foto (Pitana, 2010:57). Cara formal
ini digunakan lebih untuk tujuan mendukung kualitas narasi hasil analisis dalam
penelitian ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Bungin, B. (2010). Metode Penelitian. IKAPI. Jakarta.
Code, L. (Ed.). (2010). Feminist Interpretations of
Hans-Georg Gadamer. Penn State Press.
Djoemena, Nian S. 1990. Batik dan mitra. Djambatan.
Eco, U. (1976). A theory of semiotics (Vol. 217). Indiana University Press.
Kita, Yayasan Harapan 1995. "Indonesia
Indah 1."
Kudo, N., Wolff, B., Sekimoto, T., Schreiner, E. P., Yoneda, Y., Yanagida,
M., ... & Yoshida, M. (1998). Leptomycin B inhibition of signal-mediated
nuclear export by direct binding to CRM1. Experimental cell research, 242.
Levent, E., Gökşen, D., ÖZYüREK, A. R., Darcan,
Ş., Çoker, M., GüVEN, H., & Parlar, A. (2002). Stiffness of the abdominal
aorta in obese children. Journal
of Pediatric Endocrinology and Metabolism, 15.
Nakagawa, Masato, et al. (2008)..
"Generation of induced pluripotent stem cells without Myc from mouse and
human fibroblasts." Nature
biotechnology 26.1
Norris, P. (2001). Digital divide: Civic engagement,
information poverty, and the Internet worldwide. Cambridge University
Press.
Percy, Walker. (2000). The message in the bottle: How
queer man is, how queer language is, and what one has to do with the other.
Macmillan.
Piliang, Y. A., & Adlin, A. (2003). Hipersemiotika: tafsir cultural
studies atas matinya makna. Jalasutra.
Pitana, I. G., & Diarta, I. K. S. (2009).
Pengantar ilmu pariwisata. Yogyakarta:
Andi.
Ratna, N. K. (2010). Metodologi Penelitian Kajian Budaya
dan Ilmu Sosial Humaniora pada Umumnya. Pustaka Pelajar.
Simatupang, T. M., Victoria Sandroto, I., &
Hari Lubis, S. B. (2004). Supply chain coordination in a fashion firm. Supply Chain Management: An
International Journal, 9.
Sutrisno, M., Sumarjo, J., Ali, M., Simatupang,
G. R., Widayat, R., Pujiyanto, P., & Marwati, S. (2010). PROSIDING SEMINAR
NASIONAL ESTETIKA NUSANTARA. ISI
Press untuk Program Pascasarjana ISI Surakarta.
Widyastuti, P., Talitha, T., &
Setyaningrum, R. (2016). Beban Kerja Fisik Karyawan Industri Batik Tradisional.
Minggu, 09 Juli 2017
MAKNA MAHAR RAMA DAN SINTA: KESALAHAN TENAFSIRAN MASYARAKAT
Pernikahan merupakan sebuah ikatan yang sangat sakral dalam kehidupan manusia, dimana seseorang menyempurnakan separoh agamanya. Penyempurnaan agama ini pada hakikatnya meliputi dua pokok bahasan, yaitu mengenai hasrat keduniaan dan kebatinan. Selain itu, dalam pernikahan juga terdapat sebuah simbolisasi yang sangat sakral yang sudah sangat populer di masyarakat, yaitu Mahar. Dalam masa kekinian mahar mulai sangat beragam, mulai dari bentuk maupun tema yang diambilnya, mulai dari yang tradisional hingga modern. Mahar merupakan sebuah bentuk penghargaan seorang suami yang diberikan kepada istrinya. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai macam barang maupun non barang yang semampunya dari suami, dan tentu saja dengan sepenerimaan istri. Dalam era kekinian mahar dengan tema Rama dan Sinta sangat populer dan disenangi oleh masyarakat, khususnya Jawa. Hal ini dikarenakan adanya makna simbolik yang sangat mendalam dalam cerita Rama dan Sinta sebagai simbol cinta yang abadi.
Dalam pembahasan ini akan dibahas mengenai sebenarnya makna yang ditinjau dari sisi yang lain, yang mungkin tidak terpikirkan oleh orang awan yang tau hanya sebatas pada permukaan saja. Mahar sebagai salah satu simbol cinta seorang suami kepada istri seharusnya didasarkan sesuatu hal yang mengajak pada khidupan yang lebih baik.
Kebanyakan orang hanya menerima secara permukaan semata mengenai cerita Rama dan Sinta dalam pewayangan mengenai simbol cinta sejati. Namun demikian, banyak orang yang sebenarnya tidak mengetahui isi dan alur cerita Rama dan Sinta. Beberapa cuplikan yang tidak diketahui adalah:
1. Sinta diminta untuk tidak keluar dari lingkaran yang dibuat oleh Rama ketika ia sedang mengejar kijang. Namun karena keibaannya melihat Rahwana yang menyamar sebagai kakek-kakek kemudian ia keluar dari lingkaran dan diculik oleh Rahwana.
2. Sinta menjaga dirinya sedemikian rupa hingga ia masih suci, walaupun diculik oleh Rahwana.
3. Rama tidak percaya dan ragu akan kesucian Sinta pada saat diculik Rahwana.
Ketiga cuplikan tersebut hanya sebagian kecil saja mengenai cerita Rama dan Sinta. Apabila ditinjau berdasarkan sebagai simbol mahar apakah ini tidak menjadi sebuah doa untuk kehidupan masa depannya. Kejadian yang nomor satu itu dapat diibaratkan dalam rumah tangga yaitu saat sang istri diminta dirumah oleh sang suami untuk menjaga diri. Hakikatnya seorang istri hanyalah patuh kepada suami, dan ini juga sangat jelas. Apalagi ditambah dengan kejadian selanjutnya yaitu diculik Rahwana, hal ini seperti menunjukkan sebuah keburukan yang diakibatkan oleh ketidakpatuhan istri kepada suaminya.
Sedangkan pada cerita nomor tiga juga menggambarkan ketidakpercayaan Rama akan kesucian Sinta setelah diculik Rahwana. Dalam kejadian ini selanjutnya Sinta yang pada dasarnya setia kemudian meninggalkan Rama. Dalam pernihakan hal ini sering terjadi pada suami maupun istri yang sering kali curiga dan menduga-duga apa yang terjadi pada pasangannya. Apabila hal ini terjadi pada sebuah pernikahan tidaklah menjadi sebuah kebaikan. Hal ini juga justru menggambarkan ketidakjujuran dan ketidakpercayaan kepada pasangan.
Sesungguhnya banyak cobaan yang terjadi pada dalam kisah Rama dan Sinta, khususnya mengenai percintaan mereka. Hal ini tentunya apabila dijadikan simbol mahar tidaklah tepat dimana hal ini akan menjadi doa untuk masa depan rumah tangganya. Siapa yang ingin dalam pernikahannya banyak cobaan yang mengguncang rumah tangganya, mulai dari hal yang kecil hingga datangnya pihak ketiga. Sulit sekali kehidupan antara Rama dan Sinta, khususnya percintaan mereka. Maka dari itu, menurut saya tidaklah tepat membawa simbol Rama dan Sinta dalam sebuah simbol pernikahan yang sakral, yaitu Mahar
Apakah anda masih ingin menjadikan Rama dan Sinta sebagai simbol pernikahan kalian, coba dulu deh cari referensi yang mendalam dulu sebelum menjadikannya sebagai mahar pernikahan kalian. Tentu saja setiap insan ingin punya kehidupan yang baik bersama pasangannya, sehingga hal ini harus didasarkan pada suatu hal baik pula,
demikian terima kasih.
Jumat, 26 Mei 2017
PENDIDIKAN SENI DAN INDUSTRI KREATIF: TILIKAN DARI SISI “YANG LAIN”[1]
Dr. Kasiyan, M.Hum.[2]
“Adalah tidak cukup bahwa kamu memahami ilmu
agar memudahkan pekerjaanmu.
Perhatian kepada manusia itu sendiri dan nasibnya,
harus selalu merupakan minat utama dari semua ikhtiar teknis.
Agar buah ciptaan dari pemikiran kita,
akan merupakan berkah dan bukan kutukan bagi kemanusiaan.
Janganlah
kau lupakan hal itu di tengah tumpukan diagram dan persamaan”.
Albert
Einstein
Pidatonya di hadapan Mahasiswa California
Institute of Technology (1938)
Salah
satu diksi wacana yang cukup menyita perhatian publik secara massif dalam
hari-hari kontemporer belakangan kini, yakni apa yang dikenal dengan “industri
kreatif”. Sebagai sebuah konsep kebudayan, istilah industri kreatif ini dapat
dikatakan bukanlah sebagai sesuatu yang benar-benar baru, karena pelbagai jejak
historis yang panjang di masa lalu pernah mencatat tentang risalah yang
berkelindan dengan itu. Dalam khazanah peradaban Barat terutama Eropa misalnya,
embrio industri kreatif sudah ada sejak zaman revolusi industri pada era tahun
1700-an, yang dipicu oleh revolusi ilmu pengetahuan di era Pencerahan pada abad
ke 16, dengan munculnya para ilmuwan seperti Francis Bacon, René Descartes,
Galileo Galilei, peletak dasar ilmu pengetahuan dan teknologi modern.[3]
Betapa pelbagai temuan ilmu pengetahuan dan teknologi di masa itu, adalah motor
penggerak utama hadirnya proyek industrialisasi, sebagaimana halnya fenomena
budaya dan industri dalam konteks wacananya dalam kebudayaan kontemporer kini.
Dalam
konteks keindonesiaan, konsep industri kreatif amat menyedot perhatian,
terutama ketika pemerintah mengkerangkainya dalam format
kebijakan
dalam bentuk Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2009 tentang pengembangan
ekonomi kreatif. Bahkan
tahun 2009 itu kemudian dicanangkan oleh pemerintah saat itu, sebagai tonggak tahun
Indonesia kreatif. Kebijakan ini kemudian ditindaklajuti ketika di tahun 2014 hadir
satu nomen klatur kementerian baru yang belum pernah ada dalam struktur era
pemerintahan sebelumnya, yakni Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.[4]
Sejak itulah, paradigma industri kreatif seolah menjadi ikon mantra yang
diwacanakan dengan derajat yang amat tinggi di mana-mana, termasuk tak luput pula dunia dan disiplin seni tak steril
dibuatnya. Keterlibatan seni dalam arus pusaran wacana utama industri
kreatif ini, bukan semata-mata
merupakan salah satu bidang yang paling dekat dengan teks kreativitas sebagai basis
rohnya industri kreatif, melainkan juga jagad seni memang menjadi subjek
tulang punggung utama
yang menjadi concern fokus di industri
kreatif itu sendiri. Hal ini paling tidak dapat dilihat dari jabaran peta jalan
dan cetak biru industri kreatif yang menjadi fokus perhatian pemerintah, yang
jumlahnya ada 14, yang didominasi atau bahkan hampir semuanya terkait dengan
ranah disiplin seni, yakni: 1) periklanan, 2) arsitektur, 3) benda seni dan
barang antik, 4) kerajinan, 5) desain, 6) fesyen, 7) video, film, dan fotografi,
8) permainan interaktif, 9) musik, 10) seni pertunjukan, 11) penerbitan dan
percetakan, 12) layanan komputer dan piranti lunak, 13) televisi dan radio, dan
14) riset dan pengembangan.[5]
Keberadaan industri kreatif diklaim banyak memberikan andil yang signifikan
bagi pembangunan, terutama jika analisisnya dijangkarkan pada kalkulasi pada aspek
keuntungan materi, sehingga mesti terus mendapatkan dukungan.[6]
Yang menjadi catatan strategis dan
penting kemudian adalah, bahwa siapa pun terutama para stakeholder yang terlibat dan pusaran wacana industri kreatif ini,
kiranya perlu mengembangkan daya tilikan kritis-reflektifnya yang memadahi,
yang terutama terkait dengan ranah basis filosofisnya yang relatif dikuras
dengan pendekatan yang dijangkarkan pada nilai-nilai material-ekonomi, yang
seolah melampaui semesta apa pun dalam dalam konteks berkulturasi. Memang
menjadi sebuah keniscayaan yang tak bisa dipungkiri bahwa manusia itu adalah
sebagai makhluk ekonomi (homo economicus),
tetapi melampui dari itu semua, yang lebih berharga adalah bahwa ia sejatinya juga
homo sapiens[7], makhluk yang dianugerahi akal budi,
yang senantiasa mengidealkan kompleksitas nilai-nilai yang lebih ideal dan
tinggi, jika dibandingkan pada sekadar rujukan nilai-nilai yang berbasiskan
materi.
Dalam konteks kelindannya dengan
diskursus yang terakhir inilah, kiranya konteks seni dan juga pendidikan seni
menjadi menemukan ruang relevansi. Dengan adanya tilikan kritis reflektif,
diharapkan seni dan juga pendidikan seni bisa berposisi dan berperan lebih
sebagai subyek yang mampu memberikan pelbagi kemungkinan perspektif positif,
ketimbang sekadar sebagai objek yang dieskploitasi dalam wacana industri
kreatif. Sebagaimana sudah menjadi konvensi dan pemahaman yang purba kiranya,
bahwa kehadiran dan keberadaan seni atau kesenian di sepanjang lintasan sejarah
peradaban yang ada, senantiasa menggendhong visi nilai-nilai yang amat mulia.
Taruhlah kemuliaan visi itu kemudian bersinggungan dengan domain materi-ekonomi,
maka sejatinya itu hanya berada pada lapisan permukaan yang paling artifaktual dan
artifisial, dan karenanya tak pernah ditempatkan sebagai kulminasi kesadaran
tertinggi. Seni dan kesenian sejatinya adalah sebuah domain peradaban penting, yang
keberadaannya bersama pilar-pilar peradaban utama lainnya, secara niscaya
digairahkan untuk menggaransi eksistensi kemanusiaan manusia itu sendiri. Seni,
karenanya sampai hari ini dirumuskan dalam sebuah tesis yang nyaris abadi, yakni
sebagai salah satu jalan kemanusiaan itu sendiri. Karena itulah, berbicara
tentang seni dan juga pendidikan seni, sejatinya adalah berbincang tentang
sebuah gagasan tentang proyek humanisasi.
Oleh karena itu, mainstream visi yang
ada dalam budaya dan industri kreatif ini, manakala tak disikapi secara hati-hati
memadai, bisa berpotensi menelikung eksistensi seni dalam jebakan kultur politik
ekonomi yang amat destruktif. Mengingat hasil
pencermatan yang ada, tampak bahwa paradigma industri kreatif ini cenderung difahami dan
diterjemahkan di
pelbagai level lapisan, dalam aura kecenderungan menerimanya sebagai satu kebenaran, tanpa
diserta dengan analisis relektif kritis untuk sekadar mewaspadai pelbagai kemungkinan dampak negatif yang ditimbulkannya. Padahal dari
dimensi lain, sebagaimana
disampaikan tadi, terminologi industri kreatif ini amat potensial menggendhong pelbagai
kerentanan yang amat menghawatirkan, baik dari sudut
pandang kesenian maupun kebudayaan. Oleh karena itulah, serangkaian upaya pemikiran
kritis tentang sesi baru budaya dan industri kreatif, dalam perpekstif lintas
disiplin, termasuk dalam konteks ini adalah disiplin seni, kiranya menjadi satu
hal yang penting dan amat berarti. Kajian ini, dihajatkan untuk mencoba mengambil optik
posisi sebagaimana yang disebutkan pada klausul yang terakhir ini.
Industri Kreatif
dan Kota Kreatif
Sebagaimana
disampaikan di atas, diskursus perihal budaya dan industri kreatif, sejatinya sebagai
khazanah yang cukup lama keberadaanya, yang awalnya terkait erat dengan wacana pembangunan kota
terutama dalam perspektif ekonominya.[8] Dalam
kata-kata Chris Gibson & Natascha Klocker, “Creativity
and the ‘creative industries’ are increasingly common components of urban economic
development discoursse”.
Demikian juga dalam pandangan Moeran
& Pedersen, bahwa wacana industri kreatif ini substansi basis pijakannya
adalah mengeksploitasi terminologi kreativitas dalam konteks kepentingan
terutama politik ekonomi.[9]
Dalam
catatan historis, ada beberapa moment penting ibarat puzzle road map yang berkaitan dengan perjalanan industri kreatif
di beberapa negera terutama di Barat. Pada tahun 1977 misalnya, di Washington,
sekelompok ahli tata kota yang bergabung dengan para arsitek dan juga seniman, melalui
program yang disebut Partnership of
Livably Place, mengembangkan gagasan yang diistilahkan sebagai kota
kreatif, yakni sebuah kota yang ideal, manusiawi, dan nyaman yang menekankan
pada pendekatan kebudayaan dan lingkungan.[10]
Demikian juga di Australia pada tahun 1994, melalui Australia Department of Communications and the Arts Australia,
merilis gagasan tentang “Creative Nation: Commonwealth Cultural Policy”.[11]
Kemudian, pada tataran kebijakan yang lebih praksis, jejak budaya dan industri
kreatif ini terutama dikembangkan di Inggris, melalui Partai Buruh dari golongan pembaharu (New Labour) untuk
menentang konsepsi-konsepsi lama dari kubu Old Labour, yang dimotori
oleh Tony Blair, pada tahun 1997, melalui Department
of Culture, Media, and Sport (DCMS) mendirikan “Creative Industries Task
Force”. DCMS kemudian mendefinisikan industri kreatif, yakni: “as those industries which have their origin
in individual creativity, skill & talent, and which have a potential for
wealth and job creation through the generation and exploitation of intellectual
property and content”.[12]
Melihat dari pemaknaan tentang gagasan baru terkait teks industri kreatif yang disampaikan oleh DCMS ini, konon katanya sejalan dengan padangan sosiolog
Anthony Giddens yang dikenal dengan “jalan ketiga[13]”, yang
mencoba mendamaikan keniscayaan pertarungan
antara kutub sosialisme-kolektivisme di satu sisi dengan
liberalisme-individualisme (kapitalisme) di sisi yang lainnya.
Dalam
perkembangan selanjutnya, konsep industri kreatif ini kemudian terus semakin mendapatkan
sambutan luas masyarakat. John Howkins misalnya pada tahun 2003, menulis Creative Economy, How People Make Money from
Ideas, yang di dalamnya memaknai ekonomi kreatif, sebagai kegiatan ekonomi yang
esensinya digerakkan terutama oleh kreativitas.[14]
Demikian juga halnya dengan Richard Florida, melalui dua bukunya yang
monumental, The Rise of the Creative
Class: and How It's Transforming Work, Leisure, Community and Everyday Life
(2003) dan Cities and the Creative Class
(2005), juga meneguhkan gagasan yang relatif sama tentang konsep industri
kreatif ini. Di kedua bukunya itu, Florida menekankan bahwa, betapa sebenarnya
seluruh umat manusia itu adalah kreatif. Apakah ia seorang pekerja di pabrik
kacamata atau seorang remaja jalanan yang membuat musik hip-hop. Perbedaannya
adalah pada status kelasnya, terutama pada individu-individu yang memang menyadari
bergelut di bidang kreatif dan kemudian mendapat keuntungan ekonomi dari
pelbagai aktivitas kreatif yang mereka lakukan.[15]
Sejalan dengan pandangan tersebut, Hesmondhalgh (2007), memaknai industri kreatif sebagai kumpulan
aktivitas ekonomi yang terkait dengan penggunaan pengetahuan dan informasi. (“creative
industries, also known as cultural industries or creative economy, refer to a
range of economic activities that are concerned with the exploitation of knowledge
and information”).[16] Karenanya
substansi industri kreatif juga dikenal dengan istilah industri budaya.[17]
Gagasan
pada industri kreatif yang mengintensifkan stock
of knowledge yang berbasiskan kreativitas ini, keberadaannya beriringan dengan
proses transformasi evolusi dalam tatanan ekonomi di era kapitalisme lanjut,
yang awalnya secara klasik berbasis pada sumber daya alam yang amat terbatas,
kemudian bergeser pada paradigma berbasis sumber daya manusia yang tak
terbatas. Tipe perubahan tata ekonomi yang berbasiskan budaya dan industri industri kreatif ini hadir pada
ordinat perkembangan masyarakat, yang oleh futurolog Alvin Toffler (1991),[18] disebut pasca revolusi gelombang
ketiga (the third
wave revolution)
yang ditandai dengan revolusi teknologi komunikasi dan
informasi yang tampak amat eksplosif dan massif. Sistem dan tata nilai ekonomi ini,
terutama ditandai dengan tak lagi ditentukan oleh bahan baku atau sistem
produksi seperti pada era industrial klasik, tetapi penekanannya lebih pada
domain kekuatan kreativitas dan inovasi. Inilah paling tidak point substansial
yang melekat dalam konstruksi teks industri kreatif, yang kemudian diyakini
menjadi narasi “kebenaran pengetahuan” hari ini yang diafirmasi semua kalangan sampai
saat ini.
Ketika
dihadapkan pada pelbagai realitas yang namanya “kebenaran pengetahuan” kebudayaan
apa pun, termasuk dalam konteks ini adalah tentang industri kreatif, seorang
Foucault pernah memberikan saran bagus agar kita senantiasa mengembangkan ritus
kritis dalam berkesadaran, agar kita tak terjebak dalam kemungkinan kesalahan
dalam penyikapan. Hal ini disebabkan,
bahwa sejatinya setiap teks kebenaran pengetahuan itu tak pernah ada yang bersifat
netral, melainkan yang ada adalah selalu “politis-kultural”. Lewat teorinya Power/Knowledge, Foucault menegaskan bahwa
dimensi politis-kultural dalam setiap teks kebudyaan itu, dikarenakan keberadaannya
yang senantiasa terkoneksi dalam pelbagai kompleksitas variabel dan sistem yang
terutama bersinggungan dengan terminologi kekuasaan.[20]
Oleh karena itulah, Foucault mengatribusi kebenaran dalam setiap pengetahuan
itu lebih sebagai truth regime atau “rezim
kebenaran”. Konstruksi pokok pikiran genealogis ala Foucaultian ini, relatif
kongruen dengan apa yang oleh Kristeva diistilahkan dengan “intertekstualitas”
(intertextuallity) [21],
atau yang dalam terminologinya Bhaktin dikenal dengan “dialogisme” (dialogism)[22],
yang substansinya adalah sama-sama memahami dan menempatkan kebudayaan itu
dalam rangkaian makna transposition
(transposisi) yang penuh dengan titik pertemuan dan persilangan. Demikian juga
halnya ketika menyoal perihal konstruksi dari konsep kebenaran pengetahuan tentang
budaya dan industri kreatif ini, maka secara geneologis pengetahuan kebenaran
yang melekat padanya sejatinya lebih pas jika ditempakan maknanya juga dalam formasi sebagai “rezim kebenaran”
yang terkoneksi dengan pelbagai jaringan kekuasaan, yang artinya secara niscaya
juga amat membutuhkan ritus “kewaspadaan”.
Jika
disandarkan pada nukilan substantif dari pemaknaan budaya dan industri kreatif
sebagaimana yang disampaikan di atas, maka ketika kuasa politik ekonomi nyaris menjadi satu-satunya mainstream
penyangga utamanya, maka sejatinya pula ia, budaya dan industri
kreatif ini, menginduk semang pada sistem kapitalisme-liberalisme sebagai aras
dan jangkar filosofi
utamanya.[23]
Bahkan dalam perspektifnya Toby Miller, ditegaskan lebih lagi, bahwa “neoliberalism is at the core of the creative
industries”.[24]
Ketika
berbincang tentang teks kapitalisme dan dalam kesatuannya dengan liberalisme
dan apalagi neoliberalisme, betapa yang namanya faham berkebudayaan ini,
menyertakan kompleksitas persoalan, bukan bukan hanya pada dataran kebudayaan
melainkan juga kemanusiaan, dan karenanya tak mengherankan manakala
keberadaannya senantiasan mendapatkan gugatan kaum cendekiawan di pelbagai
lintasan zaman. Untuk menyebut salah satu promotor utama yang menelanjangi dan
memperkarakan tabiat buram sistem kapitalisme dan liberalisme di Eropa di
abad-20 misalnya, adalah para cendekiawan yang tergabung dalam kelompok mahzab
Frankfurt (The Frankfurt School).
Kelompok kritis yang digawangi oleh tokoh-tokoh seperti: Adorno, Benyamin,
Marcusse dan pemikir kritis lain seperti Habermas dan Gramcy melihat bahwa
industri budaya adalah suatu bentuk manipulasi ideologi dan dominasi.[25]
Oleh karena itulah, baik di tingkat
terminologi akademik maupun kebijakan, wacana tentang industri kreatif ini
sejatinya amat potensial mengundang pelbagai
kerentanan persoalan.
Persoalan itu terutama berhulu dari risalah kreativitas sebagai roh terdasar
dalam setiap ekspresi kebudayaan, di mana akhirnya orientasi nilai-nilai yang
melekat di dalamnya direduksi hanya dalam kaitannya dengan persoalan ekonomi
semata.[26] Orientasi
budaya yang semata-mata didasarkan pada analisis pasar dan keuntungan dalam
perspektif ekonomi inilah, yang akhirnya mengantarkan budaya komodifikasi dan
komersialisasi, di mana segala hal terkait dengan deru berkebudayan harus
bemuarakan diktum kalkulasi ekomomi kapital
yang menguntungkan. Dalam
kata Lazaretti berikut
ini.
Commodification is the specific
process of commercialization ‘whereby a produced thing or activity itself is
given a consumptive market value’. While commodification primarily places the
emphasis on cultures as an economic output, commercialization places more
considerations on culture as an economic input.[27]
Seturut dengan
pandangan tersebut, Edensor. Et all. (2009:90) juga
mengemukakan bahwa, “contemporary
capitalism is characterized by more recently dominant forms of accumulation,
based on flexible production, the commodification of culture and the injection
of symbolic ‘content’ into all commodity production”.[28] Dengan demikian, dalam konsep industri
kreatif ini, sebenarnya telah terjadi semacam persekongkolan atau
perselingkuhan secara halus bahkan nyaris tak kelihatan, antara teks kebudayaan dengan kapitalisme.[29] Flew (2012:6) memberi istilah tentang fenomena ini
sebagai, “convergence of consumerism with cool
capitalism”.
Berangkat
dari kenyataan itulah, karenanya gagasan dalam industri kreatif itu,
di sisi lain akhirnya
telah mendistorsi hakikat substansi makna dari terma kreativitas dan juga
kebudayaan yang semata-mata disandarkan pada motif ekonomi, sehingga pelbagai
ritus kinerja dalam berkebudayaan dan termasuk juga berkesenian tak lebih dimaknai aktivitas
“ketukangan” yang membudak pada sistem
kapitalisme yang demikian memuja semata-mata risalah keuntungan. Dari sini pula lah, maka terminologi
industri kreatif itu kiranya menemukan konteks relevansinya untuk ditimbang
dan dipertanyakan, jika
itu diklaim sebagai satu gagasan pencerahan ditilik dari
sudut pandang kebudayaan. Galloway
& Dunlop (2007:17) menyatakan:
The knowledge economy‐based concept of
creative industries, it is maintained, has no specific cultural content and
ignores the distinctive attributes of both cultural creativity and cultural
products. As such it overrides important public good arguments for state
support of culture, subsuming the cultural sector and cultural objectives
within an economic agenda to which it is ill‐suited. We argue against this turn
in public policy and for a cultural policy that views its object as all forms
of cultural production, both industrial and artisan.[30]
Fenomena penggunaan terma kreativitas
dalam konteks utilitas yang amat pragmatis yakni sebagai pilar penyangga utama
menyokong konstruksi industri dan kapital inilah, yang mengakibatkan makna kreativitas itu
sendiri telah kehilangan atau minimal terdistorsi kualitas auratiknya. Karenanya tak berlebihan jika Schumpeter,
seorang ekonom Austria-Amerika, pernah memberikan atribusi identitas satiris terkait dengn fenomena
ini, yakni bahwa wacana creative
industries itu sejatinya lebih banyak berurusan dengan “creative destruction”[31] yang disebabkan
diktum kreativitas telah mengalami apa yang diistilahkan oleh Pang (2012)
sebagai “politisasi” yang memperihatinkan.[32]
Komodifikasi dan
Fetisisme Estetika dalam Seni
Ketika permasalahan industri kreatif dalam
teks kebudayaan itu diderivasikan lebih jauh ke pilar-pilar yang lebih luas
termasuk seni atau kesenian misalnya, maka akan segera ditemukenali bahwa yang
namanya gagasan estetika yang terkandung di dalamnya juga akan mengafirmasi
orientasi dan spirit yang mengacu pada diktum kuasa ekonomi sebagai
panglima. Dalam
konteks inilah, seni dan estetika, bukan lagi sebagai sesuatu yang
menggairahkan nilai-nilai transendensi, melainkan nilai-nilai ekonomi
yang bersifat profan imanensi. Industri kreatif, dalam tataran ini, sejatinya
telah melakukan perselingkuhan
antara estetika dengan kapitalisme, yang oleh Michelsen diistilahkan sebagai “aesthetic capitalism”[33], sebagai bagian dari apa yang oleh Kaplan (2008) disebut sebagai “culture of fetishism”[34].
Dalam konteks inilah,
akhirnya industri kreatif
kemudian telah
menempatkan seni tak lebih sebagai bagian komponen objek, yang bersama-sama komponen kebudayaan lain
dieksploitasi habis guna mendukung keberhasilan
risalah politik ekonomi. Dalam
kaitan ini Kerrigan (2007) menegaskan yakni, “creative industries
demonstrate a move away from 'art for art's sake' and towards an acceptance of
the economic, social and aesthetic value of culture, where the arts are treated
as ingredients in a new cultural mix”.[35] Berkaca dari fakta ini, karenanya pendulum industri
kreatif tampak cenderung bergerak ke aah pertimbangan seni dan estetika,
yang terutama diarahkan bagi kepentingan fungsi
utilitarian yang yang
amat pragmatis sifatnya, yang secara
klasik misalnya terkait dengan sektor klasik yang berbasis budaya massa,
seperti turisme, fesyen, arsitektur, games,
kuliner, dan aneka gaya hidup lainnya. Hal ini senada dengan pandangan Singh
(2014:150), bahwa “creative industry tend to move toward
design elements that include aesthetic considerations but are primarily geared
toward other utilitarian functions, such as tourism, textile design of fashion,
toys and games and architecture”.[36]
Fenomena
memperihatinkan seperti itulah, akhirnya membuat seni yang diabdikan semata-mata bagi
kepentingan politik ekonomi seolah menemukan konteks pembenaran dan justifikasi,
sehingga menjadi satu sesi yang paling digairahi oleh setiap stakeholder, termasuk dalam bidang seni
hampir di semua lapisan dan lini. Dalam kaitan ini, Jone &
Warren (2016), menyampaikan kritik keprihatinan:
In
designated creative industries offices, usually located in economic development
sections of local authorities. They come from academics and managers in higher
and further education who increasingly see the vocational implications of the
creative economy as prime justification for the contemporary role of arts and
humanities.[37]
Dari alir nalar itu kemudian dapat
difahami, betapa jagat estetika dan kesenian yang mestinya lebih mampu
dimaknai sebagai rumah kemanusiaan, dan berperan sebagai “pandhapa agung”, yang menyuguhkan
nilai kesejatian, yakni nilai-nilai yang mampu
membentuk dan meningkatkan taraf hidup dan kehidupan menjadi lebih berperadaban[38]; menjadi sesuatu yang kerap dipertanyakan.
Demikian juga halnya, teks-teks seni yang selama ini kodratnya
cenderung diyakini selalu
melawan berbagai bentuk abstraksi dan generalisasi, termasuk abstraksi dan generalisasi dalam konteks
industri kreatif ini, kiranya gagal untuk bisa dikerangkai. Padahal ritus abstraksi
dan generalisasi dalam
berkebudayaan kerap akan memandulkan dan memajalkan
kepekaan diri dan
kesadaran, karenanya selalu dilawan dalam kerja
berkesenian.
Menyoal “Pengkhianatan Kaum Cendekiawan”
Ketika narasi besar yang
menyelubungi konteks persoalan industri kreatif dari sisi yang lain yang
cenderung buram tersebut, kiranya posisi dan peran keilmuan seni terutama di pergururan
tinggi, menjadi amat strategis untuk melakukan serangkaian proses reorientasi
dan revitalisasi bagi pencerahan kulturasi. Harapan besar yang kerap
disandarkan pada posisi dan peran perguruan tinggi ini, kiranya bukanlah hal
yang berlebihan, karena asumsi masyarakat sampai hari ini masih teramat kuat
meyakini, betapa yang namanya situs kampus itu adalah tempat merumahnya kaum
cendekiawan, yang secara struktur sosial masuk dalam kategori apa yang
diistilahkan kalangan kelas sosial menengah (middle class society), yang perannya selalu menjadi amat determinan
sebagai motor avant garde di setiap
perubahan sosial dan kebudayaan (agent of
social and cultural change).[39]
WS Rendra dalam kaitan ini, mengatribusi golongan cendekiawan, sebagai mereka
yang ‘berumah di angin’[40],
yang keberadaan diharapkan menjadi katarsis ketika zaman dirundung kedukaan.
Meski
dalam konteks kontemporer kekinian, ketika membincang perihal kaum cendekiawan,
banyak yang menyisakan persoalan yang amat menyesakkan, karena ada semacam tren
degradasi posisi dan peran yang tampak signifikan. Hal ini dapat dibaca
misalnya ketika di setiap sesi krusial perubahan dan transformasi kebudayaan, termasuk
misalnya dalam konteks industri kreatif ini misalnya, kaum cendekiawan di
segala disiplin, termasuk disiplin seni, lebih banyak berada dalam lintasan
lebih sebagai konsumen dibanding produsen yang menentukan haluan, sehingga yang
banyak terekam wacananya adalah tak lebih dari histeria jejak-jejak yang
cenderung mengafirmasi, tanpa dibarengi perspektif kritis yang berarti. Posisi
dan peran kaum cendekiawan perlahan tampak mulai luntur, di tengah suasana
gemuruh hiruk pikuk kehidupan kegaduhan perubahan zaman kekinian yang potretnya
makin kabur.
Gambaran
selayang pandang terkait dengan hal ini misalnya dapat dilihat dari watak dan corak ilmu-ilmu sosial (termasuk
juga seni) Indonesia
selama ini, yang
lebih suka memilih untuk menjadi budak-budak kekuasaan, entah kekuasaan politik
maupun kekuasaan ekonomi. Gambaran cukup baik perihal ini, misalnya tampak dari
kritiknya Vedi R. Hadiz
dan Daniel Dakhidae pada “Pengantar” untuk bukunya Social Science and Power in Indonesia (2004), yang menyampaikan bahwa betapa ilmuwan sosial bangsa ini,
dalam perkembangan termutakhirnya kini, lebih banyak yang menjadi
makelar-makelar rezim kekuasaan. Tidak mengherankan bila ilmu sosial di
Indonesia, lalu menjadi semacam gugus worldview
yang bercorak sangat instrumentalis-pragmatis, ketimbang kritis-reflektif”.[41]
Dalam
buku yang sama, PM Laksono juga melakukan kritik yang relatif sama, dengan
meninjau kinerja asosiasi ilmu-ilmu sosial yang ada di Indonesia selama ini,
seperti Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), Himpunan Indonesia untuk
Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial (HIPIIS), Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI),
Asosiasi Prehistori Indonesia (API), dan masih banyak lagi yang lainnya.
Kecenderungan grammar kinerja
asosiasi-asosiasi itu, menurut catatan Laksono, adalah berupa idiom ‘peran’ (role): yaitu cara berfikir, bertutur,
bertindak, dan bekerja seturut bahasa ala fungsionalisme raksasa sosiolog
Talcot Parsons, yakni: “peran ilmu-ilmu sosial bagi pembangunan”.[42]
Dari alir nalar inilah, karenanya tak mengherankan manakala dalam kritiknya
Soedjatmoko, yang berkembang luas kemudian adalah tradisi “studi-studi pesanan
untuk kepentingan memoles citra kebijakan, demi kelanggengan kekuasaan.
Oleh
karena itu, tatkala muncul seksi wacana kultural baru, seperti budaya dan industri
kreatif ini misalnya, para ilmuwan sosial kita tidak cukup punya kefasihan
analitik untuk memeriksa premisn dan tesisnya. Maka, yang terjadi sekedar
berbondong-bondong histeria menggunakan istilah baru itu. Yang dikejar bukan
refleksi, melainkan dominasi. Dalam kata-katanya Ariel Heriyanto—masih dalam
buku yang sama—bahwa di bawah bayang-bayang jargon developmentalism, sekujur wajah ilmu-ilmu sosial Indonesia akhirnya
menjadi semacam pertukangan, punya daya besar tapi membudak, amat mirip seperti
serdadu, mesin, atau bahkan lebih tepatnya gali.[43]
Kalau
demikian potretnya, maka kaum cendekiawan tampak tak cukup memadai lagi sebagai
rujukan penting bahkan garda terdepan bagi agent of
social and cultural change dan proyek pencerahan, karena
telah menjelma menjadi
komprador-komprador (bromocorah)
utama peradaban. Dalam konteks inilah, kita seolah diingatkan
kembali dengan apa yang diistilahkan sebagai “pengkhianatan kaum cendekiawan”,
yang pernah digugat habis-habisan oleh seorang filsuf Prancis Julien Benda,
pada dekade tahun ’20-an silam.[44]
Industri Kreatif dan Revitalisasi Keilmuan Seni di Perguruan
Tinggi
Di
tengah pudarnya auratik pesona kecendekiawanan kontemporer yang seperti itu,
bukan berarti nyaris tak menyisakan kemungkinan untuk menyemaikan optimisme untuk
menatap risalah kekinian dan terutama masa depan. Dalam konteks kaitannya
dengan disiplin seni, terutama terkait dengan penyikapan secara spesifik terhadap
budaya dan industri kreatif ini misalnya, banyak hal yang kiranya bisa
diupayakan. Ada beberapa yang kiranya sifatnya mendesak karena amat strategis dan
signifikan misalnya: pertama, peneguhan
dan penguatan kembali pelbagai pilar “matriks disiplin” (discipline matrix[45])
keilmuan seni; kedua, pengembangan
kemungkinan interdisipliner dan intradispliner keilmuan seni; dan ketiga, kemungkinan pembangunan
“otentisitas” keilmuan seni yang lebih berbasiskan kearifan lokal kebudayaan
diri.
Pertama,
terkait dengan peneguhan dan penguatan kembali pelbagai pilar matriks disiplin
(discipline matrix) keilmuan seni
ini, kiranya dapat dimaknai sebagai kemungkinan kita secara bersama-sama
melakukan reorientasi dan revitalisasi terkait dengan paradigma kelimuan seni
selama ini, yang sangat mungkin tanpa disadari berada pada jalur
“kelirumologi”. Titik letak “kelirumologi itu, terutama adalah tampak pada
gagalnya pemahaman secara utuh akan disiplin seni kita di perguruan tinggi
selama ini, yang mestinya ditempatkan dalam kerangka matriks disiplin. Kalau
menyoal seni sebagai matriks disiplin, maka keberadaan keilmuan seni itu
keutuhan dan kekokohannya sangat ditentukan paling tidak oleh tiga pilar penyangga
utamanya, yakni pilar: produktif (penciptaan), reproduktif (penyebarserapan),
dan reseptif (penerimaan). Pilar produktif atau wilayah kreasi melibatkan para
kreator atau seniman, sementara pilar reproduktif melibatkan para pengkaji dan
peneliti, sedangkan pilar reseptif adalah ranah yang melibatkan masyarakat dalam
arti yang luas, sebagai basis pendukung utama eksistensi seni itu sendiri.
Hanya
dalam kekokohan interrelasinya yang kuat di ketiga pilar secara holistik itulah,
eksistensi seni di masyarakat itu, benar-benar dapat digaransi. Implikasi
imperatif yang mestinya dapat ditunaikan kemudian adalah, semua pihak dan
elemen, baik yang menyangkut produk, proses, pencipta (seniman), intelektual (peneliti,
kritikus, kurator, pendidik, dan lain sebagainya), dan bahkan masyarakat awam
pendukungnya sekali pun, tidak boleh ada yang lebih superior daripada lainnya,
karena masing-masing berada dalam format perhitungan strategis dalam
keseluruhannya. Oleh karena itu, siapapun yang terlibat dalam jagad seni, bebas
menentukan piliahnnya. Yang jauh lebih penting kemudian adalah, bahwa ketika
pilihan telah ditentukan, pilihan itu sendiri seyogianya tetap disadari selalu
berada dalam pemahaman jejaring yang luas, yang keseluruhannya mengandaikan
tersedianya ruang dan peluang untuk membangut format bertegur sapa secara
bersahaja.
Namun
persoalannya adalah, bahwa dalam pencermatan yang ada, di ketiga pilar itulah,
keilmuan seni selama ini memiliki titik kelemahan yang amat krusial, yakni
ketika perhatian pada ketiga pilar matriks itu ternyata tidak ditempatkan dalam
format keseimbangan, dengan menempatkan kesadaran pada pilar penciptaan menjadi
sesuatu yang amat hegemonik sehingga amat dominan. Sebagaimana diketahui, bahwa
bagaimana pilar penciptaan dalam keilmuan seni kita selama ini telah ditempatkan
nyaris melampaui semesta eksistenti seni itu sendiri, sehingga tampak seperti
menafikkan atau bahkan menegasikan dua pilar yang lainnya, yakni pengkajian dan
penerimaan. Pelbagai dimensi reproduktif yang berbasisikan pengkajian seolah
dianggap sebagai sebentuk ‘sang liyan’ (the
other) dalam perspektif Foucaultian, yang keberadaannya dianggap mirip “kersik
pada karang, atau pun lumut pada lokan” (meminjam nalar lirisnya Goenawan
Mohamad), yang kerapkali tidak pernah diberi harga, karena dianggap sebagai sesuatu
yang sia-sia.
Betapa
fakta empirisi sampai hari ini menegaskan, bahwa yang namanya disiplin seni ini
cenderung dikuras maknanya hanya terkait dengan gebu rasa (emotional desire) yang seolah tak ada sangkut pautnya sama sekali
dengan gebu logika (intellectual desire).
Oleh karena itu tak mengherankan, manakala diandaikan setiap tahun seluruh
perguruan tinggi seni di Indonesia itu misalnya, mampu menghasilkan seribu-an “sarjana
seniman” yang berbasiskan paradigma penciptaan, tetapi tidak untuk satu atau dua
pemikir atau cendekiawan yang berbasiskan tradisi pengkajian dan penelitian.[46]
Fenomena ini akhirnya mengakibatkan implikasi turunan yang amat merusak, baik
secara akademis maupun sosiologis. Secara akademis, wajah keilmuan seni tetap
berada dalam citra sosial yang seolah berada dalam labirin stigmasi abadi,
yakni “lack of discourse and lack of
knowledge”. Ilmu seni adalah ilmu yang paling fakir-miskin di dunia,
sehingga selalu membutuhkan santunan kerohiman kapan saja. Sementara itu secara
sosiologis, dapat ditilik dari salah satu indikator utamanya yakni, bahwa
betapa dari masa ke masa, tingkat keberterimaan seni di masyarakat masih tetap cenderung
rendah, yang disebabkan oleh problem sosialisasi dan apresiasi seni masyarakat
yang rendah pula.
Demikian
pula dalam konteks kaitannya dengan diskursus budaya dan industri kreatif ini, karena
keterbatasan perspektif yang dimiliki, keilmuan seni juga tampak cenderung
berada dalam format kikuk dan gagap untuk menyikapi, sehingga sebagaimana yang
telah disampaikan di atas, bahkan arus utamanya justru sekadar mengafirmasi,
tanpa disertai kajian kritis-reflektif yang relatif memadai.
Kedua,
terkait dengan pengembangan kemungkinan interdisipliner dan bahkan
intradispliner keilmuan, kiranya juga merupakan sebuah persoalan yang krusial
dalam disiplin seni selama ini. Sebagaimana diketahui bahwa mainstream praksis keilmuan seni di
perguruan tinggi selama ini, cenderung tampak dikuras pemaknaannya pada diktum
monodisiplin yang rigid dan kelewat rapi, sebagaimana khasnya dalam tipikal
format tradisi kebudayaan modern yang serba terstrukturasi. Padahal,
sebagaimana diketahui, dalam kaitannya dengan konteks diskursus budaya dan
industri kreatif yang banyak terilhami oleh jiwa zaman post atau pascamodern
ini, telah mengalami pergeseran atau bahkan tepatnya perubahan orientasi
paradigma yang berspiritkan post atau pascastrukturalis, yang lebih menempatkan
kesadaran berpengetahuan dalam bingkai perspektif bukan mono, melainkan
multidisiplin.
Pandangan
ini sekali-kali tidak hendak menegasikan pengupayaan pada core of competence disiplin seni yang bersifat mono, melainkan
lebih pada gagasan betapa pentingnya melengkapinya dengan perpsektifnya multi
tadi. Hal ini kinya juga sejalan dengan spirit yang ada pada teks budaya dan
industri kreatif ini, sebagai situs amalgam baru yang memang disandarkan pada
spirit upaya mengonstruksi kebaruan pengetahuan dengan mempertemukan pelbagai kemungkinan
disiplin dan juga pendekatan tanpa adanya beban kekakuan. Hal ini misalnya,
dapat ditelisik dari risalah hadirnya konsep budaya dan industri kreatif ini
secara sosiologis, yang konon disokong penuh oleh prototipe kelompok generasi baru,
yang mengatribusi dirinya sebagai apa ang diistilahkan sebagai“no colour class”, yaitu generasi yang
tipikal tampak santai, yang lebih suka memakai T-shirt dan tak suka berdasi. Kelompok kelas ini terdiri dari
seniman dari berbagai disiplin, ilmuwan, dan bahkan profesor yang sering
terlihat santai, tetapi sebenarnya selalu serius dalam berfikir dan berkreasi.Pemandangan
ini dapat dikatakan sebentuk antitesis yang secara kontras begitu berlawanan dengan
terminologi generasi kreatif di zaman sebelumnya, yang lebih kerap diistilahkan
sebagai generasi “blue colour” dan “white colour”, yang mengafirmasi faham
monodisiplin yang cenderung amat rapi.
Ketiga,
terkait dengan kemungkinan pembangunan “otentisitas” keilmuan seni, kiranya
juga menjadi persoalan yang juga mendesak untuk disikapi. Berbincang tentang teks
“otentisitas” dalam kaitannya dengan kesenian secara khusus maupun kebudayaan
dalam arti yang luas, sejatinya secara subtantif terkait dengan persoalan utama
yang dikenal dengan risalah “rasa identitas” yang secara ideal disandarkan pada
basis lokalitas. Meski di era revulusi gelombang ketiga yang ditandai demikian
massif-eksplosifnya saling silang informasi, yang menembus pelbagai tapal batas
geografis, bukan berarti yang namanya sebuah teks kesenian dan kebudayaan tak
lagi memerlukan identitas sebagai penanda khasnya.
Dalam
konteks dunia seni, ketika fenomenanya dihadapkan pada tata pergaulan dan tegur
sapa global, apapun bentuk dan wujudnya, nilai-nilai lokalitas (etnis ataupun
trans-etnis) sangat penting keberadaannya, karena sebagaimana dalam pandangan
Suminto A. Sayuti (2014), ia dapat dijadikan modal, benteng, dan sekaligus sebagai paspor utama sang seniman dalam mengkonstruksi identitas melalui
jagat artistik yang diidealkan.[47]
Menjadi modal, karena dengan dan
melaluinya seniman dikenal oleh dan memperkenalkan diri kepada “yang lain”.
Modal budaya merupakan modal dalam berelasi dan berinteraksi dengan “yang
lain,” yang bukan dirinya, liyan, the
others. Pengakuan “yang lain” atas nilai-nilai itu merupakan paspor, yang melegitimasi bahwa secara
kultural sang seniman sah bergaul dan berposisi setara. Proses berelasi dan
berinteraksi dengan “yang lain” itu juga meniscayakan masuknya beragam nilai
secara tak terhindarkan. Dalam kaitan inilah, nilai-nilai lokalitas berfungsi
sebagai benteng. Begitulah kira-kira
alir nalar kulturasi perihal pentingnya otentisitas yang berbasiskan
nilai-nilai lokal diri.
Namun
yang menjadi catatan persoalan adalah, bahwa betapa yang dinamakan entitas nilai-nilai
lokalitas sebagai modal, benteng, dan sekaligus sebagai paspor utama untuk
mengontstruksi identitas jagad seni dan estetika keindonesiaan selama ini,
dapat dikatakan sejak sangat lama telah roboh, tumbang dan karenanya sering
diratapi. Pelabagi proses persemukaan, persinggungan, dan “persetubuhan” budaya
dengan para “yang lain” dan terutama Barat, betapa telah memporakporandakan
nilai-nilai dan sukma lokalitas yang yang dimiliki kebudyaan ini selama ini.
nilai-nilai lokalitas itu, dalam konteks keindonesiaa, terutama adalah nilai-nilai
yang berbasiskan filsafat ketimuran. Dalam konteks hari-hari kekinian, betapa
nilai-nilai filsafat seni dan budaya ketimuran itu, telah ditaklukkan sempurna
dalam sergapan nilai-nilai filsafat Barat yang datang belakangan.
Fenomena
ini dapat diverifikasi dengan sempurna, misalnya dengan menunjuk pada risalah
tentang semesta perkembangan seni rupa Indonesia (termasuk semua cabang seni
lainnya) misalnya, yang sampai hari ini tak pernah sedikit pun dapat dipisahkan
risalahnya dari wacana perkembangan seni rupa yang ada di Barat. Hal ini dapat
dirunut misalnya dari sejak awal risalah perkembangan seni rupa modern masuk ke
Indonesia dengan tonggak utamanya Raden Saleh, kemudian berlanjut ke Mooi
Indië, Persagi, Gerakan Seni Rupa Baru, bahkan sampai pada memasuki perjalanan
era kontemporer, betapa menunjukkan bahwa keseluruhan proses perubahan yang ada
itu, tidak satu pun dapat dipisahkan dari pola-pola yang ada di mainstream seni Barat.[48]
Oleh
karena itulah, tak mengherankan manakala perbincangan yang terkait dengan para
tokoh dalam wacana estetika beserta narasi besarnya di Indonesia misalnya,
nyaris semuanya adalah berisi tentang daftar para filsuf Barat Barat, seperti:
Socrates, Plato, Aristoteles, Plotinus, Agustinus, Thomas Aquinas, Baumgarten,
Kant, Tolstoy, Croce, Collingwood, Santayana, Gasset, Langer, Bell, dan lain
sebagainya. Sebaliknya nyaris tak ditemukan sama sekali tokoh-tokoh filsuf
lokal seperti yang diwakili oleh para empu misalnya, seperti: Kanwa, Panuluh,
Prapanca, Ranggawarsita, dan lain sebaginya, yang sebenarnya telah banyak
menghasilkan karya pemikiran yang tak kalah hebatnya jika dibandingkan dengan
yang berasal dari Barat sana.
Bahkan
dalam skala dan spektrum yang luas, ketika badai globalisasi dengan dukungan
revolusi teknologi informasi dan komunikasi di era modern dan postmodern kini,
yang membuat itensitas kontak dan perjumpaan dengan Barat semakin dramatik,
membuat risalah ketakberdayaan dan ketergantungan terhadap segala nilai yang
berasal dari Barat yang diidap sekujur wajah dan tubuh bangsa ini, seolah
menjadi kian sempurna dan tak terperi. Hal ini dapat disaksikan betapa, seolah
nyaris tak ada infrastruktur atau pranata peradaban secuil pun di negeri
ini—baik di tingkat ideofact, sociofact, maupun artifact—yang bisa ditarik jaraknya, meski hanya beberapa centi,
dari situs pengaruh Barat, karena dianggap lebih bermakna dan berarti. Barat, akhirnya
menjadi semacam kutukan obsesi, yang
melampaui akan hasrat dan keinginan apa pun, dalam proses kinerja kulturasi
dalam kebudayaan dan juga berkesenian kontemporer di negeri ini. Bersandar pada
fakta inilah, sejarawan Bambang Purwanto memberikan istilah, sebagai sebentuk
potret kegagalan bangsa ini dalam mengonstruksi histori
dan historiografi yang Indonesiasentris.[49]
Kenyataan
pahit dan buram itu seolah menyiratkan, bahwa kita sebagai bangsa seolah tak
mempunyai sama sekali modal dan kekuatan seni dan budayanya. Padahal tidak
demikian adanya. Sekadar sebagai contoh misalnya, pelbagai bukti otentik jauh
di masa silam bahkan ketika kita ini masih berada dalam alam pra-Indonesia,
menunjukkan betapa kita pernah memiliki riwayat kejayarayaan kesenian dan
kebudayaan, bahkan ketika di saat itu bangsa dan kebudayaan ini sama sekali belum
ada kontak dan perjumpaan dengan peradaban Barat sebagaimana yang terjadi hari
ini. Pelbagai puncak pencapaian karya seni budaya terbaik masa silam, baik yang
berbasis di kurun historis “Jawa tua” yang berpusat di Jawa Tengah maupun yang
ada di “Jawa muda” yang berbasis di Jawa Timur, seperti candi, batik, gamelan,
keris, wayang, dan lain sebagainya, yang kemudian diakui UNESCO dalam Daftar
Representatif Karya Agung Budaya Lisan dan Tak Benda Warisan Manusia (Masterpieces of the Oral and Intangible
Heritage of Humanity), yang manakal usianya kalau ditarik garis sampai hari
ini sudah lebih dari 1000 tahun itu, adalah sebagai bukti otentik tentang
identitas kebesaran kesenian dan kebudayaan bangsa kita di masa lalu yang tak
diragukan lagi adanya.
Fenomena
itu tidak hanya ada di Jawa yang memang sejak dahulu sebagai basis utama dari
entitas budaya Indonesia, melainkan ada tersebar di seantero Nusantara. Di
Sulawesi misalnya, terdapat peninggalan karya sastra kuna milik masyarakat
Bugis Makasar, yang dikenal dengan I La
Galigo, adalah salah satu karya sastra terbesar di dunia sepanjang masa,
yang melampaui karya-karya seperti Mahabharata
dan Ramayana dari India, mapun karya
paling monumental dalam sejarah sastra Yunani klasik, misalnya Odyssey dan Illiad karya Homerus misalnya[50]
Dan masih banyak contoh yang lainnya, sebanyak jumlah etnis dan kekayaan seni
dan budayanya yang kita miliki di seantero Nusantara.
Akibat
kegagalan membangun otentisitas seni dan estetika yang berbasis lokalitas
kenusantaraan ini adalah betapa akhirnya semesta jagad kesenian dan kebudayaan
kita kekinian telah gegar berantakan, karena terlampau sindrom oleh nilai-nilai
yang berasal dari luar terutama Barat yang terlanjur dianggap lebih
menakjubkan. Gambaran perihal ini, kiranya dapat diverifikasi dalam konteks
diskursus budaya dan industri keratif yang mengarusutama dalam kebudayaan kita
akhir-akhir ini.
Oleh
karena itulah kemungkinan pelbagai upaya untuk terus melakukan reorientasi dan
revitalisasi disiplin seni di perguruan tinggi, diharapkan keberadaan keilmuan
seni, baik yang murni (yang berbasiskan
spirit textual/essential justification)
maupun kependidikan (yang berbasiskan contextual justification)[51]”
di kesempatan yang akan datang lebih dapat dikerangkai secara lebih memadai. Jika
posisi dan peran disiplin seni di perguruan tinggi bisa direorientasi dan
direvitalisasi, paling tidak pada ketiga hal pokok sebagaimana disampaikan
tadi, maka kemungkinan harapan untuk pelbagai impian pencerahan, termasuk dalam
konteks kasus wacana budaya dan industri kreatif, akan menjadi semakin jelas
untuk dikerangkai.
Penutup
Itulah kiranya beberapa catatan yang bisa dipertimbangkan untuk
kemungkinan dijadikan referensi rujukan dissenting
opinion atas histeria merayakan seksi baru tentang budaya dan industri kreatif, terutama
dalam konteks kaitannya dengan ranah seni ini, ketika mainstream-nya yang ada cenderung banyak yang mengamini. Pandangan
dari sisi lain ini sama sekali tidak dalam kerangka menolak sama sekali dengan
hadirnya budaya dan industri kreatif, karena setiap perubahan sosial dan budaya
kapan pun itu memang selalu memiliki dua sisi, baik positif maupun negatif.
Terkait dengan sisi positifnya budaya dan industri kreatif terutama terkait
dengan diktum spiritnya yang banyak disandarkan pada kreativitas sumber daya
manusia yang tak terbatas, yang dapat menjawab tentang risalah ketakutan
manusia akan keterbatasan yang ada pada alam semesta. Sementara itu, sisi
negatifnya adalah, sebagaimana yang telah disampaikan di atas, terutama arus utamanya
yang cenderung mendestruksi kodrat atribusi
kemanusiaan manusia itu hanya semata-mata sebagai “homo economicus”[52]
yang membudak pada yang material sifatnya.
Dalam konteks ini pula kiranya kesadaran kita perlu diingatkan kembali,
bahwa yang namanya diktum ekonomi yang kelewat materialistik
untuk menopang “need of physiological” itu
sebagaimana yang jauh-jauh hari disampaikan oleh Maslow[53]
(dalam Ryckman, 2013:301) hanyalah bagian dari kebutuhan
kemanusiaan yang paling permukaan; karena di atasnya masih ada lagi hierarki yang lebih tinggi yang lebih signifikan, yakni
nilai-nilai, baik nilai moral bahkan ke-Ilahian. Keterjagaan kesadaran ini kiranya
teramat penting adanya, terutama ketika seni pada hari ini terpaksa kepergok
dan harus berhadapan dengan watak dan tabiat budaya dan industri kreatif yang
narasinya nggegirisi tadi. Harapannya
adalah, seni dengan segala keyakinan nilai-nilai yang dimilikinya dapat mampu manjing jroning kahanan (menempatkan diri yang terbaik); agar tidak
menjadi objek dan bulan-bulanan; melainkan kalau bisa menjadi subjek yang
menentukan.
Meski kita menyadari dengan sepenuh-penuhnya bahwa, ketika segala
aktivitas kehidupan kini cenderung dikelola dengan berdasarkan nalar
ilmiah-teknologis yang memuja perhitungan, objektivitas, efisiensi, dan terutama materi, memandang seni memang terasa bagai sesuatu yang trivial, sesuatu kesia-sian, berlebihan,
atau bahkan kegenitan.[54] Dalam konteks ini, tentu kita segera sepakat untuk tidak menyepakati.
Alasannya sederhana, karena dengan seni, konon membuat kita
bisa kehilangan dan
sekaligus menemukan diri.[55]
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Sheikh Mushtaq.
1991. Existential
Aesthetics: A Study of Jean-Paul Sartre’s Theory of Art and Literatur. Nes Delhi: Atlantic
Publishers & Distri.
Allen, Graham. 2000. Intertextuality.
London: Routledge.
Australia Department of Communications and the Arts. 1994. Creative
Nation: Commonwealth Cultural Policy.
Canbera: Australia Department of Communications and the Arts.
Barrowclough. 2012. Creative
Industries and Developing Countries: Voice, Choice and Economic Growth.
London: Routledge.
Benda, Julien. 2009. The
Treason of the Intellectuals. Traslated by Richard Aldington. Fourth
Paperback Printing. Piscataway, New Jersey:Transaction Publishers.
Budyatna, M. 2005. “Pengembangan Sistem Informasi: Permasalahan
dan Prospeknya”, dalam Komunika (Warta
Ilmiah Populer Komunikasi dalam Pembangunan), (Vol. 8, No. 1), 2.
Burhan, M. Agus. 2006. “Seni Rupa Kontemporer Indonesia:
Mempertimbangkan Tradisi”, dalam Jaringan Makna Tradisi Hingga Kontemporer:
Kenangan Purna Bhakti untuk Prof. Soedarso Sp., M.A. Yogyakarta: BP ISI
Yogyakarta.
Coates David & Peter Augustine Lawler (eds.). 2000. New Labour in Power. Manchester, UK:
Manchester University Press.
Department of
Communications and the Arts. 1994. Creative Nation:
Commonwealth Cultural Policy. Canbera: Australia Department of Communications and the Arts.
Dixon, William
& David Wilson. 2013. A History of Homo Economicus: The
Nature of the Moral in Economic Theory. London: Routledge.
Edensor, Deborah Leslie, Steve
Millington, & Norma Rantisi. 2009. Spaces of Vernacular Creativity: Rethinking the Cultural Economy. London:
Routledge.
Flew, Terry. 2012. The Creative Industries: Culture and
Policy. London: Sage
Publication.
Florida,
Richard. 2003. The
Rise of the Creative Class: And How It's Transforming Work, Leisure, Community
and Everyday Life. New Zealand: Hazard Press.
__________. 2005. Cities and the Creative Class. London, UK: Routledge.
Foucault, Michel. 1980. Power/Knowledge: Selected Interviews
and Other Writings, 1972-1977. New York: Pantheon
Books.
Friedrichs, Robert Winslow. 1970. A
Sociology of Sociology. New York: Free Press.
Galloway, Susan &
Stewart Dunlop. 2007. “A
Critique of
Definitions of
the
Cultural and
Creative Industries in
Public Policy”. International Journal of Cultural
Policy, Volume 13, Issue 1.
Gibson, C. and Klocker, N. 2004, Academic Publishing as ‘Creative’ Industry,
and
Recent Discourses of
‘Creative Economies’: Some Critical Reflections. Area Journal, Volume 36, Issue 4; 423–434.
Giddens, Anthony. 1991. The Third Way. Hoboken, New Jersey, USA: Wiley.
Hadiz, Vedi R. & Daniel Dhakidae (eds.). 2005. “Introduction”, Social Science
and Power in Indonesia. First Published. Jakarta & Singapore: Equinox Publishing and Institute of Southest Asian Studies
Singapore.
Hartoko, Dick (ed.). 1980. Golongan
Cendekiawan Mereka yang Berumah di Angin: Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: PT
Gramedia.
Heriyanto, Ariel
“Ideological Baggage and Orientations of the Social Science in Indonesia”, in Vedi R. Hadiz and Daniel Dhakidae (eds.), Social Science and Power in Indonesia. First Published. Jakarta, Singapore: Equinox Publishing and Institute of Southest Asian
Studies Singapore.
Hesmondhalgh, David. 2007. The Cultural Industries. London: Sage
Publication.
Holquist, Michael.2003. Dialogism:
Bakhtin and His World. London: Routledge.
Howkins, John. 2001. Creative Economy, How
People Make Money from Ideas. City of Westminster, London, UK: Penguin.
Howson, Richard & Kylie Smith (eds.). 2008. Hegemony: Studies in Consensus and Coercion.
London: Routledge.
Instruksi
Presiden No. 6 Tahun 2009 tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif.
Jin, Dengjian. 2016. The
Great Knowledge Transcendence: The Rise of Western Science and Technology
Reframed.London: Springer.
Jones, Phil
& Saskia
Warren. 2015. Creative Economies, Creative
Communities: Rethinking Place, Policy and Practice. Farnham, UK: Ashgate
Publishing, Ltd.
Kaplan Louise J. 2008. Culture of Fetishism. London, UK: Palgrave
Macmillan.
Keele, Mike Savage. 2013. Social
Change And The Middle Classes. London: Routledge.
Kerrigan, Finola Peter Fraser, & Mustafa Ozbilgin. 2007. Arts Marketing. London: Routledge.
Kuhn, Thomas S. 2012. The
Structure of Scientific Revolutions: 50th Anniversary Edition.
Chicago, USA: University of Chicago Press.
Laksono, PM. 2005. “Social Science and Association”, in Vedi R. Hadiz and Daniel Dhakidae (eds.), Social Science and Power in Indonesia. First Published. Jakarta, Singapore: Equinox Publishing and Institute of Southest Asian
Studies Singapore.
Lazzeretti, Luciana. 2012. Creative Industries and Innovation in Europe: Concepts, Measures and
Comparative Case Studies. London: Rotledge.
Lundberg, Craig C. & Cheri
Ann Young, (2005). “Part Two: The Philosophical Context of Inquiry, in Foundations for Inquiry: Choices and Trade-offs in the
Organizational Sciences. California, USA: Stanford
University Press.
McGuigan, Jim. 2009. Cool
Capitalism. New York: Pluto Press.
Merton, Thomas. 2005. “Conscience
Freedom and Prayer”, in No Man is an Island. Colorado, USA: Shambhala Publications.
Michelsen, Anders. 2014. “What Kind of Economics? on the
Topologies of Aesthetic Capitalism”, in Eduardo de la Fuente & Peter Murphy (eds.).
Aesthetic
Capitalism. Leiden, Netherlands: BRILL Publisher.
Miller, Toby. 2009. “From Creative to Cultural Industries”. Cultural Studies Journal, Volume 23, Issue 1, 2009; 88-99.
Moeran, Brian & Jesper
Strandgaard Pedersen. 2011. Negotiating Values in the Creative Industries: Fairs, Festivals
and Competitive Events. Cambridge, UK: Cambridge University Press.
O’Connor,
Justin, 2000. “The Definition of the ‘Cultural Industries’”. The European Journal of Arts Educatio, Vol. 2, No. 3, February 2000; 15-27.
Oakley, Kate. 2004.”
Not So Cool Britannia The
Role of the Creative Industries in Economic Development”. International Journal of Cultural Studies; March 2004 vol. 7 no. 1; 67-77.
Pang, Laikwan. 2012. Creativity and Its Discontents:
China’s Creative Industries and Intellectual Property Rights Offenses. Durham, North
Carolina, USA: Duke
University Press.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun
2015 tentang Badan Ekonomi Kreatif.
Porter, Roy (ed.). 2003. The
Cambridge History of Science: Volume 4, Eighteenth-Century Science.
Cambridge, England: Cambridge University Press.
Potts, Jason. 2011. Creative Industries and Economic
Evolution.
Cheltenham, UK: Edward
Elgar Publishing.
Purwanto, Bambang. 2006. Gagalnya
Historiografi Indonesiasentris?! Cetakan Pertama. Yogyakarta: Ombak.
Ryckman, Richard. 2012. Theories of Personality. Boston, USA: Cengage Learning.
Sachari, Agus. 202. Estetika.
Bandung: Penerbit ITB.
Sayuti, Suminto. A. 2014. “Seni dan Pendidikan Seni: Gelanggang
Konstruksi Identitas”. Proceeding The 1st International
Conference for
Arts and Arts Education on Indonesia, Universitas Negeri Yogyakarta,
5-6
Maret.
Schindler, Ronald Jeremiah. 1998. The Frankfurt School Critique of Capitalist Culture: A Critical Theory
for Post-Democratic Society and Its Re-Education. Farnham, United Kingdom:
Ashgate.
Singh, J.
P. 2014. Globalized
Arts: The Entertainment Economy and Cultural Identity. New York: Columbia
University Press.
Stevenson, Deborah 2013. Cities of Culture: A Global
Perspective. London: Routledge.
Sugiharto,
Bambang. 2013. Untuk Apa Seni?
Bandung: Pustaka Matahari.
Todorov, Tzvetan. 1984. Mikhail Bakhtin: The Dialogical Principle.
Manchester, UK: Manchester University Press.
Toffler, Alvin. 1991. Power
Shift: Knowledge, Wealth, and Violence at the Edge of the 21st Century. New
York: Bantam Books.
Wahrman,Dror. 1995. Imagining
the Middle Class: The Political Representation of Class in Britain, C.1780-1840.
Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Wallace, Anthony F. C. 2003. Essays on Culture Change. Lincoln, Nebraska: University of
Nebraska Press.
Warren, Saskia & Phil Jones. 2016. Creative Economies, Creative Communities: Rethinking Place, Policy and
Practice. London: Routledge.
Wiggershaus, Rolf. 1995. The
Frankfurt School: Its History, Theories, and Political Significance.
Cambridge, Massachusetts: MIT Press.
Wolff, Janet. 1993. The Social Production of Art. New York:
New York: New York University Press.
Worton, Michael & Judith Still (eds). 1991. Intertextuality:
Theories and Practices. Manchester, UK: Manchester University Press.
Zhao, Mei
& Kai Yung Tam. 2015. “The Need for Effective Cross-Cultural Communication
in Creative Industries: Two Case Studies”, in Teen-Hang
Meen, Stephen Prior, Artde Donald Kin-Tak Lam (eds.). Innovation in Design, Communication
and Engineering: Proceedings of the 2014 3rd International Conference on
Innovation, Communication and Engineering (ICICE
2014), Guiyang, Guizhou, P.R. China, October 17-22, 2014. Boca Raton,
Florida, USA: CRC
Press.
[1]Disampaikan
pada acara Kuliah Tamu, “Pendidikan
Seni: Peran dan Kontribusi Bagi Dunia Industri Kreatif”, di Jurusan Seni dan
Desain, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang, Tanggal 17 April 2017.
Beberapa pokok pikiran ini dikembangkan dari tulisan yang pernah disertakan
pada Seminar Nasional Peran Strategis
Seni Budaya dalam Membangun Kota Kreatif,
berjudul “Seni dan Industri Kreatif: Risalah Ketika Estetika di Bawah Kuasa
Ekonomi Sebagai Panglima”, di Jurusan Seni dan Desain, Fakultas Sastra,
Universitas Negeri Malang, 29 Oktober
2015.
[2]Dosen
Jurusan Pendidikan Seni Rupa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri
Yogyakarta; Alumni Jurusan Pendidikan Seni Rupa, IKIP Malang. E-mail
korespondensi: kasiyan@uny.ac.id
[3] Dengjian
Jin, The Great Knowledge Transcendence:
The Rise of Western Science and Technology Reframed (London: Springer,
2016).
[4] Meski kemudian dalam waktu yang tak begitu
lama, identitas kementerian itu kemudian dihapus. Teks industri kreatif,
kemudian dimasukkan dalam sebuah badan yang dinamakan Badan Ekonomi Kreatif,
yang dibentuk melalui Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 6 Tahun 2015 tentang Badan Ekonomi Kreatif.
[5]
Rumusan tentang pengkategorisasian subsektor industri kreatif tersebut, adalah
merujuk pada konsep industri kreatif yang terutama dikembangkan di Inggris
melalui Department of Culture, Media and Sport (DCMS) yang mendirikan Creative Industries Task Force pada
tahun 1998.
[6]
Sebagai gambaran misalnya, dalam struktur perekonomian Indonesia, industri
kreatif diyakini memiliki kontribusi melalui sebuah sistem yang disebut ekonomi
kreatif, yang konon katanya mengalami peningkatan sebesar 5% dari tahun ke
tahun. Indikatornya dilihat misalnya dari sisi
pendapatan domestik bruto (PDB) ekonomi kreatif, yang tercatat sekitar
185 triliun rupiah di 2010 dan 215 triliun rupiah di 2013. Pada periode yang
sama, industri kreatif rata-rata dapat menyerap tenaga kerja sekitar 10,6% dari
total angkatan kerja nasional. Pertumbuhan jumlah usaha di sektor industri
kreatif pada periode 2010-2013 pun meningkat sebesar 1%. Pada 2014 jumlah
industri kreatif yang tercatat adalah sebanyak 5,4 juta usaha. Industri ini
menyerap tenaga kerja tidak kurang dari 12 juta orang (Kementrian Pariwisata
dan Ekonomi Kreatif, 2014:xvii).
[7]
Konsep tentang homo sapiens ini,
pertama kali digagas oleh Carolus Linnaeus, seorang ahli botani Swedia, yang
pada tahun 1735 melalui publikasinya yang berjudul Systema Naturae memberi nama formal spesies manusia itu sebagai wise man atau homo sapiens. Periksa Roy Porter (ed.), The Cambridge History of Science: Volume 4, Eighteenth-Century Science
(Cambridge, England: Cambridge University Press,
2003), 206.
[8]
C. Gibson & Klocker, N., “Academic Publishing as ‘Creative’ Industry, and Recent
Discourses of
‘Creative Economies’: Some Critical Reflections” (Area Journal, Volume 36, 2004, Issue 4; 423).
[9]
Brian Moeran & Jesper
Strandgaard Pedersen.. Negotiating
Values in the Creative Industries: Fairs, Festivals and Competitive Events (Cambridge, England: Cambridge
University Press, 2011)
[10]
Periksa Deborah Stevenson, Cities of Culture: A Global Perspective (London: Routledge, 2013).
[11]
Periksa Creative
Nation: Commonwealth Cultural Policy
(Canbera: Australia Department of Communications
and the Arts, 1994).
[12]
Barrowclough, Creative Industries and
Developing Countries: Voice, Choice and Economic Growth (London: Routledge,
2012). Periksa juga David Coates & Peter Augustine Lawler (eds.), New Labour in Power (Manchester University
Press, 2000).
[13]
Konsep Periksa Anthony Giddens, The Third Way
(Hoboken, New Jersey, USA: Wiley, 1991).
[14]
John Howkins, The Creative Economy: How People
Make Money from Ideas (London, UK: Penguin, 2013).
[15]
Richard Florida, The Rise of the Creative
Class: and How It's Transforming Work, Leisure, Community and Everyday Life
(New Zealand: Hazard Press, 2003); Periksa juga Richard Florida, Cities and the Creative Class (London,
UK: Routledge, 2005).
[18] Alvin
Toffler menganalis sejarah perkembangan masyarakat secara mendasar ke dalam
tiga gelombang, yakni: ‘gelombang pertama’ (first
wave), sebagai masyarakat agraris, yang ditandai dengan model komunikasi
dominan yang dilakukan secara lisan, dari mulut ke mulut; ‘gelombang kedua’ (second wave), merupakan masyarakat
industrialis, dengan bentuk komunikasi yang dominan dilakukan dengan
menggunakan media massa konvensional, yang audiensnya cenderung pasif; dan
‘gelombang ketiga’ (third wave),
yakni merupakan masyarakat informatif, dengan bentuk komunikasi yang dilakukan
dengan menggunakan teknologi media massa yang semakin canggih dan sifatnya
interaktif berbasis web jaringan. Selengkapnya periksa Alvin Toffler, Power Shift: Knowledge, Wealth, and Violence
at the Edge of the 21st Century (New York: Bantam Books, 1991). Ada
beberapa tonggak historis penting yang mendukung revolusi gelombang ketiga ini,
yang terutama ditopang penuh oleh ‘revolusi digital’. Pertama diketemukannya
teknologi mainframe computer oleh
University of Pennsylvania tahun 1946;
Kedua, diketemukannya microprocessor
pada tahun 1971 oleh Ted Hoff di Intel
Corporation, sebuah perusahaan Silicon
Valley Microelectronics; dipasarkannya microcomputer
pada tahun 1975; dan ketiga, diketemukannya microchips
oleh Andrew Steven Grove, Chairman and
CEO of Intel Corporation pada tahun 1997. Penemuan microchips menyebabkan munculnya apa yang dinamakna ‘Era Tera’, di
mana pada era ini, digital
bits-per-second dalam teknologi komputer diukur dalam trilyun, bukan lagi
dengan mega (millions) atau giga (billions). Temuan ini menyebabkan
komunikasi global mengalami ekspansi eksplosif luar biasa mengejutkan, baik
dalam kapasitas maupun kecepatan. Berdasarkan akumulatif ‘revolusi digital’
itulah, ‘Revolusi Gelombang Ketiga’, merupakan hasil perpaduan dari
perkembangan telekomunikasi, komputerisasi, dan digititalisasi. Selengkapnya
periksa M. Budyatna, “Pengembangan Sistem Informasi: Permasalahan dan
Prospeknya”, dalam Komunika (Warta Ilmiah
Populer Komunikasi dalam Pembangunan), (Vol. 8, No. 1, 2005), 2.
[19]
Genealogi berasal
dari bahasa Yunani genea:
"keturunan" dan logos,
"pengetahuan", yang makna harfiahnya adalah kajian tentang keluarga
dan penelusuran jalur keturunan serta sejarahnya. Dalam konteks kultur Jawa,
genealogi ini dapat disamakan maknanya dengan pemahaman tentang “sangkan paraning dumadi”. Istilah
genaologi ini kemudian menjadi salah satu perspektif kritis, yang diperkenalkan
oleh Foucault dalam konteks kajian tentang risalah atau sejarah pengetahuan,
terutama dalam kaitannya dengan wacana kekuasaan. Perspektif genealogis
Foucaultian ini, kiranya menarik sebagai pisau analisis yang dikenakan pada
kajian industri kreatif, terutama untuk menelusuri pelbagai lingkar jejaring
kuasa yang menyelimutinya, untuk kemudian dijadikan sebagai salah satu pijakan
dasar sebagai bekal dalam menyikapinya.
[20]
Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings,
1972-1977. (New York: Pantheon
Books, 1980).
[21]
Konsep “intertekstualitas” ini, pertama kali diperkenalkan oleh Julia Kristeva, seorang
pemikir poststrukturalis Prancis, dalam buku Revolution in Poetic Language
(1974) dan Desire in Language: A Semiotic Approach to Literature And Art
(1979). Periksa Michael Worton & Judith Still (eds), Intertextuality: Theories and Practices (Manchester, England:
Manchester University Press, 1991). Periksa juga Graham Allen, Intertextuality (London, Routledge, 2000).
[22] Michael
Holquist, Dialogism: Bakhtin and His
World (London: Routledge, 2003). Periksa juga Tzvetan Todorov, Mikhail Bakhtin: The Dialogical Principle
(Manchester, England: Manchester University Press, 1984).
[23]
Luciana Lazzeretti,. 2012. Creative Industries and Innovation in
Europe: Concepts, Measures and Comparative Case Studies (London: Rotledge, 2012), 237.
[24] Toby Miller, “From Creative to Cultural Industries”. Cultural Studies Journal, Volume 23, Issue 1, 2009; 88-9.
[25] Periksa
Rolf Wiggershaus, The Frankfurt School:
Its History, Theories, and Political Significance (Cambridge,
Massachusetts: MIT Press, 1995). Periksa juga Ronald Jeremiah Schindler, The Frankfurt School Critique of Capitalist
Culture: A Critical Theory for Post-Democratic Society and Its Re-Education
(Farnham, United Kingdom: Ashgate, 1998).
[26]
Justin O’Connor, “The Definition of the ‘Cultural Industries’”. The European Journal of arts Education, Vol. 2, No. 3, February 2000; 15-27.
[28]
Edensor, Deborah Leslie, Steve Millington, & Norma
Rantisi, Spaces
of Vernacular Creativity: Rethinking the Cultural Economy (London: Routledge,
2009), 90.
[29] Fenomena
kultural semacam inilah yang diistilahkan oleh Gramscy sebagai persoalan “hegemony”. Dalam kultur hegemoni,
pelbagai praktik kekuasaan terutama tidak dijalankan dengan modus kekerasan atau
coercive, melainkan dengan konsensus
kesadaran yang dijalankan secara persuasive.
Periksa Richard Howson & Kylie Smith (eds.), Hegemony: Studies in Consensus and Coercion (London: Routledge,
2008).
[30] Susan
Galloway & Stewart Dunlop. “A Critique of Definitions of the Cultural and
Creative Industries in Public Policy”. International
Journal of Cultural Policy, Volume 13, Issue 1, 2007.
[31]
Jason Potts, Creative Industries and Economic Evolution
(Cheltenham, UK: Edward
Elgar Publishing, 2011), 2.
[32]
Laikwan Pang, Creativity
and Its Discontents: China’s Creative Industries and Intellectual Property
Rights Offenses (Durham,
North Carolina, USA: Duke
University Press, 2002), 2.
[33]
Anders Michelsen, “What Kind of Economics? On the
Topologies of Aesthetic Capitalism”, in Eduardo de la Fuente & Peter Murphy (eds.).
Aesthetic
Capitalism (Leiden, Netherlands: BRILL Publisher,
2014),63.
[35] Finola Peter Fraser Kerrigan & Mustafa Ozbilgin. 2007. Arts Marketing. London: Routledge,
2007), 140.
[36] J. P.
Singh, Globalized Arts: The Entertainment
Economy and Cultural Identity (New York: Columbia University Press, 2014)
[37] Saskia
Warren & Phil Jones, Creative
Economies, Creative Communities: Rethinking Place, Policy and Practice
(London: Routledge, 2016), 176.
[38] Suminto
A. Sayuti, “Seni dan Pendidikan Seni: Gelanggang Konstruksi Identitas”. Proceeding The 1st International Conference
for Arts and Arts Education on Indonesia, Universitas Negeri Yogyakarta,
5-6 Maret 2014.
[39] Periksa
Mike Savage Keele University (Social
Change And The Middle Classes (London: Routledge, 2013). Periksa juga Dror
Wahrman, Imagining the Middle Class: The
Political Representation of Class in Britain, C.1780-1840 (Cambridge, UK:
Cambridge University Press, 1995).
[40]
Periksa Dick Hartoko (ed.), Golongan
Cendekiawan Mereka yang Berumah di Angin: Sebuah Bunga Rampai (Jakarta: PT
Gramedia, 1980).
[41]
Periksa Vedi R. Hadiz
and Daniel Dhakidae, “Introduction”, in Vedi R. Hadiz and Daniel Dhakidae
(eds.), Social Science and Power in
Indonesia. First Published (Jakarta, Singapore: Equinox Publishing and
Institute of Southest Asian Studies Singapore, 2005),
2, 24.
[42] PM
Laksono, “Social Science and Association”, in Vedi R. Haiz and Daniel Dakhidae,
221.
[43] Ariel
Heriyanto, “Ideological Baggage and Orientations of the Social Science in
Indonesia”, in Vedi R.
Hadiz and Daniel Dakhidae, 66.
[44] Periksa
Julien Benda, The Treason of the
Intellectuals. Traslated by Richard Aldington. Fourth Paperback Printing (Piscataway,
New Jersey:Transaction Publishers, 2009). Buku ini terbit pertama kali dalam
bahasa Prancis, berjudul La Trahison de
Clercs, tahun 1927.
[45] Istilah
“matriks disiplin”, diperkenalkan oleh Thomas S. Kuhn, yang maknanya terkait
dengan konstruksi “paradigma”, yakni merupakan satu set asumsi, konsepsi,
nilai-nilai, dan keyakinan yang menyediakan kerangka
filosofis dan konseptual tertentu dan dipegang bersama untuk menghadirkan
pemahaman yang utuh terkait realitas sosial tertentu. Periksa Thomas S.
Kuhn, The Structure of Scientific
Revolutions: 50th Anniversary Edition (Chicago, USA: University of Chicago
Press, 2012).
[46] Untuk
melengkapi terkait dengan risalah keprihatinan dalam konteks ini, di antaranya
dapat disampaikan, betapa ironisnya ketika fakta menunjukkan bahwa, sampai hari
ini di seluruh perguruan tinggi seni di Indonesia tidak atau belum berhasil
melahirkan seorang pun profesor dalam bidang estetika atau filsafat seni,
sebagai salah satu bidang kajian yang dapat dikatakan intinya dari keilmuan
seni ini.
[47] Suminto
A. Sayuti, “Seni dan Pendidikan Seni: Gelanggang Konstruksi Identitas”, Makalah
yang disumbangkan untuk The 1st
International Conference of Arts and Arts Education on Indonesia,
Universitas negeri Yogyakarta, 5-6 Maret
2014.
[48] M. Agus
Burhan, “Seni Rupa Kontemporer Indonesia: Mempertimbangkan Tradisi”, dalam
Jaringan Makna Tradisi Hingga Kontemporer: Kenangan Purna Bhakti untuk Prof.
Soedarso Sp., M.A. (Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta, 2006), 275.
[49] Bambang
Purwanto, Gagalnya Historiografi
Indonesiasentris?! Cetakan Pertama (Yogyakarta: Ombak, 2006).
[50]Nurhayati
Rahman dan Sri Sukesi Adiwimarta (eds.), Antologi
Sastra Daerah Nusantara: Cerita Rakyat Suara Rakyat. Edisi Pertama
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999). Periksa juga Sirtjo Koolholf, “The
Sleeping Giant: Dynamics of a Bugis Epic (South Sulawesi, Indonesia)“, in Jan
Jansen & Hendrik M. J. Maier (eds), Epic
Adventures: Heroic Narrative in the Oral Performance Traditions of Four
Continents (Münster-Hamburg-Berlin-Wi Germany: LIT Verlag Münster, 2004).
[51] Meminjam
terminologinya A.J. Soehardjo, dalam Pendidikan
Seni: Dari Konsepsampai Program. Buku Satu. Cetakan Pertama (Malang: Balai
Kajian Seni dan Desain, Jurusan Seni dan Desain, Fakultas Sastra, Universitas
Negeri Malang, 2006).
[52]
William Dixon & David
Wilson. A History of Homo Economicus: The
Nature of the Moral in Economic Theory (London: Routledge,
2013).
[55] “Art enables us to find ourselves and lose ourselves
at the same time”. Periksa Thomas Merton,“Conscience
Freedom and Prayer”, in No Man is an Island (Colorado, USA: Shambhala Publications, 2005).
Langganan:
Postingan (Atom)
cara melihat kata kunci populer di google
Anda dapat melihat kata kunci populer di Google dengan menggunakan Google Trends. Berikut ini adalah cara melihat kata kunci populer di Goog...
-
A. Apresiasi Seni Rupa Apresiasi seni merupakan sebuah sikap di mana seseorang mampu untuk melihat dan menghargai seni secara menyelur...
-
Kesenian bara dianggap mempunyai sifat-sifat yang berorientasi pada perkembangan atau pembaharuan sedangkan kesenian timur dipandang memili...
-
A. Pengeritan Kebudayaan dan Seni 1. Pengertian Kebudayaan Pengertian kebudayaan sangat bervariasi, dan setiap batasan arti yang...