Dalam kehidupan khususnya kebudayaan kata-kata
tersebut sudah sangat tidak asing di telinga orang Indonesia, khususnya Jawa.
Kegiatan tersebut pada hakikatnya berhubungan dan bertalian erat dengan ritual
keagamaan. Dalam pengungkapan dan rasa wujud syukur orang Jawa biasanya
dipahami dengan penuh filosofis dan mendalam. Dalam konteks tulisan kali ini
saya ingin membagi pengetahuan mengenai Tahlilan, Dalilan, dan Yasinan dari
sudut pandang termonilogi yang mendalam, khususnya dalam hal pemaknaannya.
Tahlilan dan Yasinan pada umunya dilaksanakan pada
malam Jum’at secara berjamaah di salah satu rumah seorang warga masyarakat,
baik yang bersifat rutin maupun tidak rutin (setiap daerah memiliki perbedaan).
Awalnya kegiatan ini dimulai dengan awalan doa-doa terlebih dahulu, yaitu
seperti Al-Fatihah, Al-Ikhlas, Al-Falaq, An Nas, Ayat Kursi, Tahlil, Tahmid,
Takbir, dan Dzikir, barulah dilanjutkan dengan membaca tahlil sebanyak 99 kali
atau kadang lebih. Pada hakikatnya doa ini secara to the point diutarakan untuk
mendoakan leluhur si tuan rumah, namun kebanyakan juga menyebutkan “doa ini
kita tujukan kepada nabi, keluarganya, sahabatnya, dan kepada leluhur kita
semua”. Setelah selesai barulah acara dilanjutkan dengan membaca doa yang
dipimpim oleh ketua adat atau tokoh wilayah setempat dan diikuti seluruh jamaah
dengan mengatakan “amin”.
Dalam adap orang Jawa, sering kali dipenuhi dengan
rasa hormat dan menghormati terhadap tamu, maka dari itu si tuan rumah
menyiapkan hidangan kepada jamaah yang hadir dalam acara doa tersebut. Hal ini
ditujukan; pertama, sebagai wujud rasa tanda hormat atas kedatangan seorang
tamu; kedua, sebagai tanda wujud syukur atas rahmat dan rejeki yang diberikan
oleh Allah dan sebagai bentuh sedekah si tuan rumah untuk mensucikan hartanya;
dan ketiga, sebagai wujud tanda terima kasih atas kedatangan dan doa yang telah
diberikan kepada leluhur si tuan rumah.
Dalam konteks kekinian, sidikit di sini saya ingin
membahas mengenai konsep yang terkandung dalam tahlilan dan yasinan yang sering
dilakukan oleh masyarakat Jawa. Belakangan ini banyak kita mendengar orang
mengatakan bahwa kegiatan ini merupakan sesuatu yang tidak dituntunkan oleh
Nabi Muhammad, tidak sesuai tuntunan agama, memberatkan dan membebani
seseorang, dan lain sebagainya. Banyak sekali orang hanya melihat secara dasar
saja, tanpa menganalisis lebih dalam dan kritis mengenai hakikat sebenarnya
kegiatan tersebut.
Tahlilan pada dasarnya adalah kegiatan dimana itu
adalah tuntunan kita sebagai umat islam mengikuti ajaran Nabi Muhammad.
Bagaimana bisa? Padahal itu tidak dilaksanakan oleh nabi. Coba kita tengok dan
buka buku sebentar. Masih ingat perkataan nabi yang menyatakan bahwa ada 3
amalan yang tidak akan putus bahkan ketika kita sudah di alam kubur, yaitu ilmu
yang bermanfaat, sedekah jariyah, dan anak sholeh sholehah yang mendoakan kedua
orang tuanya. Dalam konsep Tahlilan hakikatnya mencakup ketiga anjuran
tersebut, khususnya yang ketiga.
Selama ini kebanyakan orang memahami konteks anak
sholeh yang mendoakan orang tuanya sebatas pada sehabis shalat anak mendoakan
orang tuanya, datang berzarah kubur, dan beberapa kegiatan lainnya. Namun lebih
dari itu, mengenai tahlilah pada dasarnya lebih dari itu saja, disana
disebutkan bahwa mereka mendoakan untuk leluhur mereka, dalam artian bahwa yang
didoakan bukan saja orang tua mereka saja, tetapi mereka yang telah meninggal
dunia dan berhubungan dengan keluarganya, entah bapaknya kakek, kakeknya kakek,
bapaknya kakeknya kakek, dan seterusnya tidak ada habisnya. Maka dari itu
tahlilan itu hakikatnya lebih mendalam dan tidak terbatas pada hubungan darah
semata kepada orang tua seperti yang banyak dipahami banyak orang. Coba di
logika, “sang anak mendoakan orang tuanya”. kalau seandainya bapaknya kakek
sudah meninggal terlebih dahulu sebelum si cucu lahir, otomatis si cucu ini kan
hanya akan mendoakan orang tuanya saja bila si anak hanya memahami bahwa
kewajibannya adalah mendoakan orang tuanya saja. Maka dari itu pula, dalam
konsep tahlilah juga mengajarkan kita untuk mengenal orang terdahulu kita,
saudara kita yang lain yang telah mendahului kita, dan hakikatnya smapai kita
menjadi kakek-kakek tetap saja kita nantinya adalah seorang anak yang
berkewajiban mendoakan orang tuanya. Bukan konsep ketika sudah menjadi kakek
makanya harus berdoa untuk diri sendiri saja.
Sebagai seorang anak maka kita diwajibkan untuk
selalu mendoakan orang tuanya. Dalam konsep Jawa masyarakat sangat menjunjung
tinggi nilai-nilai kebersamaan dan kerukunan. Begitu pula konsep mengenai
tahlilan. Seseorang tidak hanya puas dengan hanya mendoakan leluhurnya secara
sendirian saja. Hal ini dikarenakan bahwa doa diserukan bersama-sama dan
berjamaah akan lebih bermanfaat untuk leluhur mereka, dari pada hanya didoakan
secara sendiri saja. Maka dari itu, dalam konsep mengenai tahlilan ini menjadikan
seseorang untuk sadar, bahwa belum tentu doanya itu akan terkabur begitu saja,
namun apa bila dilakukan secara berjamaah terkabulnya sebuah doa dapat terjadi
pada siapa saja dalam jamaah itu dan hanya Allah sajalah yang tau. Jadi, itu
juga hakikatnya adalah mengenai peluang.