Dr. Kasiyan, M.Hum.[2]
“Adalah tidak cukup bahwa kamu memahami ilmu
agar memudahkan pekerjaanmu.
Perhatian kepada manusia itu sendiri dan nasibnya,
harus selalu merupakan minat utama dari semua ikhtiar teknis.
Agar buah ciptaan dari pemikiran kita,
akan merupakan berkah dan bukan kutukan bagi kemanusiaan.
Janganlah
kau lupakan hal itu di tengah tumpukan diagram dan persamaan”.
Albert
Einstein
Pidatonya di hadapan Mahasiswa California
Institute of Technology (1938)
Salah
satu diksi wacana yang cukup menyita perhatian publik secara massif dalam
hari-hari kontemporer belakangan kini, yakni apa yang dikenal dengan “industri
kreatif”. Sebagai sebuah konsep kebudayan, istilah industri kreatif ini dapat
dikatakan bukanlah sebagai sesuatu yang benar-benar baru, karena pelbagai jejak
historis yang panjang di masa lalu pernah mencatat tentang risalah yang
berkelindan dengan itu. Dalam khazanah peradaban Barat terutama Eropa misalnya,
embrio industri kreatif sudah ada sejak zaman revolusi industri pada era tahun
1700-an, yang dipicu oleh revolusi ilmu pengetahuan di era Pencerahan pada abad
ke 16, dengan munculnya para ilmuwan seperti Francis Bacon, René Descartes,
Galileo Galilei, peletak dasar ilmu pengetahuan dan teknologi modern.[3]
Betapa pelbagai temuan ilmu pengetahuan dan teknologi di masa itu, adalah motor
penggerak utama hadirnya proyek industrialisasi, sebagaimana halnya fenomena
budaya dan industri dalam konteks wacananya dalam kebudayaan kontemporer kini.
Dalam
konteks keindonesiaan, konsep industri kreatif amat menyedot perhatian,
terutama ketika pemerintah mengkerangkainya dalam format
kebijakan
dalam bentuk Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2009 tentang pengembangan
ekonomi kreatif. Bahkan
tahun 2009 itu kemudian dicanangkan oleh pemerintah saat itu, sebagai tonggak tahun
Indonesia kreatif. Kebijakan ini kemudian ditindaklajuti ketika di tahun 2014 hadir
satu nomen klatur kementerian baru yang belum pernah ada dalam struktur era
pemerintahan sebelumnya, yakni Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.[4]
Sejak itulah, paradigma industri kreatif seolah menjadi ikon mantra yang
diwacanakan dengan derajat yang amat tinggi di mana-mana, termasuk tak luput pula dunia dan disiplin seni tak steril
dibuatnya. Keterlibatan seni dalam arus pusaran wacana utama industri
kreatif ini, bukan semata-mata
merupakan salah satu bidang yang paling dekat dengan teks kreativitas sebagai basis
rohnya industri kreatif, melainkan juga jagad seni memang menjadi subjek
tulang punggung utama
yang menjadi concern fokus di industri
kreatif itu sendiri. Hal ini paling tidak dapat dilihat dari jabaran peta jalan
dan cetak biru industri kreatif yang menjadi fokus perhatian pemerintah, yang
jumlahnya ada 14, yang didominasi atau bahkan hampir semuanya terkait dengan
ranah disiplin seni, yakni: 1) periklanan, 2) arsitektur, 3) benda seni dan
barang antik, 4) kerajinan, 5) desain, 6) fesyen, 7) video, film, dan fotografi,
8) permainan interaktif, 9) musik, 10) seni pertunjukan, 11) penerbitan dan
percetakan, 12) layanan komputer dan piranti lunak, 13) televisi dan radio, dan
14) riset dan pengembangan.[5]
Keberadaan industri kreatif diklaim banyak memberikan andil yang signifikan
bagi pembangunan, terutama jika analisisnya dijangkarkan pada kalkulasi pada aspek
keuntungan materi, sehingga mesti terus mendapatkan dukungan.[6]
Yang menjadi catatan strategis dan
penting kemudian adalah, bahwa siapa pun terutama para stakeholder yang terlibat dan pusaran wacana industri kreatif ini,
kiranya perlu mengembangkan daya tilikan kritis-reflektifnya yang memadahi,
yang terutama terkait dengan ranah basis filosofisnya yang relatif dikuras
dengan pendekatan yang dijangkarkan pada nilai-nilai material-ekonomi, yang
seolah melampaui semesta apa pun dalam dalam konteks berkulturasi. Memang
menjadi sebuah keniscayaan yang tak bisa dipungkiri bahwa manusia itu adalah
sebagai makhluk ekonomi (homo economicus),
tetapi melampui dari itu semua, yang lebih berharga adalah bahwa ia sejatinya juga
homo sapiens[7], makhluk yang dianugerahi akal budi,
yang senantiasa mengidealkan kompleksitas nilai-nilai yang lebih ideal dan
tinggi, jika dibandingkan pada sekadar rujukan nilai-nilai yang berbasiskan
materi.
Dalam konteks kelindannya dengan
diskursus yang terakhir inilah, kiranya konteks seni dan juga pendidikan seni
menjadi menemukan ruang relevansi. Dengan adanya tilikan kritis reflektif,
diharapkan seni dan juga pendidikan seni bisa berposisi dan berperan lebih
sebagai subyek yang mampu memberikan pelbagi kemungkinan perspektif positif,
ketimbang sekadar sebagai objek yang dieskploitasi dalam wacana industri
kreatif. Sebagaimana sudah menjadi konvensi dan pemahaman yang purba kiranya,
bahwa kehadiran dan keberadaan seni atau kesenian di sepanjang lintasan sejarah
peradaban yang ada, senantiasa menggendhong visi nilai-nilai yang amat mulia.
Taruhlah kemuliaan visi itu kemudian bersinggungan dengan domain materi-ekonomi,
maka sejatinya itu hanya berada pada lapisan permukaan yang paling artifaktual dan
artifisial, dan karenanya tak pernah ditempatkan sebagai kulminasi kesadaran
tertinggi. Seni dan kesenian sejatinya adalah sebuah domain peradaban penting, yang
keberadaannya bersama pilar-pilar peradaban utama lainnya, secara niscaya
digairahkan untuk menggaransi eksistensi kemanusiaan manusia itu sendiri. Seni,
karenanya sampai hari ini dirumuskan dalam sebuah tesis yang nyaris abadi, yakni
sebagai salah satu jalan kemanusiaan itu sendiri. Karena itulah, berbicara
tentang seni dan juga pendidikan seni, sejatinya adalah berbincang tentang
sebuah gagasan tentang proyek humanisasi.
Oleh karena itu, mainstream visi yang
ada dalam budaya dan industri kreatif ini, manakala tak disikapi secara hati-hati
memadai, bisa berpotensi menelikung eksistensi seni dalam jebakan kultur politik
ekonomi yang amat destruktif. Mengingat hasil
pencermatan yang ada, tampak bahwa paradigma industri kreatif ini cenderung difahami dan
diterjemahkan di
pelbagai level lapisan, dalam aura kecenderungan menerimanya sebagai satu kebenaran, tanpa
diserta dengan analisis relektif kritis untuk sekadar mewaspadai pelbagai kemungkinan dampak negatif yang ditimbulkannya. Padahal dari
dimensi lain, sebagaimana
disampaikan tadi, terminologi industri kreatif ini amat potensial menggendhong pelbagai
kerentanan yang amat menghawatirkan, baik dari sudut
pandang kesenian maupun kebudayaan. Oleh karena itulah, serangkaian upaya pemikiran
kritis tentang sesi baru budaya dan industri kreatif, dalam perpekstif lintas
disiplin, termasuk dalam konteks ini adalah disiplin seni, kiranya menjadi satu
hal yang penting dan amat berarti. Kajian ini, dihajatkan untuk mencoba mengambil optik
posisi sebagaimana yang disebutkan pada klausul yang terakhir ini.
Industri Kreatif
dan Kota Kreatif
Sebagaimana
disampaikan di atas, diskursus perihal budaya dan industri kreatif, sejatinya sebagai
khazanah yang cukup lama keberadaanya, yang awalnya terkait erat dengan wacana pembangunan kota
terutama dalam perspektif ekonominya.[8] Dalam
kata-kata Chris Gibson & Natascha Klocker, “Creativity
and the ‘creative industries’ are increasingly common components of urban economic
development discoursse”.
Demikian juga dalam pandangan Moeran
& Pedersen, bahwa wacana industri kreatif ini substansi basis pijakannya
adalah mengeksploitasi terminologi kreativitas dalam konteks kepentingan
terutama politik ekonomi.[9]
Dalam
catatan historis, ada beberapa moment penting ibarat puzzle road map yang berkaitan dengan perjalanan industri kreatif
di beberapa negera terutama di Barat. Pada tahun 1977 misalnya, di Washington,
sekelompok ahli tata kota yang bergabung dengan para arsitek dan juga seniman, melalui
program yang disebut Partnership of
Livably Place, mengembangkan gagasan yang diistilahkan sebagai kota
kreatif, yakni sebuah kota yang ideal, manusiawi, dan nyaman yang menekankan
pada pendekatan kebudayaan dan lingkungan.[10]
Demikian juga di Australia pada tahun 1994, melalui Australia Department of Communications and the Arts Australia,
merilis gagasan tentang “Creative Nation: Commonwealth Cultural Policy”.[11]
Kemudian, pada tataran kebijakan yang lebih praksis, jejak budaya dan industri
kreatif ini terutama dikembangkan di Inggris, melalui Partai Buruh dari golongan pembaharu (New Labour) untuk
menentang konsepsi-konsepsi lama dari kubu Old Labour, yang dimotori
oleh Tony Blair, pada tahun 1997, melalui Department
of Culture, Media, and Sport (DCMS) mendirikan “Creative Industries Task
Force”. DCMS kemudian mendefinisikan industri kreatif, yakni: “as those industries which have their origin
in individual creativity, skill & talent, and which have a potential for
wealth and job creation through the generation and exploitation of intellectual
property and content”.[12]
Melihat dari pemaknaan tentang gagasan baru terkait teks industri kreatif yang disampaikan oleh DCMS ini, konon katanya sejalan dengan padangan sosiolog
Anthony Giddens yang dikenal dengan “jalan ketiga[13]”, yang
mencoba mendamaikan keniscayaan pertarungan
antara kutub sosialisme-kolektivisme di satu sisi dengan
liberalisme-individualisme (kapitalisme) di sisi yang lainnya.
Dalam
perkembangan selanjutnya, konsep industri kreatif ini kemudian terus semakin mendapatkan
sambutan luas masyarakat. John Howkins misalnya pada tahun 2003, menulis Creative Economy, How People Make Money from
Ideas, yang di dalamnya memaknai ekonomi kreatif, sebagai kegiatan ekonomi yang
esensinya digerakkan terutama oleh kreativitas.[14]
Demikian juga halnya dengan Richard Florida, melalui dua bukunya yang
monumental, The Rise of the Creative
Class: and How It's Transforming Work, Leisure, Community and Everyday Life
(2003) dan Cities and the Creative Class
(2005), juga meneguhkan gagasan yang relatif sama tentang konsep industri
kreatif ini. Di kedua bukunya itu, Florida menekankan bahwa, betapa sebenarnya
seluruh umat manusia itu adalah kreatif. Apakah ia seorang pekerja di pabrik
kacamata atau seorang remaja jalanan yang membuat musik hip-hop. Perbedaannya
adalah pada status kelasnya, terutama pada individu-individu yang memang menyadari
bergelut di bidang kreatif dan kemudian mendapat keuntungan ekonomi dari
pelbagai aktivitas kreatif yang mereka lakukan.[15]
Sejalan dengan pandangan tersebut, Hesmondhalgh (2007), memaknai industri kreatif sebagai kumpulan
aktivitas ekonomi yang terkait dengan penggunaan pengetahuan dan informasi. (“creative
industries, also known as cultural industries or creative economy, refer to a
range of economic activities that are concerned with the exploitation of knowledge
and information”).[16] Karenanya
substansi industri kreatif juga dikenal dengan istilah industri budaya.[17]
Gagasan
pada industri kreatif yang mengintensifkan stock
of knowledge yang berbasiskan kreativitas ini, keberadaannya beriringan dengan
proses transformasi evolusi dalam tatanan ekonomi di era kapitalisme lanjut,
yang awalnya secara klasik berbasis pada sumber daya alam yang amat terbatas,
kemudian bergeser pada paradigma berbasis sumber daya manusia yang tak
terbatas. Tipe perubahan tata ekonomi yang berbasiskan budaya dan industri industri kreatif ini hadir pada
ordinat perkembangan masyarakat, yang oleh futurolog Alvin Toffler (1991),[18] disebut pasca revolusi gelombang
ketiga (the third
wave revolution)
yang ditandai dengan revolusi teknologi komunikasi dan
informasi yang tampak amat eksplosif dan massif. Sistem dan tata nilai ekonomi ini,
terutama ditandai dengan tak lagi ditentukan oleh bahan baku atau sistem
produksi seperti pada era industrial klasik, tetapi penekanannya lebih pada
domain kekuatan kreativitas dan inovasi. Inilah paling tidak point substansial
yang melekat dalam konstruksi teks industri kreatif, yang kemudian diyakini
menjadi narasi “kebenaran pengetahuan” hari ini yang diafirmasi semua kalangan sampai
saat ini.
Ketika
dihadapkan pada pelbagai realitas yang namanya “kebenaran pengetahuan” kebudayaan
apa pun, termasuk dalam konteks ini adalah tentang industri kreatif, seorang
Foucault pernah memberikan saran bagus agar kita senantiasa mengembangkan ritus
kritis dalam berkesadaran, agar kita tak terjebak dalam kemungkinan kesalahan
dalam penyikapan. Hal ini disebabkan,
bahwa sejatinya setiap teks kebenaran pengetahuan itu tak pernah ada yang bersifat
netral, melainkan yang ada adalah selalu “politis-kultural”. Lewat teorinya Power/Knowledge, Foucault menegaskan bahwa
dimensi politis-kultural dalam setiap teks kebudyaan itu, dikarenakan keberadaannya
yang senantiasa terkoneksi dalam pelbagai kompleksitas variabel dan sistem yang
terutama bersinggungan dengan terminologi kekuasaan.[20]
Oleh karena itulah, Foucault mengatribusi kebenaran dalam setiap pengetahuan
itu lebih sebagai truth regime atau “rezim
kebenaran”. Konstruksi pokok pikiran genealogis ala Foucaultian ini, relatif
kongruen dengan apa yang oleh Kristeva diistilahkan dengan “intertekstualitas”
(intertextuallity) [21],
atau yang dalam terminologinya Bhaktin dikenal dengan “dialogisme” (dialogism)[22],
yang substansinya adalah sama-sama memahami dan menempatkan kebudayaan itu
dalam rangkaian makna transposition
(transposisi) yang penuh dengan titik pertemuan dan persilangan. Demikian juga
halnya ketika menyoal perihal konstruksi dari konsep kebenaran pengetahuan tentang
budaya dan industri kreatif ini, maka secara geneologis pengetahuan kebenaran
yang melekat padanya sejatinya lebih pas jika ditempakan maknanya juga dalam formasi sebagai “rezim kebenaran”
yang terkoneksi dengan pelbagai jaringan kekuasaan, yang artinya secara niscaya
juga amat membutuhkan ritus “kewaspadaan”.
Jika
disandarkan pada nukilan substantif dari pemaknaan budaya dan industri kreatif
sebagaimana yang disampaikan di atas, maka ketika kuasa politik ekonomi nyaris menjadi satu-satunya mainstream
penyangga utamanya, maka sejatinya pula ia, budaya dan industri
kreatif ini, menginduk semang pada sistem kapitalisme-liberalisme sebagai aras
dan jangkar filosofi
utamanya.[23]
Bahkan dalam perspektifnya Toby Miller, ditegaskan lebih lagi, bahwa “neoliberalism is at the core of the creative
industries”.[24]
Ketika
berbincang tentang teks kapitalisme dan dalam kesatuannya dengan liberalisme
dan apalagi neoliberalisme, betapa yang namanya faham berkebudayaan ini,
menyertakan kompleksitas persoalan, bukan bukan hanya pada dataran kebudayaan
melainkan juga kemanusiaan, dan karenanya tak mengherankan manakala
keberadaannya senantiasan mendapatkan gugatan kaum cendekiawan di pelbagai
lintasan zaman. Untuk menyebut salah satu promotor utama yang menelanjangi dan
memperkarakan tabiat buram sistem kapitalisme dan liberalisme di Eropa di
abad-20 misalnya, adalah para cendekiawan yang tergabung dalam kelompok mahzab
Frankfurt (The Frankfurt School).
Kelompok kritis yang digawangi oleh tokoh-tokoh seperti: Adorno, Benyamin,
Marcusse dan pemikir kritis lain seperti Habermas dan Gramcy melihat bahwa
industri budaya adalah suatu bentuk manipulasi ideologi dan dominasi.[25]
Oleh karena itulah, baik di tingkat
terminologi akademik maupun kebijakan, wacana tentang industri kreatif ini
sejatinya amat potensial mengundang pelbagai
kerentanan persoalan.
Persoalan itu terutama berhulu dari risalah kreativitas sebagai roh terdasar
dalam setiap ekspresi kebudayaan, di mana akhirnya orientasi nilai-nilai yang
melekat di dalamnya direduksi hanya dalam kaitannya dengan persoalan ekonomi
semata.[26] Orientasi
budaya yang semata-mata didasarkan pada analisis pasar dan keuntungan dalam
perspektif ekonomi inilah, yang akhirnya mengantarkan budaya komodifikasi dan
komersialisasi, di mana segala hal terkait dengan deru berkebudayan harus
bemuarakan diktum kalkulasi ekomomi kapital
yang menguntungkan. Dalam
kata Lazaretti berikut
ini.
Commodification is the specific
process of commercialization ‘whereby a produced thing or activity itself is
given a consumptive market value’. While commodification primarily places the
emphasis on cultures as an economic output, commercialization places more
considerations on culture as an economic input.[27]
Seturut dengan
pandangan tersebut, Edensor. Et all. (2009:90) juga
mengemukakan bahwa, “contemporary
capitalism is characterized by more recently dominant forms of accumulation,
based on flexible production, the commodification of culture and the injection
of symbolic ‘content’ into all commodity production”.[28] Dengan demikian, dalam konsep industri
kreatif ini, sebenarnya telah terjadi semacam persekongkolan atau
perselingkuhan secara halus bahkan nyaris tak kelihatan, antara teks kebudayaan dengan kapitalisme.[29] Flew (2012:6) memberi istilah tentang fenomena ini
sebagai, “convergence of consumerism with cool
capitalism”.
Berangkat
dari kenyataan itulah, karenanya gagasan dalam industri kreatif itu,
di sisi lain akhirnya
telah mendistorsi hakikat substansi makna dari terma kreativitas dan juga
kebudayaan yang semata-mata disandarkan pada motif ekonomi, sehingga pelbagai
ritus kinerja dalam berkebudayaan dan termasuk juga berkesenian tak lebih dimaknai aktivitas
“ketukangan” yang membudak pada sistem
kapitalisme yang demikian memuja semata-mata risalah keuntungan. Dari sini pula lah, maka terminologi
industri kreatif itu kiranya menemukan konteks relevansinya untuk ditimbang
dan dipertanyakan, jika
itu diklaim sebagai satu gagasan pencerahan ditilik dari
sudut pandang kebudayaan.
& menyatakan:
The knowledge economy‐based concept of
creative industries, it is maintained, has no specific cultural content and
ignores the distinctive attributes of both cultural creativity and cultural
products. As such it overrides important public good arguments for state
support of culture, subsuming the cultural sector and cultural objectives
within an economic agenda to which it is ill‐suited. We argue against this turn
in public policy and for a cultural policy that views its object as all forms
of cultural production, both industrial and artisan[30]
Fenomena penggunaan terma kreativitas
dalam konteks utilitas yang amat pragmatis yakni sebagai pilar penyangga utama
menyokong konstruksi industri dan kapital inilah, yang mengakibatkan makna kreativitas itu
sendiri telah kehilangan atau minimal terdistorsi kualitas auratiknya. Karenanya tak berlebihan jika Schumpeter,
seorang ekonom Austria-Amerika, pernah memberikan atribusi identitas satiris terkait dengn fenomena
ini, yakni bahwa wacana creative
industries itu sejatinya lebih banyak berurusan dengan “creative destruction”[31] yang disebabkan
diktum kreativitas telah mengalami apa yang diistilahkan oleh Pang (2012)
sebagai “politisasi” yang memperihatinkan.[32]
Komodifikasi dan
Fetisisme Estetika dalam Seni
Ketika permasalahan industri kreatif dalam
teks kebudayaan itu diderivasikan lebih jauh ke pilar-pilar yang lebih luas
termasuk seni atau kesenian misalnya, maka akan segera ditemukenali bahwa yang
namanya gagasan estetika yang terkandung di dalamnya juga akan mengafirmasi
orientasi dan spirit yang mengacu pada diktum kuasa ekonomi sebagai
panglima. Dalam
konteks inilah, seni dan estetika, bukan lagi sebagai sesuatu yang
menggairahkan nilai-nilai transendensi, melainkan nilai-nilai ekonomi
yang bersifat profan imanensi. Industri kreatif, dalam tataran ini, sejatinya
telah melakukan perselingkuhan
antara estetika dengan kapitalisme, yang oleh Michelsen diistilahkan sebagai “aesthetic capitalism”[33], sebagai bagian dari apa yang oleh Kaplan (2008) disebut sebagai “culture of fetishism”[34].
Dalam konteks inilah,
akhirnya industri kreatif
kemudian telah
menempatkan seni tak lebih sebagai bagian komponen objek, yang bersama-sama komponen kebudayaan lain
dieksploitasi habis guna mendukung keberhasilan
risalah politik ekonomi. Dalam
kaitan ini Kerrigan (2007) menegaskan yakni, “creative industries
demonstrate a move away from 'art for art's sake' and towards an acceptance of
the economic, social and aesthetic value of culture, where the arts are treated
as ingredients in a new cultural mix”.[35] Berkaca dari fakta ini, karenanya pendulum industri
kreatif tampak cenderung bergerak ke aah pertimbangan seni dan estetika,
yang terutama diarahkan bagi kepentingan fungsi
utilitarian yang yang
amat pragmatis sifatnya, yang secara
klasik misalnya terkait dengan sektor klasik yang berbasis budaya massa,
seperti turisme, fesyen, arsitektur, games,
kuliner, dan aneka gaya hidup lainnya. Hal ini senada dengan pandangan Singh
(2014:150), bahwa “creative industry tend to move toward
design elements that include aesthetic considerations but are primarily geared
toward other utilitarian functions, such as tourism, textile design of fashion,
toys and games and architecture”.[36]
Fenomena
memperihatinkan seperti itulah, akhirnya membuat seni yang diabdikan semata-mata bagi
kepentingan politik ekonomi seolah menemukan konteks pembenaran dan justifikasi,
sehingga menjadi satu sesi yang paling digairahi oleh setiap stakeholder, termasuk dalam bidang seni
hampir di semua lapisan dan lini. Dalam kaitan ini, Jone &
Warren (2016), menyampaikan kritik keprihatinan:
In
designated creative industries offices, usually located in economic development
sections of local authorities. They come from academics and managers in higher
and further education who increasingly see the vocational implications of the
creative economy as prime justification for the contemporary role of arts and
humanities.[37]
Dari alir nalar itu kemudian dapat
difahami, betapa jagat estetika dan kesenian yang mestinya lebih mampu
dimaknai sebagai rumah kemanusiaan, dan berperan sebagai “pandhapa agung”, yang menyuguhkan
nilai kesejatian, yakni nilai-nilai yang mampu
membentuk dan meningkatkan taraf hidup dan kehidupan menjadi lebih berperadaban[38]; menjadi sesuatu yang kerap dipertanyakan.
Demikian juga halnya, teks-teks seni yang selama ini kodratnya
cenderung diyakini selalu
melawan berbagai bentuk abstraksi dan generalisasi, termasuk abstraksi dan generalisasi dalam konteks
industri kreatif ini, kiranya gagal untuk bisa dikerangkai. Padahal ritus abstraksi
dan generalisasi dalam
berkebudayaan kerap akan memandulkan dan memajalkan
kepekaan diri dan
kesadaran, karenanya selalu dilawan dalam kerja
berkesenian.
Menyoal “Pengkhianatan Kaum Cendekiawan”
Ketika narasi besar yang
menyelubungi konteks persoalan industri kreatif dari sisi yang lain yang
cenderung buram tersebut, kiranya posisi dan peran keilmuan seni terutama di pergururan
tinggi, menjadi amat strategis untuk melakukan serangkaian proses reorientasi
dan revitalisasi bagi pencerahan kulturasi. Harapan besar yang kerap
disandarkan pada posisi dan peran perguruan tinggi ini, kiranya bukanlah hal
yang berlebihan, karena asumsi masyarakat sampai hari ini masih teramat kuat
meyakini, betapa yang namanya situs kampus itu adalah tempat merumahnya kaum
cendekiawan, yang secara struktur sosial masuk dalam kategori apa yang
diistilahkan kalangan kelas sosial menengah (middle class society), yang perannya selalu menjadi amat determinan
sebagai motor avant garde di setiap
perubahan sosial dan kebudayaan (agent of
social and cultural change).[39]
WS Rendra dalam kaitan ini, mengatribusi golongan cendekiawan, sebagai mereka
yang ‘berumah di angin’[40],
yang keberadaan diharapkan menjadi katarsis ketika zaman dirundung kedukaan.
Meski
dalam konteks kontemporer kekinian, ketika membincang perihal kaum cendekiawan,
banyak yang menyisakan persoalan yang amat menyesakkan, karena ada semacam tren
degradasi posisi dan peran yang tampak signifikan. Hal ini dapat dibaca
misalnya ketika di setiap sesi krusial perubahan dan transformasi kebudayaan, termasuk
misalnya dalam konteks industri kreatif ini misalnya, kaum cendekiawan di
segala disiplin, termasuk disiplin seni, lebih banyak berada dalam lintasan
lebih sebagai konsumen dibanding produsen yang menentukan haluan, sehingga yang
banyak terekam wacananya adalah tak lebih dari histeria jejak-jejak yang
cenderung mengafirmasi, tanpa dibarengi perspektif kritis yang berarti. Posisi
dan peran kaum cendekiawan perlahan tampak mulai luntur, di tengah suasana
gemuruh hiruk pikuk kehidupan kegaduhan perubahan zaman kekinian yang potretnya
makin kabur.
Gambaran
selayang pandang terkait dengan hal ini misalnya dapat dilihat dari watak dan corak ilmu-ilmu sosial (termasuk
juga seni) Indonesia
selama ini, yang
lebih suka memilih untuk menjadi budak-budak kekuasaan, entah kekuasaan politik
maupun kekuasaan ekonomi. Gambaran cukup baik perihal ini, misalnya tampak dari
kritiknya Vedi R. Hadiz
dan Daniel Dakhidae pada “Pengantar” untuk bukunya Social Science and Power in Indonesia (2004), yang menyampaikan bahwa betapa ilmuwan sosial bangsa ini,
dalam perkembangan termutakhirnya kini, lebih banyak yang menjadi
makelar-makelar rezim kekuasaan. Tidak mengherankan bila ilmu sosial di
Indonesia, lalu menjadi semacam gugus worldview
yang bercorak sangat instrumentalis-pragmatis, ketimbang kritis-reflektif”.[41]
Dalam
buku yang sama, PM Laksono juga melakukan kritik yang relatif sama, dengan
meninjau kinerja asosiasi ilmu-ilmu sosial yang ada di Indonesia selama ini,
seperti Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), Himpunan Indonesia untuk
Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial (HIPIIS), Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI),
Asosiasi Prehistori Indonesia (API), dan masih banyak lagi yang lainnya.
Kecenderungan grammar kinerja
asosiasi-asosiasi itu, menurut catatan Laksono, adalah berupa idiom ‘peran’ (role): yaitu cara berfikir, bertutur,
bertindak, dan bekerja seturut bahasa ala fungsionalisme raksasa sosiolog
Talcot Parsons, yakni: “peran ilmu-ilmu sosial bagi pembangunan”.[42]
Dari alir nalar inilah, karenanya tak mengherankan manakala dalam kritiknya
Soedjatmoko, yang berkembang luas kemudian adalah tradisi “studi-studi pesanan
untuk kepentingan memoles citra kebijakan, demi kelanggengan kekuasaan.
Oleh
karena itu, tatkala muncul seksi wacana kultural baru, seperti budaya dan industri
kreatif ini misalnya, para ilmuwan sosial kita tidak cukup punya kefasihan
analitik untuk memeriksa premisn dan tesisnya. Maka, yang terjadi sekedar
berbondong-bondong histeria menggunakan istilah baru itu. Yang dikejar bukan
refleksi, melainkan dominasi. Dalam kata-katanya Ariel Heriyanto—masih dalam
buku yang sama—bahwa di bawah bayang-bayang jargon developmentalism, sekujur wajah ilmu-ilmu sosial Indonesia akhirnya
menjadi semacam pertukangan, punya daya besar tapi membudak, amat mirip seperti
serdadu, mesin, atau bahkan lebih tepatnya gali.[43]
Kalau
demikian potretnya, maka kaum cendekiawan tampak tak cukup memadai lagi sebagai
rujukan penting bahkan garda terdepan bagi agent of
social and cultural change dan proyek pencerahan, karena
telah menjelma menjadi
komprador-komprador (bromocorah)
utama peradaban. Dalam konteks inilah, kita seolah diingatkan
kembali dengan apa yang diistilahkan sebagai “pengkhianatan kaum cendekiawan”,
yang pernah digugat habis-habisan oleh seorang filsuf Prancis Julien Benda,
pada dekade tahun ’20-an silam.[44]
Industri Kreatif dan Revitalisasi Keilmuan Seni di Perguruan
Tinggi
Di
tengah pudarnya auratik pesona kecendekiawanan kontemporer yang seperti itu,
bukan berarti nyaris tak menyisakan kemungkinan untuk menyemaikan optimisme untuk
menatap risalah kekinian dan terutama masa depan. Dalam konteks kaitannya
dengan disiplin seni, terutama terkait dengan penyikapan secara spesifik terhadap
budaya dan industri kreatif ini misalnya, banyak hal yang kiranya bisa
diupayakan. Ada beberapa yang kiranya sifatnya mendesak karena amat strategis dan
signifikan misalnya: pertama, peneguhan
dan penguatan kembali pelbagai pilar “matriks disiplin” (discipline matrix[45])
keilmuan seni; kedua, pengembangan
kemungkinan interdisipliner dan intradispliner keilmuan seni; dan ketiga, kemungkinan pembangunan
“otentisitas” keilmuan seni yang lebih berbasiskan kearifan lokal kebudayaan
diri.
Pertama,
terkait dengan peneguhan dan penguatan kembali pelbagai pilar matriks disiplin
(discipline matrix) keilmuan seni
ini, kiranya dapat dimaknai sebagai kemungkinan kita secara bersama-sama
melakukan reorientasi dan revitalisasi terkait dengan paradigma kelimuan seni
selama ini, yang sangat mungkin tanpa disadari berada pada jalur
“kelirumologi”. Titik letak “kelirumologi itu, terutama adalah tampak pada
gagalnya pemahaman secara utuh akan disiplin seni kita di perguruan tinggi
selama ini, yang mestinya ditempatkan dalam kerangka matriks disiplin. Kalau
menyoal seni sebagai matriks disiplin, maka keberadaan keilmuan seni itu
keutuhan dan kekokohannya sangat ditentukan paling tidak oleh tiga pilar penyangga
utamanya, yakni pilar: produktif (penciptaan), reproduktif (penyebarserapan),
dan reseptif (penerimaan). Pilar produktif atau wilayah kreasi melibatkan para
kreator atau seniman, sementara pilar reproduktif melibatkan para pengkaji dan
peneliti, sedangkan pilar reseptif adalah ranah yang melibatkan masyarakat dalam
arti yang luas, sebagai basis pendukung utama eksistensi seni itu sendiri.
Hanya
dalam kekokohan interrelasinya yang kuat di ketiga pilar secara holistik itulah,
eksistensi seni di masyarakat itu, benar-benar dapat digaransi. Implikasi
imperatif yang mestinya dapat ditunaikan kemudian adalah, semua pihak dan
elemen, baik yang menyangkut produk, proses, pencipta (seniman), intelektual (peneliti,
kritikus, kurator, pendidik, dan lain sebagainya), dan bahkan masyarakat awam
pendukungnya sekali pun, tidak boleh ada yang lebih superior daripada lainnya,
karena masing-masing berada dalam format perhitungan strategis dalam
keseluruhannya. Oleh karena itu, siapapun yang terlibat dalam jagad seni, bebas
menentukan piliahnnya. Yang jauh lebih penting kemudian adalah, bahwa ketika
pilihan telah ditentukan, pilihan itu sendiri seyogianya tetap disadari selalu
berada dalam pemahaman jejaring yang luas, yang keseluruhannya mengandaikan
tersedianya ruang dan peluang untuk membangut format bertegur sapa secara
bersahaja.
Namun
persoalannya adalah, bahwa dalam pencermatan yang ada, di ketiga pilar itulah,
keilmuan seni selama ini memiliki titik kelemahan yang amat krusial, yakni
ketika perhatian pada ketiga pilar matriks itu ternyata tidak ditempatkan dalam
format keseimbangan, dengan menempatkan kesadaran pada pilar penciptaan menjadi
sesuatu yang amat hegemonik sehingga amat dominan. Sebagaimana diketahui, bahwa
bagaimana pilar penciptaan dalam keilmuan seni kita selama ini telah ditempatkan
nyaris melampaui semesta eksistenti seni itu sendiri, sehingga tampak seperti
menafikkan atau bahkan menegasikan dua pilar yang lainnya, yakni pengkajian dan
penerimaan. Pelbagai dimensi reproduktif yang berbasisikan pengkajian seolah
dianggap sebagai sebentuk ‘sang liyan’ (the
other) dalam perspektif Foucaultian, yang keberadaannya dianggap mirip “kersik
pada karang, atau pun lumut pada lokan” (meminjam nalar lirisnya Goenawan
Mohamad), yang kerapkali tidak pernah diberi harga, karena dianggap sebagai sesuatu
yang sia-sia.
Betapa
fakta empirisi sampai hari ini menegaskan, bahwa yang namanya disiplin seni ini
cenderung dikuras maknanya hanya terkait dengan gebu rasa (emotional desire) yang seolah tak ada sangkut pautnya sama sekali
dengan gebu logika (intellectual desire).
Oleh karena itu tak mengherankan, manakala diandaikan setiap tahun seluruh
perguruan tinggi seni di Indonesia itu misalnya, mampu menghasilkan seribu-an “sarjana
seniman” yang berbasiskan paradigma penciptaan, tetapi tidak untuk satu atau dua
pemikir atau cendekiawan yang berbasiskan tradisi pengkajian dan penelitian.[46]
Fenomena ini akhirnya mengakibatkan implikasi turunan yang amat merusak, baik
secara akademis maupun sosiologis. Secara akademis, wajah keilmuan seni tetap
berada dalam citra sosial yang seolah berada dalam labirin stigmasi abadi,
yakni “lack of discourse and lack of
knowledge”. Ilmu seni adalah ilmu yang paling fakir-miskin di dunia,
sehingga selalu membutuhkan santunan kerohiman kapan saja. Sementara itu secara
sosiologis, dapat ditilik dari salah satu indikator utamanya yakni, bahwa
betapa dari masa ke masa, tingkat keberterimaan seni di masyarakat masih tetap cenderung
rendah, yang disebabkan oleh problem sosialisasi dan apresiasi seni masyarakat
yang rendah pula.
Demikian
pula dalam konteks kaitannya dengan diskursus budaya dan industri kreatif ini, karena
keterbatasan perspektif yang dimiliki, keilmuan seni juga tampak cenderung
berada dalam format kikuk dan gagap untuk menyikapi, sehingga sebagaimana yang
telah disampaikan di atas, bahkan arus utamanya justru sekadar mengafirmasi,
tanpa disertai kajian kritis-reflektif yang relatif memadai.
Kedua,
terkait dengan pengembangan kemungkinan interdisipliner dan bahkan
intradispliner keilmuan, kiranya juga merupakan sebuah persoalan yang krusial
dalam disiplin seni selama ini. Sebagaimana diketahui bahwa mainstream praksis keilmuan seni di
perguruan tinggi selama ini, cenderung tampak dikuras pemaknaannya pada diktum
monodisiplin yang rigid dan kelewat rapi, sebagaimana khasnya dalam tipikal
format tradisi kebudayaan modern yang serba terstrukturasi. Padahal,
sebagaimana diketahui, dalam kaitannya dengan konteks diskursus budaya dan
industri kreatif yang banyak terilhami oleh jiwa zaman post atau pascamodern
ini, telah mengalami pergeseran atau bahkan tepatnya perubahan orientasi
paradigma yang berspiritkan post atau pascastrukturalis, yang lebih menempatkan
kesadaran berpengetahuan dalam bingkai perspektif bukan mono, melainkan
multidisiplin.
Pandangan
ini sekali-kali tidak hendak menegasikan pengupayaan pada core of competence disiplin seni yang bersifat mono, melainkan
lebih pada gagasan betapa pentingnya melengkapinya dengan perpsektifnya multi
tadi. Hal ini kinya juga sejalan dengan spirit yang ada pada teks budaya dan
industri kreatif ini, sebagai situs amalgam baru yang memang disandarkan pada
spirit upaya mengonstruksi kebaruan pengetahuan dengan mempertemukan pelbagai kemungkinan
disiplin dan juga pendekatan tanpa adanya beban kekakuan. Hal ini misalnya,
dapat ditelisik dari risalah hadirnya konsep budaya dan industri kreatif ini
secara sosiologis, yang konon disokong penuh oleh prototipe kelompok generasi baru,
yang mengatribusi dirinya sebagai apa ang diistilahkan sebagai“no colour class”, yaitu generasi yang
tipikal tampak santai, yang lebih suka memakai T-shirt dan tak suka berdasi. Kelompok kelas ini terdiri dari
seniman dari berbagai disiplin, ilmuwan, dan bahkan profesor yang sering
terlihat santai, tetapi sebenarnya selalu serius dalam berfikir dan berkreasi.Pemandangan
ini dapat dikatakan sebentuk antitesis yang secara kontras begitu berlawanan dengan
terminologi generasi kreatif di zaman sebelumnya, yang lebih kerap diistilahkan
sebagai generasi “blue colour” dan “white colour”, yang mengafirmasi faham
monodisiplin yang cenderung amat rapi.
Ketiga,
terkait dengan kemungkinan pembangunan “otentisitas” keilmuan seni, kiranya
juga menjadi persoalan yang juga mendesak untuk disikapi. Berbincang tentang teks
“otentisitas” dalam kaitannya dengan kesenian secara khusus maupun kebudayaan
dalam arti yang luas, sejatinya secara subtantif terkait dengan persoalan utama
yang dikenal dengan risalah “rasa identitas” yang secara ideal disandarkan pada
basis lokalitas. Meski di era revulusi gelombang ketiga yang ditandai demikian
massif-eksplosifnya saling silang informasi, yang menembus pelbagai tapal batas
geografis, bukan berarti yang namanya sebuah teks kesenian dan kebudayaan tak
lagi memerlukan identitas sebagai penanda khasnya.
Dalam
konteks dunia seni, ketika fenomenanya dihadapkan pada tata pergaulan dan tegur
sapa global, apapun bentuk dan wujudnya, nilai-nilai lokalitas (etnis ataupun
trans-etnis) sangat penting keberadaannya, karena sebagaimana dalam pandangan
Suminto A. Sayuti (2014), ia dapat dijadikan modal, benteng, dan sekaligus sebagai paspor utama sang seniman dalam mengkonstruksi identitas melalui
jagat artistik yang diidealkan.[47]
Menjadi modal, karena dengan dan
melaluinya seniman dikenal oleh dan memperkenalkan diri kepada “yang lain”.
Modal budaya merupakan modal dalam berelasi dan berinteraksi dengan “yang
lain,” yang bukan dirinya, liyan, the
others. Pengakuan “yang lain” atas nilai-nilai itu merupakan paspor, yang melegitimasi bahwa secara
kultural sang seniman sah bergaul dan berposisi setara. Proses berelasi dan
berinteraksi dengan “yang lain” itu juga meniscayakan masuknya beragam nilai
secara tak terhindarkan. Dalam kaitan inilah, nilai-nilai lokalitas berfungsi
sebagai benteng. Begitulah kira-kira
alir nalar kulturasi perihal pentingnya otentisitas yang berbasiskan
nilai-nilai lokal diri.
Namun
yang menjadi catatan persoalan adalah, bahwa betapa yang dinamakan entitas nilai-nilai
lokalitas sebagai modal, benteng, dan sekaligus sebagai paspor utama untuk
mengontstruksi identitas jagad seni dan estetika keindonesiaan selama ini,
dapat dikatakan sejak sangat lama telah roboh, tumbang dan karenanya sering
diratapi. Pelabagi proses persemukaan, persinggungan, dan “persetubuhan” budaya
dengan para “yang lain” dan terutama Barat, betapa telah memporakporandakan
nilai-nilai dan sukma lokalitas yang yang dimiliki kebudyaan ini selama ini.
nilai-nilai lokalitas itu, dalam konteks keindonesiaa, terutama adalah nilai-nilai
yang berbasiskan filsafat ketimuran. Dalam konteks hari-hari kekinian, betapa
nilai-nilai filsafat seni dan budaya ketimuran itu, telah ditaklukkan sempurna
dalam sergapan nilai-nilai filsafat Barat yang datang belakangan.
Fenomena
ini dapat diverifikasi dengan sempurna, misalnya dengan menunjuk pada risalah
tentang semesta perkembangan seni rupa Indonesia (termasuk semua cabang seni
lainnya) misalnya, yang sampai hari ini tak pernah sedikit pun dapat dipisahkan
risalahnya dari wacana perkembangan seni rupa yang ada di Barat. Hal ini dapat
dirunut misalnya dari sejak awal risalah perkembangan seni rupa modern masuk ke
Indonesia dengan tonggak utamanya Raden Saleh, kemudian berlanjut ke Mooi
Indië, Persagi, Gerakan Seni Rupa Baru, bahkan sampai pada memasuki perjalanan
era kontemporer, betapa menunjukkan bahwa keseluruhan proses perubahan yang ada
itu, tidak satu pun dapat dipisahkan dari pola-pola yang ada di mainstream seni Barat.[48]
Oleh
karena itulah, tak mengherankan manakala perbincangan yang terkait dengan para
tokoh dalam wacana estetika beserta narasi besarnya di Indonesia misalnya,
nyaris semuanya adalah berisi tentang daftar para filsuf Barat Barat, seperti:
Socrates, Plato, Aristoteles, Plotinus, Agustinus, Thomas Aquinas, Baumgarten,
Kant, Tolstoy, Croce, Collingwood, Santayana, Gasset, Langer, Bell, dan lain
sebagainya. Sebaliknya nyaris tak ditemukan sama sekali tokoh-tokoh filsuf
lokal seperti yang diwakili oleh para empu misalnya, seperti: Kanwa, Panuluh,
Prapanca, Ranggawarsita, dan lain sebaginya, yang sebenarnya telah banyak
menghasilkan karya pemikiran yang tak kalah hebatnya jika dibandingkan dengan
yang berasal dari Barat sana.
Bahkan
dalam skala dan spektrum yang luas, ketika badai globalisasi dengan dukungan
revolusi teknologi informasi dan komunikasi di era modern dan postmodern kini,
yang membuat itensitas kontak dan perjumpaan dengan Barat semakin dramatik,
membuat risalah ketakberdayaan dan ketergantungan terhadap segala nilai yang
berasal dari Barat yang diidap sekujur wajah dan tubuh bangsa ini, seolah
menjadi kian sempurna dan tak terperi. Hal ini dapat disaksikan betapa, seolah
nyaris tak ada infrastruktur atau pranata peradaban secuil pun di negeri
ini—baik di tingkat ideofact, sociofact, maupun artifact—yang bisa ditarik jaraknya, meski hanya beberapa centi,
dari situs pengaruh Barat, karena dianggap lebih bermakna dan berarti. Barat, akhirnya
menjadi semacam kutukan obsesi, yang
melampaui akan hasrat dan keinginan apa pun, dalam proses kinerja kulturasi
dalam kebudayaan dan juga berkesenian kontemporer di negeri ini. Bersandar pada
fakta inilah, sejarawan Bambang Purwanto memberikan istilah, sebagai sebentuk
potret kegagalan bangsa ini dalam mengonstruksi histori
dan historiografi yang Indonesiasentris.[49]
Kenyataan
pahit dan buram itu seolah menyiratkan, bahwa kita sebagai bangsa seolah tak
mempunyai sama sekali modal dan kekuatan seni dan budayanya. Padahal tidak
demikian adanya. Sekadar sebagai contoh misalnya, pelbagai bukti otentik jauh
di masa silam bahkan ketika kita ini masih berada dalam alam pra-Indonesia,
menunjukkan betapa kita pernah memiliki riwayat kejayarayaan kesenian dan
kebudayaan, bahkan ketika di saat itu bangsa dan kebudayaan ini sama sekali belum
ada kontak dan perjumpaan dengan peradaban Barat sebagaimana yang terjadi hari
ini. Pelbagai puncak pencapaian karya seni budaya terbaik masa silam, baik yang
berbasis di kurun historis “Jawa tua” yang berpusat di Jawa Tengah maupun yang
ada di “Jawa muda” yang berbasis di Jawa Timur, seperti candi, batik, gamelan,
keris, wayang, dan lain sebagainya, yang kemudian diakui UNESCO dalam Daftar
Representatif Karya Agung Budaya Lisan dan Tak Benda Warisan Manusia (Masterpieces of the Oral and Intangible
Heritage of Humanity), yang manakal usianya kalau ditarik garis sampai hari
ini sudah lebih dari 1000 tahun itu, adalah sebagai bukti otentik tentang
identitas kebesaran kesenian dan kebudayaan bangsa kita di masa lalu yang tak
diragukan lagi adanya.
Fenomena
itu tidak hanya ada di Jawa yang memang sejak dahulu sebagai basis utama dari
entitas budaya Indonesia, melainkan ada tersebar di seantero Nusantara. Di
Sulawesi misalnya, terdapat peninggalan karya sastra kuna milik masyarakat
Bugis Makasar, yang dikenal dengan I La
Galigo, adalah salah satu karya sastra terbesar di dunia sepanjang masa,
yang melampaui karya-karya seperti Mahabharata
dan Ramayana dari India, mapun karya
paling monumental dalam sejarah sastra Yunani klasik, misalnya Odyssey dan Illiad karya Homerus misalnya[50]
Dan masih banyak contoh yang lainnya, sebanyak jumlah etnis dan kekayaan seni
dan budayanya yang kita miliki di seantero Nusantara.
Akibat
kegagalan membangun otentisitas seni dan estetika yang berbasis lokalitas
kenusantaraan ini adalah betapa akhirnya semesta jagad kesenian dan kebudayaan
kita kekinian telah gegar berantakan, karena terlampau sindrom oleh nilai-nilai
yang berasal dari luar terutama Barat yang terlanjur dianggap lebih
menakjubkan. Gambaran perihal ini, kiranya dapat diverifikasi dalam konteks
diskursus budaya dan industri keratif yang mengarusutama dalam kebudayaan kita
akhir-akhir ini.
Oleh
karena itulah kemungkinan pelbagai upaya untuk terus melakukan reorientasi dan
revitalisasi disiplin seni di perguruan tinggi, diharapkan keberadaan keilmuan
seni, baik yang murni (yang berbasiskan
spirit textual/essential justification)
maupun kependidikan (yang berbasiskan contextual justification)[51]”
di kesempatan yang akan datang lebih dapat dikerangkai secara lebih memadai. Jika
posisi dan peran disiplin seni di perguruan tinggi bisa direorientasi dan
direvitalisasi, paling tidak pada ketiga hal pokok sebagaimana disampaikan
tadi, maka kemungkinan harapan untuk pelbagai impian pencerahan, termasuk dalam
konteks kasus wacana budaya dan industri kreatif, akan menjadi semakin jelas
untuk dikerangkai.
Penutup
Itulah kiranya beberapa catatan yang bisa dipertimbangkan untuk
kemungkinan dijadikan referensi rujukan dissenting
opinion atas histeria merayakan seksi baru tentang budaya dan industri kreatif, terutama
dalam konteks kaitannya dengan ranah seni ini, ketika mainstream-nya yang ada cenderung banyak yang mengamini. Pandangan
dari sisi lain ini sama sekali tidak dalam kerangka menolak sama sekali dengan
hadirnya budaya dan industri kreatif, karena setiap perubahan sosial dan budaya
kapan pun itu memang selalu memiliki dua sisi, baik positif maupun negatif.
Terkait dengan sisi positifnya budaya dan industri kreatif terutama terkait
dengan diktum spiritnya yang banyak disandarkan pada kreativitas sumber daya
manusia yang tak terbatas, yang dapat menjawab tentang risalah ketakutan
manusia akan keterbatasan yang ada pada alam semesta. Sementara itu, sisi
negatifnya adalah, sebagaimana yang telah disampaikan di atas, terutama arus utamanya
yang cenderung mendestruksi kodrat atribusi
kemanusiaan manusia itu hanya semata-mata sebagai “homo economicus”[52]
yang membudak pada yang material sifatnya.
Dalam konteks ini pula kiranya kesadaran kita perlu diingatkan kembali,
bahwa yang namanya diktum ekonomi yang kelewat materialistik
untuk menopang “need of physiological” itu
sebagaimana yang jauh-jauh hari disampaikan oleh Maslow[53]
(dalam Ryckman, 2013:301) hanyalah bagian dari kebutuhan
kemanusiaan yang paling permukaan; karena di atasnya masih ada lagi hierarki yang lebih tinggi yang lebih signifikan, yakni
nilai-nilai, baik nilai moral bahkan ke-Ilahian. Keterjagaan kesadaran ini kiranya
teramat penting adanya, terutama ketika seni pada hari ini terpaksa kepergok
dan harus berhadapan dengan watak dan tabiat budaya dan industri kreatif yang
narasinya nggegirisi tadi. Harapannya
adalah, seni dengan segala keyakinan nilai-nilai yang dimilikinya dapat mampu manjing jroning kahanan (menempatkan diri yang terbaik); agar tidak
menjadi objek dan bulan-bulanan; melainkan kalau bisa menjadi subjek yang
menentukan.
Meski kita menyadari dengan sepenuh-penuhnya bahwa, ketika segala
aktivitas kehidupan kini cenderung dikelola dengan berdasarkan nalar
ilmiah-teknologis yang memuja perhitungan, objektivitas, efisiensi, dan terutama materi, memandang seni memang terasa bagai sesuatu yang trivial, sesuatu kesia-sian, berlebihan,
atau bahkan kegenitan.[54] Dalam konteks ini, tentu kita segera sepakat untuk tidak menyepakati.
Alasannya sederhana, karena dengan seni, konon membuat kita
bisa kehilangan dan
sekaligus menemukan diri.[55]
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Sheikh Mushtaq.
1991. Existential
Aesthetics: A Study of Jean-Paul Sartre’s Theory of Art and Literatur. Nes Delhi: Atlantic
Publishers & Distri.
Allen, Graham. 2000. Intertextuality.
London: Routledge.
Australia Department of Communications and the Arts. 1994. Creative
Nation: Commonwealth Cultural Policy.
Canbera: Australia Department of Communications and the Arts.
Barrowclough. 2012. Creative
Industries and Developing Countries: Voice, Choice and Economic Growth.
London: Routledge.
Benda, Julien. 2009. The
Treason of the Intellectuals. Traslated by Richard Aldington. Fourth
Paperback Printing. Piscataway, New Jersey:Transaction Publishers.
Budyatna, M. 2005. “Pengembangan Sistem Informasi: Permasalahan
dan Prospeknya”, dalam Komunika (Warta
Ilmiah Populer Komunikasi dalam Pembangunan), (Vol. 8, No. 1), 2.
Burhan, M. Agus. 2006. “Seni Rupa Kontemporer Indonesia:
Mempertimbangkan Tradisi”, dalam Jaringan Makna Tradisi Hingga Kontemporer:
Kenangan Purna Bhakti untuk Prof. Soedarso Sp., M.A. Yogyakarta: BP ISI
Yogyakarta.
Coates David & Peter Augustine Lawler (eds.). 2000. New Labour in Power. Manchester, UK:
Manchester University Press.
Department of
Communications and the Arts. 1994. Creative Nation:
Commonwealth Cultural Policy. Canbera: Australia Department of Communications and the Arts.
Dixon, William
& David Wilson. 2013. A History of Homo Economicus: The
Nature of the Moral in Economic Theory. London: Routledge.
Edensor, Deborah Leslie, Steve
Millington, & Norma Rantisi. 2009. Spaces of Vernacular Creativity: Rethinking the Cultural Economy. London:
Routledge.
Flew, Terry. 2012. The Creative Industries: Culture and
Policy. London: Sage
Publication.
Florida,
Richard. 2003. The
Rise of the Creative Class: And How It's Transforming Work, Leisure, Community
and Everyday Life. New Zealand: Hazard Press.
__________. 2005. Cities and the Creative Class. London, UK: Routledge.
Foucault, Michel. 1980. Power/Knowledge: Selected Interviews
and Other Writings, 1972-1977. New York: Pantheon
Books.
Friedrichs, Robert Winslow. 1970. A
Sociology of Sociology. New York: Free Press.
&
A
Critique of
Definitions of
the
Cultural and
Creative Industries in
Public Policy”. International Journal of Cultural
Policy, Volume 13, Issue 1.
Gibson, C. and Klocker, N. 2004, Academic Publishing as ‘Creative’ Industry,
and
Recent Discourses of
‘Creative Economies’: Some Critical Reflections. Area Journal, Volume 36, Issue 4; 423–434.
Giddens, Anthony. 1991. The Third Way. Hoboken, New Jersey, USA: Wiley.
Hadiz, Vedi R. & Daniel Dhakidae (eds.). 2005. “Introduction”, Social Science
and Power in Indonesia. First Published. Jakarta & Singapore: Equinox Publishing and Institute of Southest Asian Studies
Singapore.
Hartoko, Dick (ed.). 1980. Golongan
Cendekiawan Mereka yang Berumah di Angin: Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: PT
Gramedia.
Heriyanto, Ariel
“Ideological Baggage and Orientations of the Social Science in Indonesia”, in Vedi R. Hadiz and Daniel Dhakidae (eds.), Social Science and Power in Indonesia. First Published. Jakarta, Singapore: Equinox Publishing and Institute of Southest Asian
Studies Singapore.
Hesmondhalgh, David. 2007. The Cultural Industries. London: Sage
Publication.
Holquist, Michael.2003. Dialogism:
Bakhtin and His World. London: Routledge.
Howkins, John. 2001. Creative Economy, How
People Make Money from Ideas. City of Westminster, London, UK: Penguin.
Howson, Richard & Kylie Smith (eds.). 2008. Hegemony: Studies in Consensus and Coercion.
London: Routledge.
Instruksi
Presiden No. 6 Tahun 2009 tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif.
Jin, Dengjian. 2016. The
Great Knowledge Transcendence: The Rise of Western Science and Technology
Reframed.London: Springer.
Jones, Phil
& Saskia
Warren. 2015. Creative Economies, Creative
Communities: Rethinking Place, Policy and Practice. Farnham, UK: Ashgate
Publishing, Ltd.
Kaplan Louise J. 2008. Culture of Fetishism. London, UK: Palgrave
Macmillan.
Keele, Mike Savage. 2013. Social
Change And The Middle Classes. London: Routledge.
Kerrigan, Finola Peter Fraser, & Mustafa Ozbilgin. 2007. Arts Marketing. London: Routledge.
Kuhn, Thomas S. 2012. The
Structure of Scientific Revolutions: 50th Anniversary Edition.
Chicago, USA: University of Chicago Press.
Laksono, PM. 2005. “Social Science and Association”, in Vedi R. Hadiz and Daniel Dhakidae (eds.), Social Science and Power in Indonesia. First Published. Jakarta, Singapore: Equinox Publishing and Institute of Southest Asian
Studies Singapore.
Lazzeretti, Luciana. 2012. Creative Industries and Innovation in Europe: Concepts, Measures and
Comparative Case Studies. London: Rotledge.
Lundberg, Craig C. & Cheri
Ann Young, (2005). “Part Two: The Philosophical Context of Inquiry, in Foundations for Inquiry: Choices and Trade-offs in the
Organizational Sciences. California, USA: Stanford
University Press.
McGuigan, Jim. 2009. Cool
Capitalism. New York: Pluto Press.
Merton, Thomas. 2005. “Conscience
Freedom and Prayer”, in No Man is an Island. Colorado, USA: Shambhala Publications.
Michelsen, Anders. 2014. “What Kind of Economics? on the
Topologies of Aesthetic Capitalism”, in Eduardo de la Fuente & Peter Murphy (eds.).
Aesthetic
Capitalism. Leiden, Netherlands: BRILL Publisher.
Miller, Toby. 2009. “From Creative to Cultural Industries”. Cultural Studies Journal, Volume 23, Issue 1, 2009; 88-99.
Moeran, Brian & Jesper
Strandgaard Pedersen. 2011. Negotiating Values in the Creative Industries: Fairs, Festivals
and Competitive Events. Cambridge, UK: Cambridge University Press.
O’Connor,
Justin, 2000. “The Definition of the ‘Cultural Industries’”. The European Journal of Arts Educatio, Vol. 2, No. 3, February 2000; 15-27.
Oakley, Kate. 2004.”
Not So Cool Britannia The
Role of the Creative Industries in Economic Development”. International Journal of Cultural Studies; March 2004 vol. 7 no. 1; 67-77.
Pang, Laikwan. 2012. Creativity and Its Discontents:
China’s Creative Industries and Intellectual Property Rights Offenses. Durham, North
Carolina, USA: Duke
University Press.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun
2015 tentang Badan Ekonomi Kreatif.
Porter, Roy (ed.). 2003. The
Cambridge History of Science: Volume 4, Eighteenth-Century Science.
Cambridge, England: Cambridge University Press.
Potts, Jason. 2011. Creative Industries and Economic
Evolution.
Cheltenham, UK: Edward
Elgar Publishing.
Purwanto, Bambang. 2006. Gagalnya
Historiografi Indonesiasentris?! Cetakan Pertama. Yogyakarta: Ombak.
Ryckman, Richard. 2012. Theories of Personality. Boston, USA: Cengage Learning.
Sachari, Agus. 202. Estetika.
Bandung: Penerbit ITB.
Sayuti, Suminto. A. 2014. “Seni dan Pendidikan Seni: Gelanggang
Konstruksi Identitas”. Proceeding The 1st International
Conference for
Arts and Arts Education on Indonesia, Universitas Negeri Yogyakarta,
5-6
Maret.
Schindler, Ronald Jeremiah. 1998. The Frankfurt School Critique of Capitalist Culture: A Critical Theory
for Post-Democratic Society and Its Re-Education. Farnham, United Kingdom:
Ashgate.
Singh, J.
P. 2014. Globalized
Arts: The Entertainment Economy and Cultural Identity. New York: Columbia
University Press.
Stevenson, Deborah 2013. Cities of Culture: A Global
Perspective. London: Routledge.
Sugiharto,
Bambang. 2013. Untuk Apa Seni?
Bandung: Pustaka Matahari.
Todorov, Tzvetan. 1984. Mikhail Bakhtin: The Dialogical Principle.
Manchester, UK: Manchester University Press.
Toffler, Alvin. 1991. Power
Shift: Knowledge, Wealth, and Violence at the Edge of the 21st Century. New
York: Bantam Books.
Wahrman,Dror. 1995. Imagining
the Middle Class: The Political Representation of Class in Britain, C.1780-1840.
Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Wallace, Anthony F. C. 2003. Essays on Culture Change. Lincoln, Nebraska: University of
Nebraska Press.
Warren, Saskia & Phil Jones. 2016. Creative Economies, Creative Communities: Rethinking Place, Policy and
Practice. London: Routledge.
Wiggershaus, Rolf. 1995. The
Frankfurt School: Its History, Theories, and Political Significance.
Cambridge, Massachusetts: MIT Press.
Wolff, Janet. 1993. The Social Production of Art. New York:
New York: New York University Press.
Worton, Michael & Judith Still (eds). 1991. Intertextuality:
Theories and Practices. Manchester, UK: Manchester University Press.
Zhao, Mei
& Kai Yung Tam. 2015. “The Need for Effective Cross-Cultural Communication
in Creative Industries: Two Case Studies”, in Teen-Hang
Meen, Stephen Prior, Artde Donald Kin-Tak Lam (eds.). Innovation in Design, Communication
and Engineering: Proceedings of the 2014 3rd International Conference on
Innovation, Communication and Engineering (ICICE
2014), Guiyang, Guizhou, P.R. China, October 17-22, 2014. Boca Raton,
Florida, USA: CRC
Press.
[1]Disampaikan
pada acara Kuliah Tamu, “Pendidikan
Seni: Peran dan Kontribusi Bagi Dunia Industri Kreatif”, di Jurusan Seni dan
Desain, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang, Tanggal 17 April 2017.
Beberapa pokok pikiran ini dikembangkan dari tulisan yang pernah disertakan
pada Seminar Nasional Peran Strategis
Seni Budaya dalam Membangun Kota Kreatif,
berjudul “Seni dan Industri Kreatif: Risalah Ketika Estetika di Bawah Kuasa
Ekonomi Sebagai Panglima”, di Jurusan Seni dan Desain, Fakultas Sastra,
Universitas Negeri Malang, 29 Oktober
2015.
[2]Dosen
Jurusan Pendidikan Seni Rupa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri
Yogyakarta; Alumni Jurusan Pendidikan Seni Rupa, IKIP Malang. E-mail
korespondensi: kasiyan@uny.ac.id
[3] Dengjian
Jin, The Great Knowledge Transcendence:
The Rise of Western Science and Technology Reframed (London: Springer,
2016).
[4] Meski kemudian dalam waktu yang tak begitu
lama, identitas kementerian itu kemudian dihapus. Teks industri kreatif,
kemudian dimasukkan dalam sebuah badan yang dinamakan Badan Ekonomi Kreatif,
yang dibentuk melalui Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 6 Tahun 2015 tentang Badan Ekonomi Kreatif.
[5]
Rumusan tentang pengkategorisasian subsektor industri kreatif tersebut, adalah
merujuk pada konsep industri kreatif yang terutama dikembangkan di Inggris
melalui Department of Culture, Media and Sport (DCMS) yang mendirikan Creative Industries Task Force pada
tahun 1998.
[6]
Sebagai gambaran misalnya, dalam struktur perekonomian Indonesia, industri
kreatif diyakini memiliki kontribusi melalui sebuah sistem yang disebut ekonomi
kreatif, yang konon katanya mengalami peningkatan sebesar 5% dari tahun ke
tahun. Indikatornya dilihat misalnya dari sisi
pendapatan domestik bruto (PDB) ekonomi kreatif, yang tercatat sekitar
185 triliun rupiah di 2010 dan 215 triliun rupiah di 2013. Pada periode yang
sama, industri kreatif rata-rata dapat menyerap tenaga kerja sekitar 10,6% dari
total angkatan kerja nasional. Pertumbuhan jumlah usaha di sektor industri
kreatif pada periode 2010-2013 pun meningkat sebesar 1%. Pada 2014 jumlah
industri kreatif yang tercatat adalah sebanyak 5,4 juta usaha. Industri ini
menyerap tenaga kerja tidak kurang dari 12 juta orang (Kementrian Pariwisata
dan Ekonomi Kreatif, 2014:xvii).
[7]
Konsep tentang homo sapiens ini,
pertama kali digagas oleh Carolus Linnaeus, seorang ahli botani Swedia, yang
pada tahun 1735 melalui publikasinya yang berjudul Systema Naturae memberi nama formal spesies manusia itu sebagai wise man atau homo sapiens. Periksa Roy Porter (ed.), The Cambridge History of Science: Volume 4, Eighteenth-Century Science
(Cambridge, England: Cambridge University Press,
2003), 206.
[8]
C. Gibson & Klocker, N., “Academic Publishing as ‘Creative’ Industry, and Recent
Discourses of
‘Creative Economies’: Some Critical Reflections” (Area Journal, Volume 36, 2004, Issue 4; 423).
[9]
Brian Moeran & Jesper
Strandgaard Pedersen.. Negotiating
Values in the Creative Industries: Fairs, Festivals and Competitive Events (Cambridge, England: Cambridge
University Press, 2011)
[10]
Periksa Deborah Stevenson, Cities of Culture: A Global Perspective (London: Routledge, 2013).
[11]
Periksa Creative
Nation: Commonwealth Cultural Policy
(Canbera: Australia Department of Communications
and the Arts, 1994).
[12]
Barrowclough, Creative Industries and
Developing Countries: Voice, Choice and Economic Growth (London: Routledge,
2012). Periksa juga David Coates & Peter Augustine Lawler (eds.), New Labour in Power (Manchester University
Press, 2000).
[13]
Konsep Periksa Anthony Giddens, The Third Way
(Hoboken, New Jersey, USA: Wiley, 1991).
[14]
John Howkins, The Creative Economy: How People
Make Money from Ideas (London, UK: Penguin, 2013).
[15]
Richard Florida, The Rise of the Creative
Class: and How It's Transforming Work, Leisure, Community and Everyday Life
(New Zealand: Hazard Press, 2003); Periksa juga Richard Florida, Cities and the Creative Class (London,
UK: Routledge, 2005).
[18] Alvin
Toffler menganalis sejarah perkembangan masyarakat secara mendasar ke dalam
tiga gelombang, yakni: ‘gelombang pertama’ (first
wave), sebagai masyarakat agraris, yang ditandai dengan model komunikasi
dominan yang dilakukan secara lisan, dari mulut ke mulut; ‘gelombang kedua’ (second wave), merupakan masyarakat
industrialis, dengan bentuk komunikasi yang dominan dilakukan dengan
menggunakan media massa konvensional, yang audiensnya cenderung pasif; dan
‘gelombang ketiga’ (third wave),
yakni merupakan masyarakat informatif, dengan bentuk komunikasi yang dilakukan
dengan menggunakan teknologi media massa yang semakin canggih dan sifatnya
interaktif berbasis web jaringan. Selengkapnya periksa Alvin Toffler, Power Shift: Knowledge, Wealth, and Violence
at the Edge of the 21st Century (New York: Bantam Books, 1991). Ada
beberapa tonggak historis penting yang mendukung revolusi gelombang ketiga ini,
yang terutama ditopang penuh oleh ‘revolusi digital’. Pertama diketemukannya
teknologi mainframe computer oleh
University of Pennsylvania tahun 1946;
Kedua, diketemukannya microprocessor
pada tahun 1971 oleh Ted Hoff di Intel
Corporation, sebuah perusahaan Silicon
Valley Microelectronics; dipasarkannya microcomputer
pada tahun 1975; dan ketiga, diketemukannya microchips
oleh Andrew Steven Grove, Chairman and
CEO of Intel Corporation pada tahun 1997. Penemuan microchips menyebabkan munculnya apa yang dinamakna ‘Era Tera’, di
mana pada era ini, digital
bits-per-second dalam teknologi komputer diukur dalam trilyun, bukan lagi
dengan mega (millions) atau giga (billions). Temuan ini menyebabkan
komunikasi global mengalami ekspansi eksplosif luar biasa mengejutkan, baik
dalam kapasitas maupun kecepatan. Berdasarkan akumulatif ‘revolusi digital’
itulah, ‘Revolusi Gelombang Ketiga’, merupakan hasil perpaduan dari
perkembangan telekomunikasi, komputerisasi, dan digititalisasi. Selengkapnya
periksa M. Budyatna, “Pengembangan Sistem Informasi: Permasalahan dan
Prospeknya”, dalam Komunika (Warta Ilmiah
Populer Komunikasi dalam Pembangunan), (Vol. 8, No. 1, 2005), 2.
[19]
Genealogi berasal
dari bahasa Yunani genea:
"keturunan" dan logos,
"pengetahuan", yang makna harfiahnya adalah kajian tentang keluarga
dan penelusuran jalur keturunan serta sejarahnya. Dalam konteks kultur Jawa,
genealogi ini dapat disamakan maknanya dengan pemahaman tentang “sangkan paraning dumadi”. Istilah
genaologi ini kemudian menjadi salah satu perspektif kritis, yang diperkenalkan
oleh Foucault dalam konteks kajian tentang risalah atau sejarah pengetahuan,
terutama dalam kaitannya dengan wacana kekuasaan. Perspektif genealogis
Foucaultian ini, kiranya menarik sebagai pisau analisis yang dikenakan pada
kajian industri kreatif, terutama untuk menelusuri pelbagai lingkar jejaring
kuasa yang menyelimutinya, untuk kemudian dijadikan sebagai salah satu pijakan
dasar sebagai bekal dalam menyikapinya.
[20]
Michel Foucault, Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings,
1972-1977. (New York: Pantheon
Books, 1980).
[21]
Konsep “intertekstualitas” ini, pertama kali diperkenalkan oleh Julia Kristeva, seorang
pemikir poststrukturalis Prancis, dalam buku Revolution in Poetic Language
(1974) dan Desire in Language: A Semiotic Approach to Literature And Art
(1979). Periksa Michael Worton & Judith Still (eds), Intertextuality: Theories and Practices (Manchester, England:
Manchester University Press, 1991). Periksa juga Graham Allen, Intertextuality (London, Routledge, 2000).
[22] Michael
Holquist, Dialogism: Bakhtin and His
World (London: Routledge, 2003). Periksa juga Tzvetan Todorov, Mikhail Bakhtin: The Dialogical Principle
(Manchester, England: Manchester University Press, 1984).
[23]
Luciana Lazzeretti,. 2012. Creative Industries and Innovation in
Europe: Concepts, Measures and Comparative Case Studies (London: Rotledge, 2012), 237.
[24] Toby Miller, “From Creative to Cultural Industries”. Cultural Studies Journal, Volume 23, Issue 1, 2009; 88-9.
[25] Periksa
Rolf Wiggershaus, The Frankfurt School:
Its History, Theories, and Political Significance (Cambridge,
Massachusetts: MIT Press, 1995). Periksa juga Ronald Jeremiah Schindler, The Frankfurt School Critique of Capitalist
Culture: A Critical Theory for Post-Democratic Society and Its Re-Education
(Farnham, United Kingdom: Ashgate, 1998).
[26]
Justin O’Connor, “The Definition of the ‘Cultural Industries’”. The European Journal of arts Education, Vol. 2, No. 3, February 2000; 15-27.
[28]
Edensor, Deborah Leslie, Steve Millington, & Norma
Rantisi, Spaces
of Vernacular Creativity: Rethinking the Cultural Economy (London: Routledge,
2009), 90.
[29] Fenomena
kultural semacam inilah yang diistilahkan oleh Gramscy sebagai persoalan “hegemony”. Dalam kultur hegemoni,
pelbagai praktik kekuasaan terutama tidak dijalankan dengan modus kekerasan atau
coercive, melainkan dengan konsensus
kesadaran yang dijalankan secara persuasive.
Periksa Richard Howson & Kylie Smith (eds.), Hegemony: Studies in Consensus and Coercion (London: Routledge,
2008).
[30] Susan
Galloway & Stewart Dunlop. “A Critique of Definitions of the Cultural and
Creative Industries in Public Policy”. International
Journal of Cultural Policy, Volume 13, Issue 1, 2007.
[31]
Jason Potts, Creative Industries and Economic Evolution
(Cheltenham, UK: Edward
Elgar Publishing, 2011), 2.
[32]
Laikwan Pang, Creativity
and Its Discontents: China’s Creative Industries and Intellectual Property
Rights Offenses (Durham,
North Carolina, USA: Duke
University Press, 2002), 2.
[33]
Anders Michelsen, “What Kind of Economics? On the
Topologies of Aesthetic Capitalism”, in Eduardo de la Fuente & Peter Murphy (eds.).
Aesthetic
Capitalism (Leiden, Netherlands: BRILL Publisher,
2014),63.
[35] Finola Peter Fraser Kerrigan & Mustafa Ozbilgin. 2007. Arts Marketing. London: Routledge,
2007), 140.
[36] J. P.
Singh, Globalized Arts: The Entertainment
Economy and Cultural Identity (New York: Columbia University Press, 2014)
[37] Saskia
Warren & Phil Jones, Creative
Economies, Creative Communities: Rethinking Place, Policy and Practice
(London: Routledge, 2016), 176.
[38] Suminto
A. Sayuti, “Seni dan Pendidikan Seni: Gelanggang Konstruksi Identitas”. Proceeding The 1st International Conference
for Arts and Arts Education on Indonesia, Universitas Negeri Yogyakarta,
5-6 Maret 2014.
[39] Periksa
Mike Savage Keele University (Social
Change And The Middle Classes (London: Routledge, 2013). Periksa juga Dror
Wahrman, Imagining the Middle Class: The
Political Representation of Class in Britain, C.1780-1840 (Cambridge, UK:
Cambridge University Press, 1995).
[40]
Periksa Dick Hartoko (ed.), Golongan
Cendekiawan Mereka yang Berumah di Angin: Sebuah Bunga Rampai (Jakarta: PT
Gramedia, 1980).
[41]
Periksa Vedi R. Hadiz
and Daniel Dhakidae, “Introduction”, in Vedi R. Hadiz and Daniel Dhakidae
(eds.), Social Science and Power in
Indonesia. First Published (Jakarta, Singapore: Equinox Publishing and
Institute of Southest Asian Studies Singapore, 2005),
2, 24.
[42] PM
Laksono, “Social Science and Association”, in Vedi R. Haiz and Daniel Dakhidae,
221.
[43] Ariel
Heriyanto, “Ideological Baggage and Orientations of the Social Science in
Indonesia”, in Vedi R.
Hadiz and Daniel Dakhidae, 66.
[44] Periksa
Julien Benda, The Treason of the
Intellectuals. Traslated by Richard Aldington. Fourth Paperback Printing (Piscataway,
New Jersey:Transaction Publishers, 2009). Buku ini terbit pertama kali dalam
bahasa Prancis, berjudul La Trahison de
Clercs, tahun 1927.
[45] Istilah
“matriks disiplin”, diperkenalkan oleh Thomas S. Kuhn, yang maknanya terkait
dengan konstruksi “paradigma”, yakni merupakan satu set asumsi, konsepsi,
nilai-nilai, dan keyakinan yang menyediakan kerangka
filosofis dan konseptual tertentu dan dipegang bersama untuk menghadirkan
pemahaman yang utuh terkait realitas sosial tertentu. Periksa Thomas S.
Kuhn, The Structure of Scientific
Revolutions: 50th Anniversary Edition (Chicago, USA: University of Chicago
Press, 2012).
[46] Untuk
melengkapi terkait dengan risalah keprihatinan dalam konteks ini, di antaranya
dapat disampaikan, betapa ironisnya ketika fakta menunjukkan bahwa, sampai hari
ini di seluruh perguruan tinggi seni di Indonesia tidak atau belum berhasil
melahirkan seorang pun profesor dalam bidang estetika atau filsafat seni,
sebagai salah satu bidang kajian yang dapat dikatakan intinya dari keilmuan
seni ini.
[47] Suminto
A. Sayuti, “Seni dan Pendidikan Seni: Gelanggang Konstruksi Identitas”, Makalah
yang disumbangkan untuk The 1st
International Conference of Arts and Arts Education on Indonesia,
Universitas negeri Yogyakarta, 5-6 Maret
2014.
[48] M. Agus
Burhan, “Seni Rupa Kontemporer Indonesia: Mempertimbangkan Tradisi”, dalam
Jaringan Makna Tradisi Hingga Kontemporer: Kenangan Purna Bhakti untuk Prof.
Soedarso Sp., M.A. (Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta, 2006), 275.
[49] Bambang
Purwanto, Gagalnya Historiografi
Indonesiasentris?! Cetakan Pertama (Yogyakarta: Ombak, 2006).
[50]Nurhayati
Rahman dan Sri Sukesi Adiwimarta (eds.), Antologi
Sastra Daerah Nusantara: Cerita Rakyat Suara Rakyat. Edisi Pertama
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999). Periksa juga Sirtjo Koolholf, “The
Sleeping Giant: Dynamics of a Bugis Epic (South Sulawesi, Indonesia)“, in Jan
Jansen & Hendrik M. J. Maier (eds), Epic
Adventures: Heroic Narrative in the Oral Performance Traditions of Four
Continents (Münster-Hamburg-Berlin-Wi Germany: LIT Verlag Münster, 2004).
[51] Meminjam
terminologinya A.J. Soehardjo, dalam Pendidikan
Seni: Dari Konsepsampai Program. Buku Satu. Cetakan Pertama (Malang: Balai
Kajian Seni dan Desain, Jurusan Seni dan Desain, Fakultas Sastra, Universitas
Negeri Malang, 2006).
[52]
William Dixon & David
Wilson. A History of Homo Economicus: The
Nature of the Moral in Economic Theory (London: Routledge,
2013).
[55] “Art enables us to find ourselves and lose ourselves
at the same time”. Periksa Thomas Merton,“Conscience
Freedom and Prayer”, in No Man is an Island (Colorado, USA: Shambhala Publications, 2005).