“Treat Others
The Way They Want to Be Treated”
Dr.
Tony Alessandra
PENDAHULUAN
Pendidikan seni di
Indonesia sampai sekarang ini masih mengalami masa transisi dimana pikiran
mitis masih merasuk dalam diri pengajaran seni. Sedangkan kiblat pembelajaran
seni selama ini banyak mengadopsi pemikiran dari barat yang dimonasinya adalah
pemikiran ontologis. Jakob (2000) dalam bukunya Filasafat Seni menyatakan bahwa
masyarakat di Indonesia masih pada tahap berpikir mitis dimana manusia
menyelaraskan diri dengan kosmos yang ada di sekiratarnya apabila ingin menjadi
bagian dari dunia fana ini. Hal senada juga diungkapkan oleh Soeharno (2005)
dimana perkembangan pendidikan seni di Indonesia masih belum sepenuhnya lepas
dari pemikiran mitis sehingga kemajuan pendidikan seni tidak dapat bekembang
secara maksimal, khususnya dalam konteks kreasi karya seni. Pikiran mitis
hakikatnya lebih mendalami dimana manusia menyadari sebagai bagian dari alam
semesta ini dan menyelaraskan diri alam yang maha besar, manusia dengan alam,
manusia dengan roh yang gaib, manusia dengan seluruh tata kosmos semesta ini. Masyarakat
lebih memahami dirinya sendiri dengan kesadaran dirinya sebagai individu bagian
dari alam semesta ini.
Pikiran mitis dalam
pendidikan seni mengacu pada bagaimana seseorang memahami sebuah karya seni yang
merupakan kegiatan untuk menyelaraskan diri dengan alam. Sedangkan pendidikan
seni sekarang ini mengacu pada pemikiran ontologis. Van Peursen (2013)
menyatakan bahwa pikiran ontologis merupakan konsep untuk memahami atau
memaknai segala sesuatu. Pemikiran ontologis berusaha mengungkap segala sesuatu
menjadi nampak dan dapat diamati secara nyata. Manusia mulai memikirkan untuk
bagaimana menciptakan dan memahami segala sesuatu secara nyata dan logis. Maka
dari itu, pendidikan seni masih dalam kebimbangan yang sekarang ini sadar
pemikirannya masih mitis, namun banyak mengadopsi pembelajaran seni yang
ontologis.
Pendidikan seni yang
sifatnya idealis dengan penciptanya membutuhkan pemahaman untuk mengungkap
makna yang terkandung di dalamnya. Pendidikan seni yang ontologis yang
dominasinya lebih mengarah pada penciptaan karya seni dengan tingkat idealis
dan bahkan disejajari dengan ego tinggi yang membutuhkan tingkat pemahaman
perilaku dan kepribadian terhadap siswanya. Perilaku siswa sangat berpengaruh
dalam siswa belajar, khususnya pada gaya belajar, kesulitan belajar, dan
prestasi belajar. Perilaku siswa terbentuk karena respon terhadap lingkungan,
terutama bagaimana siswa itu diperlakukan dalam lingkungannya. Lingkungan
membentuk pengalaman siswa yang berdampak pada perlikau siswa itu sendiri.
Konteks pembelajaran
seni sangat berkaitan dengan pengalaman siswa dalam berkarya seni dan
pengalaman estetis. Hal ini dikuatkan oleh Jakob (2000:162) yang menyatakan
bahwa dalam pengalaman seni, unsur perasaan menjadi kekuatan utama yang dapat
menggerakkan dan mendasari unsur-unsur potensi seseorang, lebih lanjut ia juga
menjelaskan bahwa dalam proses dan karya seni yang dihasilakan oleh siswa juga
dapat memproyeksikan perasaannya, baik yang bersifat subyektif dan objektif.
Pengalaman antara siswa satu dengan siswa yang lain pastilah berbeda, khususnya
dalam proses berkarya ataupun mengapresiasi sebuah karya seni. Maka dari itu,
tingkat pemahaman guru akan perilaku siswa untuk dapat menerjemahkan makna yang
terkandung pada ide pikiran siswa dan hasil karya seninya sangat perlu untuk
ditingkatkan dan dikembangkan.
Pendidikan seni
hakikatnya berbeda dengan pembelajaran yang lain. Pembelajaran khususnya
eksakta pada dasarnya lebih menekankan logika yang ilmiah dan dapat dibuktikan
secara empiris, serta tingkat pemerataan pengetahuan yang sudah pasti.
Sedangkan pembelajaran seni pada dasarnya lebih menekankan pada nilai-nilai
perasaan terhadap keindahan yang lebih didominasi dengan kepekaan perasaan. Perasaan
ini menyangkut adanya sebuah keterlibatan aktif dalam kesadaran yang melibatkan
kecendikiaan, emosi, dan indera dengan lingkungannya (Jakob, 2000:161). Dalam
hal ini kepekaan seni hakikatnya bersifat sangat individual dan berbeda antara
siswa satu dengan yang lainnya. Pendidikan seni tidak dapat menyamaratakan
kepekaan siswa satu dengan siswa lainnya, khususnya dalam konteks berkarya seni.
Hal ini dikarenakan seni bersifat idealis dan sangat bergantung pada pengalaman
siswa itu sendiri. Maka dari itu, dalam pembelajaran guru harus mampu
mendengarkan keinginan dan mengarahkan setiap siswa sesuai dengan aliran atau
jalan yang sesuai dengan idealis setiap siswa, bukan untuk menyamaratakan atau
memaksa siswa untuk mengikuti idealis dari guru atau mayoritas dalam kelas.
Platinum
rule
merupakan sebuah cara bersikap kepada orang lain atau bagaimana memperlakukan
seseorang. Tony Allesander (2009:ii) mengagas teori Platinum rule ini sebagai salah satu cara belajar untuk memahami
perilaku orang lain dan berinteraksi dengan mereka dalam gaya yang terbaik bagi
mereka, dan bukan hanya untuk yang memperlakukannya. Anthony (2015) meyatakan
bahwa dalam pembelajaran peran guru adalah untuk mendegarkan dan memperlakukan
siswa sesuai dengan kepribadiannya. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa dalam
pembelajaran metode, media, dan teknik pengajaran sangat mempengaruhi perilaku
siswa dalam belajar, namun demikian ia juga menekankan bahwa perlakuan guru
kepada siswa lebih penting dari pada media, metode, dan teknik penagajaran tersebut.
Dalam dunia pendidikan seorang guru dituntut untuk beradaptasi dan harus tetap
mempertahankan identitasnya sebagai guru. Seorang guru dapat mempimpin siswanya
dengan mengikuti cara mereka yang diinginkan, berbicara dan mendengarkan
siswanya untuk mengarahkan ide dan kreativitas siswa dan selanjutnya
mengembangkan keterampilannya, namun dengan terlebih dahulu mengidentifikasi
kesulitan belajar siswa. Platinum rule
dalam pendidikan seni dapat dilakukan dengan mudah, yaitu dengan cara memahami
konsep perilaku dan psikologis yang kompleks kemudian menerapkannya secara
langsung, maka diperlukan sebuah latihan dan dikombinasi dengan pengulangan,
sehingga membentuk pengalaman bagi guru.
Dalam konteks bahasan
di sini akan dijelaskan mengenai bagaimana proses pemahaman dan konsep
impelementasinya bagi guru kepada siswa dalam konteks pendidikan seni. Selain
itu, di sini juga akan dibahas mengenai betapa pentingnya Platinum rule ini dalam proses pengajaran seni, konteks pemahaman
guru yang selama ini kurang banyak dipahami sebagai landasan dalam
pembelajaran. Maka dari itu, dalam bahasan ini akan diuraikan secara mendalam
mengenai: mengidentifikasi perilaku siswa, Urgensi Platinum rule dalam pendidikan seni, dan revitaslisasi pengajaran
seni.
Mengidentifikasi
Perilaku Siswa dengan Platinum rule
Platinum
rule
dicetuskan oleh Tony Alessandra dimana selama pengalaman hidupnya ia menerapkan
teori, yaitu Golden Rule. Pada saat itu ia bekerja di New York dan menerapkan
prinsip tersebut dalam bekerja. Saat itu ia sangat yakin 100% terutama yang
berhubungan dengan kejujuran, nilai-nilai, etika, dan memiliki pertimbangan
untuk kebutuhan orang lain. Namun, berbeda halnya ketika ia berkomunikasi
secara interpersonal dan ia menyadari bahwa tidak semua orang ingin
diperlakukan dengan cara ia ingin diperlakukan. Golden rule merupakan konsep
dimana seseorang dituntut untuk memperlakukan orang lain sebagaimana ia ingin
diperlakukan. Ia menerapkan prinsip tersebut namun tidak dapat berhasil.
Selanjutnya ia mulai mengidentifikasi dan membuat banyak penelitian mengenai
perilaku manusia. Hasilnya ia menemukan satu prinsip di atas Golden Rule, yaitu
Platinum rule. Prinsip ini ditujukan
untuk bagaimana mengkomunikasikan sesuatu kepada orang lain. Prinsip besar yang
dicetuskannya adalah kerendahan hati, pengertian, sabar, dan sadar yaitu
perlakukan orang lain dengan cara mereka ingin diperlakukan. Memahami perilaku
setiap orang agar dapat menghargai setiap individu sebagai sosok yang berbeda
dengan orang lain dan menjadi diri mereka sendiri. Selanjutnya, teori ini
banyak dikembangan dan diimplementasikan dalam dunia industri sebagai satu
sarana untuk berkomunikasi dengan para karyawannya, khususnya berkonsultasi
mengenai performa karyawan. Perusahaan menuntut produksi yang maksimal dengan
meminimalkan sekecil mungkin kesulitan dan kendala karyawan dalam bekerja.
Konsep tersebut
hakikatnya sangat perlu untuk diterapkan dalam dunia pendidikan seni dimana
seorang guru memahami perilaku siswanya untuk merasakan apa yang sebenarnya
siswa inginkan dalam belajar. Dalam prosesnya Platinum rule membutuhkan pengetahuan dasar, yaitu mengidentifikasi
perlaku seseorang. Pengetahuan tersebut akan menuntun seseorang untuk mampu
menempatkan diri cara yang tepat untuk bersikap dan bertindak seseuai dengan
cara orang lain ingin diperlakukan.
Perilaku merupakan
sebuah reaksi atau tanggapan individu terhadap rangsangan atau lingkuannya.
Selain itu, perilaku adalah semacam tindakan atau aktivitas manusia , baik yang
diamati secara langsung dan bahkan dapat dipelajari (Notoatmodjo, 2003). Pada
konteks bahasan ini akan dijelaskan mengenai empat macam gaya perilaku siswa, khususnya
dalam konteks pendidikan seni. Pembahasan ini sangat diperlukan karena dalam
pendidikan seni diperlukan pengenalan perilaku siswa oleh guru untuk mengetahui
bagaimana cara yang tepat untuk guru mengajarkan, mengarahkan, dan melatih
siswa tersebut secara maksimal. Selain itu, Tony Alessander (2009) menegaskan
bahwa implementasi Platinum rule ini
adalah untuk mengidentifikasi kebutuhan orang lain. Dengan memahami kebutuhan
orang lain untuk penentuan cara bersikap akan dapat diterapkan secara lebih
tepat. Ada empat perilaku yang dibahas disini mengacu pada konsep dari Tony
Alessandra (2009:21) dimana ia telah melakukan berbagai penelitian mengenai
perilaku manusia dan ia menjabarkan empat jenis perilaku manusia, yaitu Directors, Socializers, Thinkers,
dan Relateris.
Pada dasarnya telah
banyak penelitian mengenai perilaku manusia dan hasilnya juga sangat banyak dan
beragam. Penjabaran perilaku manusia tersebut juga mengacu pada pola pikir dan
dominasi sudut pandang yang diambil orang tersebut dalam mengambil keputusan.
Dalam pembelajaran seni hal ini mengarah pada bagaimana siswa tersebut memiliki
ide, gagasan, kesulitan belajar, fokus pembelajaran, dan gaya belajar yang
berbeda-beda dalam menghasilkan sebuah karya seni. Maka dari itu, konsep
mengenai empat perilaku siswa ini sangat perlu untuk diketahui oleh guru
sebagai pedoman untuk menganalisis perilaku siswa dan juga landasan untuk
menentukan metode yang tepat untuk pembelajaran di kelas. Berikut ini adalah
pembahasan mengenai empat perilaku siswa:
1.
Director: The Great Initiators
Director
merupakan seseorang dengan tingkat kepemimpinan yang kuat, mengambil alih
situasi untuk mencapai sebuah tujuan yang diharapkan. Dalam prosesnya perilaku
ini membutuhkan prestasi dan kontrol untuk memotivasinya. Fokusnya adalah pada
menerima tantangan, mengambil otoritas, dan terjun sebagai pemimpin untuk
memecahkan masalah. Kecenderungannya adalah bekerja dengan cepat, fokus,
berkemauan keras, tepat, dan kompetitif dengan orang lain. Namun demikian,
beberapa kelemahannya adalah sifatnya yang keras kepala, ketidaksabaran, dan
penampilan yang ketangguhan. Perilaku ini cenderung untuk mengambil kontrol
orang lain dan seringnya kurang toleran untuk berperasaan, sikap,
ketidakpekaan, miskin pendengaran, tidak peduli, dan kekurangan terhadap rekan.
2.
Socializers: The Great Talkers
Socializer
adalah perilaku dimana banyak pemikirannya didominasi dengan keramahan,
antusias, dan ingin menjadi dimana sebuah tindakan itu diambil. Perkembangan
mereka banyak berkembangan dengan kekaguman, adanya pengakuan, pujian, dan
perayaan sebuah hasil kerja. Socializer
memiliki sifat yang ramah dan fokus terutama pada sebuah tujuan untuk mencapai
persetujuan positif orang lain. Mereka membutuhkan perhatian, persetujuan, kekaguman,
dan penerimaan menjadi sesuatu yang kerusial bagi mereka. Menang kalah bukanlah
menjadi sebuah tujuan bagi mereka namun bagimana proses saat bermain, mereka
akan sangat menikmatinya.
Kelemahan seorang
socializer adalah ketakutannya pada penghinaan publik: muncul tidak terlibat,
tidak tertarik, tidak berhasil atau tidak dapat diterima kepada orang lain.
Bentuk-bentuk menakutkan penolakan sosial yang mengancam kebutuhan inti untuk
persetujuan. Hasil dari, ketika konflik terjadi, socializer mungkin tiba-tiba mengambil keputusan yang lebih
menguntungkan untuk lingkungan. Selain itu, kelemahan mereka terlalu banyak
terlibat dalam terlalu banyak proyek, ketidaksabaran, keengganan untuk
sendirian, dan perhatian yang pendek bentang. Mereka menjadi bosan dengan cepat.
Ketika sedikit data masuk, socializers
cenderung membuat generalisasi. Mereka mungkin tidak benar-benar menyelidiki;
dengan asumsi orang lain akan melakukannya, atau mereka mungkin menunda-nunda
karena-melakukan sesuatu hanya tidak cukup menarik. Ketika socializers merasa mereka tidak memiliki cukup rangsangan dan
keterlibatan, mereka mendapatkan kebosanan dan mencari sesuatu yang baru.
3.
Thinkers: The Great Analyzers
Thinkers
merupakan sebuah perilaku dimana seseorang memeriksa dan memeriksa ulang
pekerjaan mereka. Mereka cenderung fokus dan serius pada sisi yang lebih rumit
tatpi santai dengan kecerdasan mental yang mereka alami tidak memungkinkan
mereka untuk menghargai sisi yang lebih ringan. Mereka lebih sering meninjau
sesuatu yang aneh atau potensial dalam sebuah situasi. Dari keempat perilaku, thinker adalah paling berorientasi pada
selebrasi. Keputusan mereka sangat logis dan hati-hati untuk meningkatkan
probabilitas bahwa tindakan yang diambil adalah yang terbaik yang tersedia.
Mereka sengaja dan berusaha untuk menjadi teknis yang sempurna. Mereka lebih
banyak menuntut mereka pada dirinya sendiri dan mungkin menyerah pada
kecenderungan terlalu kritis. Umumnya, mereka cenderung untuk menjaga kritik
mereka untuk diri mereka sendiri, ragu-ragu untuk memberi tahu orang lain
mengenai pemikiran yang tidak benar. Mereka akan memberi tahu atau berbagi
informasi, baik posotif atau negatif jika diminta saja, atau atas dasar
kebutuhan untuk tahu. Kekuatan terbesarnya adalah pada ketepatan, kemendirian,
klarifikasi, verifikasi, dan organisasi. Secara alami mereka lebih fokus pada
kebijakan, praktik, dan prosedural pada proses dan hasilnya.
Seorang thinker tetap disiplin dengan mereka
gunakan sendiri waktu dan paling nyaman dalam keadaan terkendali. Mereka bisa
menjadi skeptis dan bahkan menjadi sinis. Mereka ingin melihat hal-hal secara
tertulis sebagai cara mengukur atau memvalidasi harapan dan umpan balik dari
orang lain. Di samping itu, karena ingin menjadi benar, mereka lebih suka
proses memeriksa diri. Kecenderungan ini ke arah kesempurnaan, ketika di bawa
ke sebuah ekstrim, dapat mengakibatkan kelumpuhan analisis. Ciri-ciri yang
terlalu berhati-hati mungkin mengakibatkan khawatir bahwa proses ini tidak
mengalami kemajuan tepat, yang lanjut mempromosikan kecenderungan mereka untuk
berperilaku kritis. Mereka mungkin tampak menyendiri, teliti dan kritis, karena
takut menjadi salah yang bisa membuatnya lebih mengandalkan pada pengumpulan
informasi dan lambat untuk mencapai keputusan. Sementara sebagai pengamat alami
yang banyak bertanya, mereka mungkin terlalu berfokus pada kemungkinan kelemahan
dan bahaya terpencil dengan mengorbankan kehilangan kesempatan perkembangan dan
penurunan.
4.
Relaters: The Great Helpers
Relaters
merupakan sosok yang hangat, mendukung, dan prediktif. Mereka tidak suka dengan
konflik interpersonal dan ketika mereka tidak menyetujui sesuatu, mereka
cenderung untuk diam. Dilain waktu, mereka akan mengatakan apa yang mereka
pikirkan orang lain akan mendengar. Mereka memiliki semacam perasaan konseling
dimana mereka dapat mendukung perasaan, ide, dan tujuan orang lain. Orang lain
biasanya merasa nyaman berinteraksi dengan mereka karena rendah hati, tidak
kontradiktif, dan mereka adalah pendengar yang baik, namun perlu untuk
dihormati. Fokus mereka adalah mendapatkan perkenalan dan membangun kepercayaan
dalam sebuah hubungan kerja sama.
Resiko adalah satu kata
paling berbahaya untuk seorang relater.
Bahkan mereka akan lebih memilih tinggal di lingkungan yang tidak nyaman
dibandingan dengan mengambil resiko dengan membuat perubahan. Gangguan pada
pola rutinitas dapat menyebabkan mereka tertekan. Ketika dihadapkan dengan
perubahan, mereka harus berpikir mulai perlahan-lahan, sistematis, dan
sepotong-sepotong dalam mempersiapkan perubahan. Mereka lebih memilih untuk
mencari persaman dalam perubahan tersebut yang dapat membantu meminimalkan
stres mereka. Mereka jarang memiliki emosi yang tinggi seperti socializer, tetapi perubahan yang
dilakukan terlihat. Kebutuhan mereka untuk harmoni membuat mereka lebih lambat
dalam membuat keputusan. Orang dari gaya perilaku yang lain menganggap sebagai
salah satu yang lemah, dan bahkan mereka sengaja melambat untuk meminimalkan
resiko dalam situasi yang tidak dikatahui.
Urgensi
Platinum rule dalam Pendidikan Seni
Persoalan dalam
pendidikan seni di Indonesia muncul karena adanya perbedaaan pola pikir yang
belum sepenuhnya mentas dari pikiran mitis. Manusia lebih mengedepankan untuk
menyelaraskan diri dengan alam, dan menjadi bagian dari tata kosmos yang ada di
alam semesta ini. Sedangkan sekarang ini pendidikan seni lebih banyak berkiblat
pada pemikiran barat yang ontologis. Jakob (2000) menegaskan konteks bahasan
estetika mitis hakikatnya berbeda dengan estetika ontologis dimana dalam
pengalaman estetik bukanlah sebuah pengalaman religius, namun pengalaman
estetik dapat membantu mencapai pengalaman religius. Hal ini menimbulkan pola
pikir yang rancu dalam pendidikan seni di Indonesia. Pemikiran yang ingin
menjadi modern, namun belum sepenuhnya menghilangkan pemikiran nenek moyangnya
yang mitis. Maka diperlukan sebuah upaya untuk menyesuaikan dengan pola pikir
tersebut, khususnya bagi guru. Memahami pola pikir dan perilaku siswa dalam
belajar hakikatnya lebih sulit dibandingkan dengan menerapkan metode atau media
dalam pembelajaran. Diperlukan sebuah kebiasaan dan bahkan dalam berbagai
konteks kebanyakan guru baru dapat memahami siswanya setelah lama berinteraksi.
Maka dari itu, diperlukans sebuah cara untuk memahami siswa secara mendalam
dalam pembelajaran.
Istilah Platinum rule merupakan salah satu kata
yang sangat asing, khususnya di Indonesia maupun dalam dunia pendidikan. Platinum rule merupakan sebuah konsep
dimana seseorang harus mampu untuk mampu memahami dan memperlakukan orang lain
sesuai dengan bagaimana mereka ingin dipahami dan diperlakukan. Hal ini karena
teori ini pada dasarnya lebih didominasi dalam dunia bisnis. Dalam upaya untuk
meningkatkan bisnis secara besar dan berkembang secara pesat, terori ini
digunakan untuk menganalisis berbagai faktor yang berhubungan dengan dunia
bisnis. Konsep ini lebih banyak digunakan untuk meningkatkan kemampuan karyawan
agar lebih produktif dalam bekerja dengan meminimalkan faktor resiko seminimal
mungkin dan untuk meningkatkan produktivitas dengan tenaga yang seefisien
mungkin. Sedangkan dalam konsep pasar, teori ini lebih menjadi domain untuk
mengetahui psikologi konsumen, potensi pasar, dan tren atau gaya terkini.
Namun, dalam konteks bahasan pendidikan seni di sini akan lebih banyak mengupas
bagaimana pentingnya konsep ini untuk meningkatkan kemampuan siswa secara
maksimal berdasarkan perilakunya masing-masing.
Pada dasarnya konsep Platinum rule ini harus diterapkan dalam
semua mata pelajaran, namun di sini akan lebih memberikan penekanan pada mata
pelajaran pendidikan seni. Seorang guru dalam proses pembelajaran sering kali
mengalami kesulitan siswa dalam menerima materi yang diberikan. Kadang kala
pula guru mendapatkan siswa yang lebih banyak ramai di dalam kelas saat
pelajaran. Ada pula keadaan dimana siswa lebih banyak aktif, kritis dan harmoni
antara guru dan siswanya. Hal ini adalah dimana guru harus paham dan mengerti
untuk memilih metode yang tepat untuk mengajarkan suatu materi pembelajaran.
Namun demikian, sebuah metode saja tidak cukup untuk meningkatkan kemampuan
siswa. Dalam proses pembelajaran seni sering kali ditemukan siswa yang bosan
dalam belajar, diam, atau merasa materi yang diajarkan kurang bermanfaat
untuknya. Hal ini merupakan sebuah gejala pembelajaran yang kurang diperhatikan
guru selama ini.
Padahal hakikatnya
apabila guru mau menegenali perilaku siswanya dengan baik, maka ia juga akan
dapat menerapkan metode yang tepat untuk proses belajar mengajar. Misalnya
dalam sebuah kelas didominasi dengan karakter thinker, guru lebih menggunakan
metode praktek langsung dengan konsep teori yang sedikit. Hal ini akan
menjadikan siswa thinker kurang memahami pembelajaran secara maksimal karena
siswa ini lebih mudah belajar dengan konsep yang jelas dan detail dengan
melibatkan fakta-fakta secara nyata. Contoh lainnya adalah ketika dalam sebuah
kelas terdiri dari berbagai perilaku yang merata diajarkan dengan metode
diskusi, peran guru di sini adalah sebagai pembagi kelompok dalam kelas
tersebut. Dengan guru memahami perilaku setiap siswa, maka guru dapat membagi
kelompok dengan baik dimana siswa thinker sebagai pemikir yang kritis dalam
kelompok, siswa director sebagai ketua kelompok, siswa socializer yang
bersemangat dalam kelompok, serta siswa relater yang siap untuk selalu mau
membantu apapun keperluan dalam kelompok. Kelompok yang demikian adalah
propernya sebuah kelompok diskusi yang tepat, dimana dalam pemecahan masalahnya
dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang yang saling menyelaraskan.
Sedangkan apabila
ditinjau secara kenyataan di sekolah, kebanyakan guru tidak mau repot dengan
lebih memberikan kebebasan kepada siswanya untuk memilih teman kelompoknya
sendiri. Hal ini pada dasarnya kurang tepat, dimana siswa lebih berpikir untuk
bersama dengan temannya yang dekat dan memiliki sudut pola pikir yang sama.
Padahal itu justru menunjukkan betapa kurangnya sudut pandang permasalahan
untuk melihat sebuah tema permasalahan. Satu kelompok thinker akan menghasilkan
sebuah konsep yang idealis, namun untuk pemecahan masalahnya dibutuhkan waktu
yang lama karena setiap siswa memiliki idealis yang berbeda-beda dan kurang
dapat menerima perbedaan pendapat. Sedangkan siswa thinker akan menghasilkan
sebuah kebenaran karena mereka cenderung teliti dan realistis dalam mengkaji
sesuatu, namun dalam pemecahan masalahnya kurang inovatif karena pedomannya
sangat sistematis menurut pedoman yang ada. Berbeda halnya dengan siswa
socializer yang akan menghasilkan sebuah pemikiran yang akan berguna atau
bermanfaat secara langsung, namun dalam proses pemecahan masalahnya mereka
kurang menguasai konsep dasarnya tapi hanya berkaca pada konteks manfaat secara
langsung. Siswa relater akan menghasilkan sebuah pemikiran yang lebih
dominasinya mengarah pada proses atau manfaat secara tidak langsung, namun
tingkat kekritisannya dan kebermaknaannya sedikit kurang.
Berdasarkan uraian di
atas, sekiranya seorang guru sangat perlu untuk dapat memahami perilaku setiap
siswa dengan mendalam dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan siswa secara
maksimal. Platinum rule adalah dasar
untuk mengembangkan pembelajaran. Sebuah metode yang tepat dan media yang tepat
tidak akan dapat terlaksana dengan maksimal tanpa memahami perilaku siswanya.
Revitaslisasi Pengajaran
Seni
Sebuah tujuan
pembelajaran seni hakikatnya perlu untuk dikembangkan untuk menyesuaikan dengan
kebutuhan seiring perkembangan zaman. Dalam seni, hakikat seni ditentukan oleh
perilaku seniman. Perilaku seniman diwarnai oleh kebiasaan, keyakinan, atau
pandangan hidupnya (Soehardjo, 2005). Seiring dengan berjalannya waktu perilaku
tersebut akan berubah dan menyesuaikan dengan pembaharuan yang ada. Sebuah
pembaharuan sangat diperlukan untuk mampu mengembangkan pembelajaran seni.
Seorang guru seni harus terus mengembangkan diri, khususnya untuk menanamkan
kepekaan estetis pada diri siswa yang nantinya dapat dijadikan landasan untuk
mereka mampu mengapresiasi dan berkreasi karya seni sebagai salah satu bagian
kebudayaan Indonesia yang harus dilestarikan.
Pemikiran seorang guru
pendidikan seni perlu untuk dirubah dan dikembangkan untuk menghadapi
pekembangan yang baru. Seorang guru adalah manajer, konsultan, dan fasilitator
yang harus mampu untuk mendengarkan setiap siswanya. Dalam upaya untuk
memanajemen pemahaman apa yang harus diajarkan kepada siswanya seorang guru
perlu untuk mempersiapkan pengelolaan yang tepat. Materi yang tepat pada saat
yang tepat sangat diperlukan guna membangun konstruksi pemahaman siswa. Selain
itu, penggunaan metode dan media yang tepat juga sangat diperlukan. Metode dan
media bukanlah salah satu cara untuk menutupi kelemahan guru, baik dari sisi
materi maupun skill. Metode adalah cara untuk menyampaikan materi sesuai dengan
keadaan siswanya, bukan untuk memaksa dan menyamaratakan kemampuan siswa untuk
menerima sebuah materi pembelajaran. Media adalah sebuah alat pelengkap dalam
pembelajaran yang digunakan untuk memperjelas materi pembelajan, bukan untuk
dijadilan sebuah cara atau metode. Media harus digunakan sebagai sarana yang
menunjang pemebajaran pendidikan seni sebagai penambah referensi siswa. Selain
itu, penggunaannya juga harus disesuaikan dengan siswanya, baik dari sisi
kemampuannya maupun keterampilannya. Guru sebagai manajemen harus mampu untuk
mempersiapkan materi yang tepat dalam pembelajaran yang menyesuaikan dengan
kemampuan siswanya, bukan untuk memaksa menyamaratakan penerimaan siswa; dan
juga seorang guru harus mampu memilih metode dan media yang tepat untuk digunakan
sebagai sarana dalam pembelaran seni, khususnya mengenai penyesuaian dengan
konteks bahasan dan harapan siswanya dalam penyampaian materi tersebut.
Guru sebagai konsultan
dalam pembelajaran perlu untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran dirinya.
Guru harus sadar akan kepribadiaannya diri sendiri untuk sebagai bentuk
instrospeksi diri. Selanjutnya ia dituntut untuk mengembangkan kemampuan
siswanya sesuai dengan bakat dan minatnya, bukan mamaksakan bakat dan minat
seninya. Dalam dunia pendidikan seni selama ini yang banyak dikembangkan
hanyalah mengenai bagaimana metode, materi, dan media yang tepat digunakan
untuk diajarkan kepada siswa. Sedangkan yang menjadi pertimbangan krusialnya
adalah mengenai bagaimana seorang guru itu seharusnya mampu untuk
mengidentifikasi kesulitan belajar siswa, kemudian ia mengatasinya untuk
selanjutnya memaksimalkan kemampuan bakat dan minatnya. Psikologi pengajaran
kurang menjadi bahan untuk dipelajari oleh guru, padahal hakikatnya yang
menjadi fokus adalah seorang manusia bukan produk. Apabila berbicara mengenai
manusia menjadi topik utama adalah mengenai pola pandang dan pikirannya, bukan
mengenai penyamarataan untuk saling melebur menjadi satu, namun memahami setiap
perilaku yang sebagai sosok yang unik untuk kemudian mencapai tujuan pendidikan
seni. Hal inilah yang dinamakan dengan siswakan siswa. Memperlakukan siswa
sebagaimana siswa itu diperlukan, namun tetap mempertimbangkan batasan lingkup
pendidikan.
Konsep mengenai Platinum rule merupakan sebuah gagasan
yang baru untuk mengembangkan kemampuan guru untuk meningkatkan kemampuan
siswanya. Dalam pemebalajaran seorang guru harus mengerti bahwa tidak semua
siswa mau atau diperlakukan sebagaimana ia diperlakukan. Lebih parahnya lagi
adalah tidak semua orang mau diperlakukan seperti kita ingin diperlakukan. Maka
dari itu, diperlukan prinsip dimana seseorang itu harus mampu untuk rendah hati
untuk memperlakukan dan memahami orang lain secara penuh tanpa mengharapkan
balasan apapun. Itulah yang dimaksud dengan Platinum
rule. Namun demikian, prinsip ini membutuhkan pengetahuan mengenai
jenis-jenis perilaku setiap orang. Guru hakikatnya ada pada di level Platinum rule.
Seorang guru, khususnya
pendidikan seni harus mampu untuk memahami setiap siswanya secara penuh,
khususnya untuk menganalisis kesulitan belajar siswa. Apakah kesulitan yang
berasal dari dalam internal atau dari eksternal. Platinum rule akan dapat dijadikan tolak ukur untuk dapat
menganalisisnya, kemudian mengatasinya dan menyesuaikan kebutuhan siswa itu
sendiri. Namun demikian, seorang guru harus memiliki kesadaran akan
kepribadiaannya sendiri. Mungkin ia akan dominan pada salah satu karakter,
namun akan lebih baik apabila seorang guru pendidikan seni itu bila menjadi
keempatnya, yaitu thinker, relater, socializer, dan director. Dengan menjadi
keempatnya guru akan dapat menjadi seseorang yang mampu menjadi pemimpin dalam
proses pembelajaran yang mampu menganalisis secara kritis, memiliki rasa sosial
yang baik kepada sesama guru maupun siswanya, serta dapat menjalin hubungan
yang erat terhadap siswanya dengan mempertimbangkan batasan konteks pendidikan
untuk mencapai tujuan pendidikan seni.
PENUTUP
Pendidikan seni selama
ini masih menjadi sebuah perjuang yang belum mencapai pada level krusial dalam
pendidikan di Indonesia. Bahwa sekiranya menjadi perhatian bahwa selama ini
kualitas guru adalah tolak ukur untuk meningkatkan kualitas pendidikan seni.
Selama ini banyak guru banyak dicekoki bagaimana metode yang tepat dalam
pembelajaran seni, sehingga terciptalah inovasi metode pembelajaran yang
bervariasi. Selain itu, media yang digunakan juga mulai mengalami banyak
perkembangan seiring dengan kemajuan teknologi. Namun demikian, pembahasan
mengenai pemahaman guru terhadap perilaku siswa dan bagaimana memperlakukan
siswa sebagaimana siswa itu ingin diperlakukan sangat kurang dijadikan bahasan
dalam dunia pendidikan. Sedangkan ketika berbicara mengenai konteks pendidikan
yang menjadi subjek adalah manusia, dan hal ini sangat berkaitan erat dengan
bagaimana memanusiakan manusia untuk menjadi pribadi yang lebih baik, bukan
sekedar mengajarkan sebuah materi kepada siswa dengan pengukuran untuk
pemerataan yang hakikatnya tingkat kepekaan estetika setiap orang adalah sangat
berbeda antara satu dengan yang lainnya. Maka dari itu, bahwa menjadi hal yang
sangat krusial ketika berbicara mengenai pendidikan tetapi terlepas dari
bagaimana memperlakukan siswa sebagaimana mestinya dan diperlukan sebuah
gagasan untuk merubahnya, yaitu salah satunya dengan Platinum rule.
Konteks platinum tule
adalah sebuah aturan dimana seseorang harus berada pada level ia dapat
memperlakukan orang lain sebagaimana orang itu sesuai dengan cara mereka ingin
diperlakukan. Hal ini sangat bertalian dengan beberapa jenis perilaku
seseorang, yaitu Director, Thinker, Socializer, dan Relater. Hakikatnya dengan
memahami perilaku seseorang, maka akan dengan mudah orang itu mengerti
bagaimana memperlakukan orang lain. Dalam dunia pendidikan hal ini sangat
diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran. Hal ini karena berhubungan
dengan menganalisis kemampuan, bakat, minat, dan kesulitan belajar siswa.
Selanjutnya guru akan dengan mudah mengajarkan pembelajaran kepada siswanya.
Dalam pendidikan seni
peran seorang guru dalam pengajaran menjadi sangat krusial, khususnya dalam upaya
untuk memaksimalkan bakat dan minat siswa terhadap kepekaan estetika. Pemahaman
guru terhadap perilaku siswa sangat diperlukan guna mengukur dan meningkatkan
kemampuan siswa dalam pembelajaran seni. Guru memahami siswa satu per satu
sesuai dengan kepribadiaannya akan dapat menjadikan patokan untuk merencakan
sebuah proses pembelajaran di dalam kelas dengan lebih baik. Metode akan lebih
tepat dengan memahami mayoritas dan minoritas perilaku siswa di dalam kelas
karena pembelajaran akan terasa lebih bermakna. Sedangkan dalam penggunaan
media juga akan terasa lebih mudah untuk di praktekan dan dimengerti oleh siswa
dengan memahami kepribadiaannya. Dunia pendidikan seni sangat juat dengan
idelaisme seseorang, maka dari itu seorang guru harus mampu untuk memahami
siswanya.
Hakikatnya seodang guru
juga akan lebih dominan dengan satu perilaku saja. Namun demikian, tuntutan
seorang guru adalah memahami semua perilaku dengan memperlakukannya sesuai
dengan perilakunya. Selain itu, guru juga harus dapat menjadi keempat perilaku
tersebut dengan harapan bahwa guru tersebut memiliki banyak sudut pandang dalam
menyelesaikan setiap masalah dengan mudah dan tuntas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar